Indonesia hari Selasa (7/12) menggelar pertemuan sherpa G20 yang merupakan acara pertama dari lebih 150 pertemuan yang akan dilakukan selama Indonesia menjadi presidensi G20 mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022. Pertemuan ini dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Dalam jumpa pers usai pembukaan pertemuan itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan tujuan utama pertemuan pertama ini untuk membahas mekanisme kerja dan arah pembahasan agenda G20 untuk setahun ke depan selama Indonesia menjadi Presidensi G20.
Karena pertemuan perdana ini sangat penting maka Indonesia telah mengenalkan apa yang disebut “sofa talk,” yang memungkinkan terjadinya pembicaraan yang lebih terbuka sehingga memudahkan kerja setahun ke depan.
Dalam sambutannya saat membuka pertemuan itu Retno menyampaikan harapan dunia pada G20 yang sangat besar agar dapat memimpin pemulihan ekonomi global dan menghasilkan solusi yang konkret.
"G20 harus menjadi katalis bagi pemulihan global yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Inklusifitas menjadi kunci. Oleh karena itu saya sampaikan isu inklusifitas ini sangat terefleksi dari tema besar keketuaan Indonesia Indonesia, yaitu pulih bersama, pulih makin kuat," ujar Retno.
Tiga prioritas Indonesia untuk setahun ke depan adalah membangun arsitektur kesehatan dunia yang lebih kuat transisi energi dan transformasi digital.
Pertemuan pertama ini dilakukan secara hibrid dan dihadiri oleh 39 delegasi terdiri dari 19 negara anggota G20, sembilan negara undangan dan sepuluh organisasi internasional. Sebanyak 23 delegasi hadir secara fisik dan sisanya secara virtual.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, G20 mengundang negara-negara pulau kecil dari kawasan Pasifik dan Karibia; juga negara berkembang lainnya dari Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Latin.
Negara-negara Karibia diwakili oleh Ketua Komunitas Karibia yang saat ini dijabat oleh Antigua dan Barbuda. Negara-negara Pasifik diwakili oleh Ketua PIF (Forum Negara-negara Kepulauan di Pasifik) yang sekarang dipegang oleh Fiji.
Pada pertemuan perdana ini, Indonesia mengundang sejumlah organisasi internasional, seperti IMF (Dana Moneter Internasional), ILO (Organisasi Buruh Internasional), ADB (Bank Pembangunan Asia), WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), Bank Dunia dan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia).
Indonesia secara khusus juga mengundang Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus yang hadir secara virtual, dan Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu, yang hadir secara fisik. Keduanya akan menjelaskan tentang kondisi kesehatan dan ekonomi global terkini.
Dalam kesempatan yang sama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menekankan perlunya kerjasama global untuk memuluskan kinerja G20 di era pandemi. Pemulihan ekonomi, ujarnya, masih sangat bergantung pada bagaimana penanganan pandemi khususnya varian baru dan bagaimana menghindari kepanikan dunia.
Peneliti di Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan tugas penting Indonesia dalam kapasitas sebagai Presidensi G20 adalah menyatukan ide dan gagasan karena ada beberapa kebijakan di negara anggota G20 yang berlawanan dengan pemulihan ekonomi negara berkembang.
Ia mencontohkan bagaimana sebagian negara anggota G20 melakukan normalisasi kebijakan moneter lebih cepat dibandingkan perkiraan. Termasuk Amerika yang melakukan tapering off, dengan menaikkan suku bunga pada 2022; dan ini akan diikuti oleh negara maju lainnya.
Tapering adalah suatu kebijakan untuk mengurangi nilai pembelian aset seperti obligasi (surat utang) atau quantitative easing oleh Bank Sentral Amerika. Artinya, the Fed akan mengurangi porsi pembelian surat utang dari nilai yang sebelumnya dilakukan. Pengurangan pembelian aset ini bertujuan mengurangi risiko jika terjadi kenaikan suku bunga tiba-tiba. Jadi dilakukannya itu secara bertahap.
"Ternyata kenaikan suku bunga ini akan berimbas negatif karena bunga pinjaman lebih mahal di Indonesia (sehingga) menyulitkan pelaku usaha. Juga menjadi tantangan karena ini akan mengakibatkan gejolak nilai tukar (mata uang) di negara berkembang. Ini yang harus dikomunikasikan sehingga kebijakan apapun yang ada di negara maju anggota G20, itu tidak berimbas negatif terhadap pemulihan (ekonomi) negara berkembang," tutur Bhima.
Bhima menambahkan hal lain yang bisa berimbas negatif terhadap pemulihan ekonomi negara berkembang adalah krisis energi dan krisis komoditas. Indonesia harus bisa memberikan saran agar negara-negara maju anggota G20 memperhatikan kepentingan negara berkembang.
Menurutnya negara maju dan negara berkembang memiliki kepentingan yang sama yaitu pemulihan ekonomi yang merata dan solid. Hal ini penting untuk menghindari krisis lanjutan setelah krisis akibat pandemi Covid-19.
Dia mengatakan forum G20 bisa dijadikan kesempatan untuk mendorong ekspor-ekspor yang lebih baik lagi di negara-negara anggota G20 dan menggaet investasi yang dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi khususnya di energi terbarukan, mobil listrik. [fw/em]