Isu Iklim
Energi Batu Bara Timbulkan Polusi; Kawasan Pertanian Beralih ke Listrik Surya
Ketergantungan Zimbabwe pada energi berbasis batu bara berdampak buruk pada kesehatan warga di kawasan pertambangan yang terpapar polusi udara. Kelompok advokasi mendesak pemerintah memeriksa kesehatan warga atau merelokasi mereka, sementara pejabat setempat mengusulkan solusi listrik tenaga surya.
India Bersiap Hadapi Topan, Sekolah-sekolah Ditutup, Turis Diminta Pergi
Sekolah-sekolah di beberapa bagian negara bagian Odisha, India timur diperintahkan untuk ditutup dan para wisatawan diminta untuk mengosongkan kota pantai Puri yang populer, saat pihak berwenang bersiap-siap untuk menghadapi badai topan dasyat yang diperkirakan akan melanda pada akhir pekan ini.
Topan Dana, yang saat ini berada di atas Teluk Benggala, diperkirakan akan menguat menjadi badai siklon parah dengan kecepatan angin mencapai 120 kilometer/jam (74 mph), dan kemungkinan besar akan mendarat pada hari Kamis, demikian ungkap kantor cuaca India.
Sekolah-sekolah di 14 distrik akan ditutup dari hari Rabu hingga Jumat, dan para nelayan diminta untuk tidak melaut, kata seorang pejabat senior dari kantor Komisioner Bantuan Khusus, yang mengawasi penanggulangan bencana, kepada Reuters.
Para pejabat mengatakan turis dan peziarah yang sering mengunjungi kota pesisir Puri, tempat kuil Jagannath yang terkenal, telah diminta untuk pergi sementara tim-tim penyelamat bersiaga.
Curah hujan lebat hingga sangat lebat di Odisha kemungkinan besar akan terjadi dalam tiga hari ke depan, kata kantor cuaca, dan badai yang terjadi akan bisa merusak rumah-rumah, jalan-jalan, tanaman, dan jaringan listrik, menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Odisha rentan terhadap badai siklon, tetapi sejalan waktu telah meningkatkan kesiapsiagaan bencana, sehingga mengurangi kerusakan dan korban jiwa. [my/ab]
- Patsy Widakuswara
Bagaimana Badai Helene, Milton, Berdampak pada Pemilu Amerika Serikat 2024?
Florida, North Carolina, dan Georgia adalah negara-negara bagian di Amerika yang sedang menghadapi dampak dua badai besar yang menewaskan ratusan orang dan menyebabkan kerusakan bernilai puluhan miliar dolar. Bagaimana badai dapat berdampak pada pemungutan suara di negara-negara bagian tersebut?.
Negara-negara bagian yang dilanda Badai Helene pada akhir September dan Milton awal bulan ini berusaha untuk kembali normal, dengan listrik dipulihkan di sebagian besar wilayah dan pembersihan puing-puing yang masih berlanjut.
Presiden Joe Biden mengunjungi daerah-daerah yang terdampak badai di Florida awal pekan ini, mendorong masyarakat untuk bersatu. “Bukan sebagai Demokrat atau Republik, tapi sebagai orang Amerika, orang Amerika yang membutuhkan bantuan dan orang Amerika yang akan membantu Anda seandainya berada dalam situasi yang sama,” sebutnya.
Sulit untuk memisahkan respons terhadap badai dari politik yang melingkupinya. Studi-studi menunjukkan bahwa para pemilih memberikan penghargaan kepada partai petahana jika pemerintah federal berhasil memberikan bantuan bencana dan menghukum mereka bila tidak memberikan bantuan.
Calon presiden dari Partai Demokrat Kamala Harris menyoroti upaya pemerintahan Biden. “Saya telah berbicara dengan para pejabat negara bagian dan daerah, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, untuk memberi tahu mereka bahwa kami akan mendampingi Anda di setiap langkah saat Anda berusaha pulih dan membangun kembali.”
Sementara saingannya dari Partai Republik, Donald Trump, telah menyebarkan informasi yang keliru tentang tanggapan pemerintah federal. Ia mengklaim bahwa pemerintah federal menghindari wilayah-wilayah Partai Republik, dan menggunakan dana bantuan untuk membantu imigran ilegal.
“Sebaliknya, pemerintah federal belum melakukan apa yang seharusnya Anda lakukan, khususnya sehubungan dengan North Carolina. Mereka membiarkan orang-orang menderita secara tidak adil,” jelasnya.
Musim badai Atlantik mencapai puncaknya pada bulan-bulan tepat sebelum pemilu November. Selama beberapa dekade, para pejabat telah memasukkan kemungkinan bencana ke dalam perencanaan pemilu mereka. Namun kini mereka juga harus menghadapi disinformasi.
Kim Wyman, peneliti senior di Proyek Pemilu Pusat Kebijakan Bipartisan, mengatakan kepada VOA, “Itulah tantangan terbesar yang dihadapi para petugas pemilu khususnya saat ini setelah bencana badai ini, karena kita melihat di media sosial orang-orang membuat klaim tidak bertanggungjawab tentang kemampuan pemilih untuk memberikan suara, dampak badai tersebut terhadap pemilu dan bahwa pemungutan suara itu tidak akan dilakukan sekarang karena hal itu. Oleh karena itu, kami sangat mendorong pemilih untuk mencari sumber-sumber informasi yang terpercaya.”
Selain karena faktor politik, dengan beberapa jalan yang masih tidak dapat diakses, bangunan-bangunan rusak dan masyarakat sibuk membangun kembali kehidupan mereka, jumlah pemilih bisa jadi lebih rendah.
Kerusakan akibat badai juga dapat memengaruhi rencana masyarakat untuk memberikan suara melalui pos, yang diperbolehkan di beberapa negara bagian.
Hampir semua negara bagian menawarkan semacam pemungutan suara awal. Bahkan tanpa adanya komplikasi dari alam, para pejabat dan aktivis telah mendorong masyarakat untuk mengambil pilihan tersebut.
Chassidy Malloy dari lembaga nirlaba Georgia Conservation Voters Education Fund mengatakan, “Hal ini memberi Anda lebih banyak pilihan tanggal untuk memberikan suara Anda, dibandingkan hanya terikat pada hari pemilu saja, karena tidak ada yang benar-benar dapat memperkirakan apakah badai besar akan berdampak pada wilayah kita atau krisis lingkungan lainnya yang mungkin menghambat kemampuan kita untuk memberikan suara di sini, di Georgia.”
Dengan persaingan yang sangat ketat di dua negara bagian yang terdampak badai, Georgia dan North Carolina, para pejabat di beberapa kabupaten telah memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk memungkinkan masyarakat memberikan suara mereka. [ab/ka]
Krisis Air Ancam Produksi Pangan Dunia
Tidak adanya penanggulangan terhadap krisis air dapat membahayakan lebih dari setengah produksi pangan dunia pada 2050. Para ahli memperingatkan hal itu dalam sebuah laporan utama yang diterbitkan pada Kamis (17/10).
“Hampir 3 miliar orang dan lebih dari setengah produksi pangan dunia kini berada di wilayah-wilayah di mana total penyimpanan airnya diperkirakan mengalami penurunan,” kata laporan oleh Komisi Global tentang Ekonomi Air (GCEW).
Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa krisis air dapat menyebabkan penurunan PDB rata-rata sebesar delapan persen untuk negara-negara berpendapatan tinggi pada 2050 dan sebanyak 15 persen untuk negara-negara berpendapatan rendah.
Gangguan siklus air “memiliki dampak ekonomi global yang besar,” kata laporan tersebut.
Penurunan ekonomi akan menjadi konsekuensi dari “dampak gabungan dari perubahan pola curah hujan dan peningkatan suhu akibat perubahan iklim, bersama dengan penurunan total penyimpanan air dan kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.”
Dalam menghadapi krisis tersebut, laporan itu menyerukan agar siklus air dipandang sebagai “komoditas umum global” dan melakukan transformasi tata kelola air di semua tingkatan.
“Biaya yang dikeluarkan dalam tindakan ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian yang akan ditimbulkan oleh ketidakpedulian yang terus-menerus terhadap ekonomi dan kemanusiaan,” katanya.
Meskipun air sering dianggap sebagai “anugerah alam yang melimpah,” laporan tersebut menekankan bahwa air itu langka dan mahal untuk diangkut.
Laporan tersebut menyerukan penghapusan “subsidi yang merugikan di sektor-sektor yang membutuhkan banyak air atau mengalihkannya ke solusi penghematan air dan memberikan dukungan yang tepat sasaran bagi masyarakat miskin dan rentan.”
“Kita harus memadukan harga air dengan subsidi yang tepat,” kata Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia, Ngozi Okonjo-Iweala, salah satu ketua GCEW, selama pengarahan daring.
Ketua lainnya, Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam, menegaskan perlunya melihat air sebagai masalah global, untuk “berinovasi dan berinvestasi” guna menyelesaikan krisis dan “menstabilkan siklus hidrologi global.” [ns/jm]
PBB: Hanya Sedikit Negara Susun Rencana Perlindungan Alam
Kurang dari 15 persen negara di dunia telah mengajukan rencana untuk memperlambat kerusakan alam, menjelang pertemuan puncak keanekaragaman hayati global di Kolombia, menurut hitungan yang dibagikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (16/10).
Sebanyak 196 negara anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) PBB telah mengadopsi kerangka kerja pada 2022 dengan 23 target untuk “menghentikan dan membalikkan” musnahnya alam pada 2030.
Sekitar seperempat spesies hewan dan tumbuhan yang dinilai terancam, dan sekitar satu juta spesies sudah menghadapi kepunahan, banyak di antaranya dalam beberapa dekade terakhir, menurut data PBB.
Di bawah apa yang disebut Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal, yang diadopsi di Kanada dua tahun lalu, negara-negara diminta untuk menyajikan “strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati nasional” pada pertemuan COP16 yang dibuka di Kota Cali, Kolombia pada Senin (21/10).
Namun, sekretaris eksekutif CBD, Astrid Schomaker mengatakan pada Rabu, bahwa hanya 29 dari 196 negara penanda tangan CBD, yang telah mengajukan rencana lengkap hingga saat ini. Sembilan puluh satu telah menyerahkan “target nasional” yang kurang menyeluruh.
“Kami tahu bahwa masih banyak lagi pengajuan yang sedang dalam proses,” kata Schomaker dalam jumpa pers.
Dua puluh tiga target kerangka kerja tersebut termasuk menempatkan setidaknya 30 persen dari semua wilayah daratan dan perairan di bawah konservasi pada 2030, dan menghentikan kepunahan spesies yang terancam punah akibat manusia.
Ribuan delegasi termasuk tujuh kepala negara dan sekitar 140 menteri pemerintahan, diharapkan menghadiri COP16 CBD, yang berlangsung hingga 1 November.
Forum tersebut bertugas menyepakati mekanisme pemantauan dan pendanaan untuk memastikan target dapat dipenuhi. [ns/jm]
Forum