Isu Iklim
- Associated Press
Untuk Pertama Kali Sejak Berkuasa, Taliban Hadiri Konferensi Iklim PBB

Untuk pertama kalinya sejak pengambilalihan kekuasaan atas Afghanistan pada pertengahan Agustus 2021, Taliban akan menghadiri konferensi iklim PBB, demikian ungkap badan lingkungan hidup nasional negara tersebut pada hari Minggu (10/11).
Konferensi yang dikenal sebagai COP29 ini dimulai pada hari Senin (11/11) di Azerbaijan, dan merupakan salah satu pembicaraan multilateral terpenting yang melibatkan Taliban, yang tidak memiliki pengakuan resmi sebagai penguasa sah Afghanistan.
Badan Perlindungan Lingkungan Nasional memposting di platform media sosial X bahwa sebuah delegasi teknis telah berangkat ke Baku untuk berpartisipasi.
Matiul Haq Khalis, kepala badan tersebut, mengatakan delegasi tersebut akan menggunakan konferensi itu untuk memperkuat kerja sama dengan komunitas internasional dalam hal perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, menyampaikan kebutuhan-kebutuhan Afghanistan terkait akses ke mekanisme keuangan yang ada terkait perubahan iklim, dan mendiskusikan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.
Lembaga bantuan internasional “Save the Children” pada bulan Agustus lalu menerbitkan sebuah laporan yang mengatakan bahwa Afghanistan adalah negara keenam yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Laporan itu juga mencatat bahwa 25 dari 34 provinsi di Afghanistan menghadapi kondisi kekeringan yang parah atau bencana, yang mempengaruhi lebih dari setengah populasi.
Afghanistan juga memiliki jumlah anak-anak yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana iklim tertinggi di antara negara mana pun pada akhir tahun 2023, menurut laporan tersebut.
Profesor Abid Arabzai, dari Universitas Kabul, mengatakan konferensi iklim ini akan membantu negara itu untuk mendapatkan bantuan dan pendanaan internasional untuk mengatasi tantangan iklim di Afghanistan.
“Afghanistan dapat mengklarifikasi tindakan dan komitmen iklimnya kepada komunitas global, sehingga dapat meningkatkan reputasi internasionalnya,” ujar Arabzai. [em/jm]
Sektor Peternakan Dinilai Jadi Penyumbang Signifikan Pemanasan Global

Industri peternakan ternyata telah berdampak signifikan terhadap pemanasan global. Pengurangan konsumsi daging secara global pun terus didorong agar sejalan dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan peningkatan energi terbarukan.
Saat membacakan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, Minggu (10/11), peneliti di Institute for Ecosoc Right sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Sri Palupi, menggarisbawahi sumbangan signifikan sektor peternakan pada pemanasan global. Surat ini dikirimnya kepada presiden menjelang Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-29 atau COP ke-29 yang akan diselenggarakan di Baku, Azerbaijan pada 11-12 November.
Dalam surat tersebut, Sri menyatakan industri peternakan telah berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca (karbondioksida/CO2, Metana/CH4, Nitrous Oksida/NO2) dalam jumlah besar, perusakan lingkungan akibat polusi udara-tanah-air dan deforestasi secara luas. Oleh karena itu, dampak industri peternakan terhadap pemanasan global tidak dapat diabaikan.
“Tanpa pengurangan signifikan dalam konsumsi daging global maka kita akan kehilangan peluang strategis dalam mengatasi perubahan iklim, menyelamatkan Bumi dan segenap penghuninya,” ungkap Sri.
Lebih jauh Sri memaparkan saat ini dunia tengah menghadapi ancaman yang sangat serius terkait dengan perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global. Apalagi, katanya, The EU's Copernicus Climate Change Service mencatat pada Februari 2024, ambang batas pemanasan global 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris (2015) telah terlampaui.
“Jika pemanasan global tidak terkendali, diperkirakan populasi manusia akan berkurang hingga 75 persen akibat bencana, penyakit, kelaparan, dan kemiskinan,” tuturnya.
Potensi Terjadinya Bencana di Indonesia Meningkat
Indonesia, berdasarkan laporan World Risk Report (WRI) tahun 2022 sebelumnya, tercatat sebagai negara nomor tiga di dunia yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina dan India. Namun, kondisi ini memburuk setelah laporan WRI pada tahun 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina.
“Padahal pada 2018 Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar negara yang paling berisiko terhadap bencana. Bergesernya posisi Indonesia menjadi negara yang berisiko sangat tinggi terhadap bencana ini menunjukkan, Indonesia memiliki tingkat paparan, kerentanan dan kerawanan tinggi terhadap bencana, sementara kapasitas penanganan bencana kurang dan minimnya adaptasi terhadap bencana,” jelasnya.
Sepanjang 2014-2024 ada 35.925 kejadian bencana di Indonesia, di mana sedikitnya 11.350 orang meregang nyawa. Intensitas bencana di Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan.
Mempertimbangkan berbagai fakta itu, komunitas Vegan Squad Indonesia, ujar Sri, mengajukan usulan dan mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membuat kebijakan mengurangi konsumsi daging sebagai salah satu langkah strategis dan ekonomis dalam mengatasi perubahan iklim.
Selain itu, pihaknya juga mengusulkan untuk menjalankan komitmen mengurangi deforestasi secara signifikan dan menghindari proyek-proyek pembangunan yang memperburuk deforestasi.
“Melakukan dan memperluas edukasi pada masyarakat tentang pola hidup vegan/vegetarian sebagai langkah efektif mengatasi perubahan iklim, dengan melibatkan berbagai pihak, seperti media, lembaga pendidikan, kelompok agamawan, korporasi, komunitas-komunitas vegan, dan lainnya,” katanya.
Mendorong dan memfasilitasi produksi pangan lokal nabati untuk mendukung dan memperluas penerapan pola hidup vegan/vegetarian, serta mendukung dan memfasilitasi perluasan pertanian selaras alam dengan melibatkan organisasi dan komunitas petani.
Pemerintah Diminta Bawa Usulan ke COP-29
Dalam kesempatan yang sama praktisi vegan sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Yogen Marshel Wijaya, berharap usulan ini disampaikan oleh delegasi atau perwakilan Indonesia di ajang COP ke-29 nanti. Menurutnya selama ini solusi yang kerap dibuat di ajang tahunan iklim tersebut tidak menyentuh akar permasalahan dan cenderung tidak adil terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ia mencontohkan pada COP ke-27 di Mesir telah disepakati pembentukan dana loss and damage yang dibuat untuk membantu negara yang rentan menghadapi dampak perubahan iklim. Yogen mengibaratkan dana loss and damage ini tidak ubahnya seperti perdagangan karbon karena negara-negara maju yang notabene negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia diperbolehkan untuk tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya dengan hanya membayar dana loss and damage kepada negara yang rentan terkena bencana akibat perubahan iklim.
“Jadi solusi COP kurang strategis karena tidak menyasar akar permasalahan pemanasan global itu sendiri. Dan tidak adil karena negara maju boleh tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya selama punya uang. dan kita negara berkembang yang tidak punya uang, kita harus mengurangi gas emisi rumah kacanya,” jelasnya.
Ajang COP, ujar Yogen selalu membahas terbatas hanya pada pengurangan penggunaan bahan bakar fosil di sektor transportasi dan industri ketika membicarakan tentang pemanasan global. Padahal, sebenarnya masalah terbesar dari pemanasan global bukanlah pada penggunaan bahan bakar fosil saja.
“Tahun 2006, dari laporan yang dikeluarkan oleh FAO disitu disebutkan bahwa peternakan hewan penyebab emisi yang jauh lebih besar dari emisi semua mobil dan industri bila digabungkan. Padahal selama ini COP hanya membicarakan soal bahan bakar fosil. Dan ternyata peternakan hewan menyumbang emisi yang jauh lebih besar dibandingkan emisi yang dihasilkan dari transportasi dan industri bila digabungkan,” jelasnya.
Penggundulan Hutan dan Industri Peternakan Hewan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2019 melaporkan 75 persen penggundulan hutan atau deforestasi di dunia disebabkan oleh industri peternakan hewan. Menurutnya pola makan nabati dapat membebaskan jutaan kilometer persegi lahan untuk hutan penyerap karbon dan dapat mengurangi hingga 8 giga ton emisi karbon setiap tahun pada 2050.
“Peternakan hewan menghasilkan gas metana yang setara dengan 72 kalinya CO2 dan juga menghasilkan gas nitrogen oksida yang setara dengan 296 kalinya CO2. Sedangkan COP yang selama ini dibahas hanya membahas tentang bahan bakar fosil yang emisinya CO2,” jelasnya.
Selain itu, penggunaan lahan untuk peternakan hewan yang sangat luas tersebut ternyata manfaatnya tidak sebesar lahan pertanian. Berdasarkan laporan FAO, disebutkan bahwa 77 persen lahan yang digunakan untuk peternakan hewan hanya dapat menyumbang 18 persen pasokan kalori global, dan 37 persen pasokan protein dunia. Sedangkan 23 persen lahan pertanian, dapat menyumbang 82 persen pasokan kalori global, dan 63 persen pasokan protein global. [gi/em]
PBB: Target Iklim Perjanjian Paris 'Dalam Bahaya Besar'

Menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, periode 2015-2024 diprediksi akan menjadi dekade dengan suhu terpanas yang pernah tercatat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan pada Senin (11/11) bahwa sejumlah target yang dimuat dalam Perjanjian Iklim Paris berada “dalam bahaya besar,” bahkan 2024 diperkirakan akan menjadi tahun dengan suhu tertinggi yang pernah tercatat. PBB menyampaikan pernyataan tersebut saat pembukaan KTT Iklim atau COP29 di Baku, Azerbaijan.
Menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, periode 2015-2024 diprediksi akan menjadi dekade dengan suhu terpanas yang pernah tercatat, berdasarkan enam sumber data internasional.
Suhu panas itu akan mempercepat gletser mencair, dan menaikkan permukaan laut. Tak hanya itu, peningkatan suhu juga akan menciptakan cuaca ekstrem yang berdampak pada masyarakat dan ekonomi di seluruh dunia.
"Target Perjanjian Paris dalam bahaya besar," kata WMO saat para pemimpin dunia melakukan pembicaraan iklim berisiko tinggi di Azerbaijan.
Di bawah Perjanjian Paris, hampir setiap negara di Bumi berkomitmen untuk membatasi pemanasan hingga "jauh di bawah" dua derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dan bahkan sebaiknya di bawah 1,5 derajat Celsius.
Namun, pemantau iklim Uni Eropa Copernicus mengatakan suhu 2024 akan melampaui batas 1,5 derajat Celsius.
Meski masih sejalan dengan Kesepakatan Paris, tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa dunia masih jauh dari target yang ditetapkan.
WMO, yang menggunakan kumpulan data yang lebih lengkap, juga mengungkapkan bahwa 2024 diperkirakan akan melewati batas 1,5 derajat Celsius, dan memecahkan rekor suhu yang baru saja tercatat tahun lalu.
"Krisis iklim menyerang kesehatan, memperburuk ketimpangan, merusak pembangunan berkelanjutan, dan menggoyahkan dasar perdamaian. Kelompok yang paling rentan adalah yang paling terdampak," kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam sebuah pernyataan.
Analisis tim pakar internasional yang dibentuk oleh WMO menemukan bahwa pemanasan global jangka panjang saat ini kemungkinan akan berada di sekitar 1,3 derajat Celsius, dibandingkan dengan garis dasar 1850-1900, kata badan tersebut.
"Setiap kenaikan derajat suhu itu sangat penting," tegas Kepala WMO, Celeste Saulo.
"Baik jika berada di bawah atau di atas kenaikan 1,5 derajat Celsius, setiap peningkatan pemanasan global akan memperburuk cuaca ekstrem, dampaknya, dan risikonya."
Saullo memperingatkan bahwa serangkaian peristiwa cuaca ekstrem yang melanda penjuru dunia pada tahun ini "sayangnya merupakan kenyataan baru buat kita".
Serangkaian bencana itu, katanya, "sedikit gambaran masa depan kita". [ah/rs]
- Associated Press
2024 akan Menjadi Tahun Terpanas yang Pernah Tercatat

Untuk tahun kedua berturut-turut, Bumi hampir pasti akan berada dalam kondisi terpanas yang pernah tercatat.
Dan untuk pertama kalinya, bumi tahun ini akan mencatat pemanasan lebih dari 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu pada era praindustri, kata badan iklim Eropa, Copernicus.
Carlo Buontempo, direktur Copernicus, mengatakan, data tersebut jelas menunjukkan bahwa kita tidak akan melihat rangkaian rekor suhu yang panjang tanpa peningkatan terus menerus gas rumah kaca di atmosfer, yang memicu pemanasan global.
Buontempo menambahkan bahwa melewati ambang pemanasan di atas 1,5 derajat Celsius dalam satu tahun itu berarti tidak memenuhi target yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Perjanjian itu dimaksudkan untuk mencoba membatasi kenaikan suhu rata-rata 1,5 derajat Celsius sejak era praindustri, selama 20 atau 30 tahun.
Tetapi ia mengatakan bahwa kenaikan pada tahun ini, yang akan melebihi patokan 1,5 derajat Celsius, “secara psikologis penting” saat negara-negara membuat keputusan secara internal dan mengadakan pendekatan perundingan pada KTT perubahan iklim PBB atau COP 29 tahun ini.
Sebuah laporan PBB tahun ini mengatakan bahwa sejak pertengahan 1800-an, dunia telah mengalami kenaikan suhu rata-rata hingga 1,3 derajat Celsius, naik dari perkiraan sebelumnya 1,1 atau 1,2 derajat.
Kondisi tersebut mengkhawatirkan karena PBB mengatakan sejumlah target pengurangan gas rumah kaca di berbagai negara masih belum cukup ambisius untuk membuat target kenaikan tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius dapat tercapai. [uh/rs]
Filipina Perintahkan Evakuasi dan Siagakan Tentara untuk Hadapi Topan Yinxing

Filipina telah memerintahkan evakuasi, mengumpulkan persediaan makanan dan menyiagakan tentara untuk persiapan menghadapi Topan Yinxing, kata para pejabat, Selasa (5/11), sewaktu badai ini bergerak menuju kota-kota di bagian timur laut di mana badai ini dapat mendarat minggu ini.
Pusat badai topan yang membawa angin berkecepatan 120 kilometer/jam diperkirakan berada 590 kilometer dari kota Baler di bagian timur provinsi Aurora, ungkap badan cuaca negara bagian, Pag-asa.
Kementerian pemerintah setempat telah menyerukan agar mereka yang berada di komunitas-komunitas terpencil untuk mengungsi terlebih dahulu, karena tim penyelamat mungkin tidak dapat menjangkau mereka selama gempuran badai, kata Menteri Pertahanan Gilberto Teodoro.
“Berbagai lembaga pemerintah telah menggabungkan upaya untuk mengeluarkan peringatan dini, membuat rencana ke depan, dan memposisikan barang dan jasa yang dibutuhkan,” kata Teodoro dalam sebuah pengarahan.
Makanan dikumpulkan, tentara disiagakan untuk membantu upaya penyelamatan, dan bendungan-bendungan melepaskan air lebih awal untuk mencegah banjir, kata para pejabat.
Badai tersebut dapat menghantam daratan antara Kamis malam dan Jumat pagi di sekitar provinsi utara Cagayan, membawa hujan lebat ke kota-kota yang dilaluinya, kata pejabat badan cuaca Nathaniel Servando, meskipun badai tersebut masih dapat berbelok.
Sekitar 24 juta orang dapat terkena dampak langsung dari topan ini, kata pejabat pertahanan sipil Ariel Nepomuceno.
Badai ini merupakan badai ketiga dalam waktu kurang dari satu bulan yang mengancam Filipina, setelah Badai Trami dan Topan Super Kong-rey menghantam pulau utama Luzon dalam beberapa minggu terakhir. Ketiga badai tersebut telah menewaskan 151 orang, dengan 21 orang hilang, menurut data pertahanan sipil.
“Kita telah belajar banyak. Itulah mengapa proses-proses kita telah disesuaikan,” tambah Teodoro.
Sekitar 20 badai tropis menghantam Filipina setiap tahunnya, membawa hujan lebat, angin kencang, dan tanah longsor yang mematikan. [my/ab]
- Yoanes Litha
Empat Bandara Tutup, Bantuan Logistik ke Flores Timur Lewat Laut dan Darat

Hingga Selasa (5/11) pengiriman bantuan logistik ke lokasi bencana erupsi gunung api Lewotobi Laki-laki masih dilakukan dengan memanfaatkan transportasi laut dan darat. Sementara itu empat bandar udara masih ditutup karean terdampak erupsi.
Pemerintah Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menyatakan masyarakat sudah meninggalkan rumah-rumah mereka yang berada dalam radius tujuh kilometer dari puncak Gunung Lewotobi Laki-laki yang meletus pada Senin (4/11) dini hari.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Flores Timur, Hery Lamawuran, dihubungi VOA, Senin (4/11) malam mengatakan berdasarkan data sementara sebanyak 1.944 jiwa telah berada di tiga titik lokasi pengungsian terpusat yang disiapkan oleh pemerintah di kecamatan Titihena, yang letaknya sekitar 20 kilometer dari puncak gunung berapi tersebut.
“Jadi penanganan untuk para pengungsi sudah dilakukan evakuasi sampai sore tadi, para pengungsi sudah berada di tiga lokasi pengungsian yaitu desa Konga, desa Lewolaga dan dan desa Bokang,” jelas Hery.
Menurut Hery, pemerintah menyediakan sarana transportasi untuk mengantar masyarakat yang terdampak menuju lokasi-lokasi pengungsian tersebut, meskipun ada juga warga yang mengungsi secara mandiri. Ia menambahkan, khusus bagi pengungsi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak dan lansia ditempatkan di gedung-gedung sekolah. Di masing-masing lokasi pengungsian juga di tempatkan petugas kesehatan, dan disediakan listrik, air bersih dan air minum.
“... Kemudian untuk logistik juga sudah disiapkan dan perlengkapan untuk usia-usia rentan juga kita sudah siapkan, sampai malam ini masih kita droping dari kabupaten menuju lokasi-lokasi pengungsian,” kata Hery.
Korban tewas
Dihubungi secara terpisah, kepala kantor Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Maumere, Supriyanto Ridwan, mengungkapkan, hingga pukul 18.00 WITA jumlah korban tewas terkait erupsi gunung api Lewotobi Laki-laki adalah sembilan dengan satu lainnya masih dalam perawatan.
“Untuk sementara data yang kami dapat dari lapangan sampai di jam 18.00 WITA itu jumlah korban yang awalnya kami dapat info sepuluh, ternyata sembilan, sembilan orang yang MD (meninggal dunia-red), satu orang yang kritis, masih dalam perawatan,” kata Supriyanto kepada VOA pada Senin (4/11) malam.
Menurut Supriyanto, pihaknya telah membuka posko di lokasi-lokasi pengungsian untuk menerima laporan dari masyarakat bila memiliki anggota keluarga yang belum ditemukan atau hilang. Namun sepanjang hari itu tidak ada penemuan korban baru atau laporan baru warga hilang yang diterima pihaknya.
“Untuk sementara tim kami buka posko di sana, untuk standby kalau ada informasi terbaru terkait orang hilang, kami siap,” jelas Supriyanto.
Masyarakat Diimbau Hindari area dalam radius tujuh kilometer
Berdasarkan data BNPB per Senin (4/11), pukul 12.30 WITA, erupsi gunung Lewotobi Laki-laki berdampak pada rumah-rumah penduduk dalam radius tujuh kilometer dari puncak gunung itu. Pusat Vulkalonogi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status aktivitas gunung Lewotobi Laki-laki dari level III menjadi IV atau ‘Awas’ pada Minggu, 3 November 2024 pukul 24.00 WITA.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari mengimbau masyarakat untuk tidak berada dalam radius tujuh kilometer dari pusat erupsi.
“Makanya sekali lagi, kami menghimbau untuk masyarakat yang saat ini sudah keluar dari lokasi tujuh kilometer, jangan masuk dulu ke lokasi yang kita sarankan untuk disterilkan,” kata Abdul dalam konferensi pers, Senin (4/11).
Pengiriman bantuan logistik lewat laut dan darat
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, mengungkapkan selama masa tanggap darurat bencana erupsi gunung api Lewotobi Laki-laki penanganan diprioritaskan pada evakuasi warga yang tinggal di daerah rawan yaitu dalam radius tujuh kilometer dari puncak gunung api.
Pemerintah juga berupaya menormalkan jalur transportasi agar logistik dapat dikirim ke wilayah terdampak di Flores Timur. “Memang akses ke sana semakin sulit, sekarang ini ada empat bandara yang ditutup masih belum bisa operasional. Oleh karena itu akses ke sana harus melalui laut dan darat dan tentu saja kita terus berusaha untuk mengaktifkan jalur jalur logistik ini agar tidak semakin mempersulit masyarakat,” jelas Praktino dalam konferensi pers, Selasa (5/11).
Menurut Pratikno, di lokasi-lokasi pengungsian juga telah didirikan tenda-tenda yang dilengkapi fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK), air bersih, air minum, makanan dan pelayanan kesehatan. [yl/ab]
Greenland Berupaya Kembangkan 'Pariwisata Pamungkas'

Terkenal akan padang beku yang luas dengan pemandangan yang luar biasa, Greenland tengah berupaya menarik lebih banyak turis, namun lokasinya yang terpencil dan kondisi lingkungannya yang rentan, yang membuatnya menjadi destinasi wisata unik, menciptakan sejumlah tantangan.
"Dampak dari pemanasan global paling terasa di wilayah Arktika," ungkap Michael Hall, profesor dari University of Canterbury dan ahli pariwisata, kepada AFP.
Pemanasan global mempercepat "hilangnya es laut Arktika di musim panas, (serta) mencairnya permafrost, rak es, dan gletser," ujar Hall, mengacu kepada elemen-elemen yang berkontribusi pada keunikan Greenland.
Di seluruh wilayah Greenland, para warga lokal menyaksikan langsung dampak dari pemanasan global.
Di Maniitsoq yang terletak di pesisir barat daya pulau tersebut, lautan esnya tak bisa dijelajahi sejak 2018 karena sudah tidak cukup solid. Warga juga telah menyaksikan penyusutan lautan es dari tahun ke tahun, selain semakin berkurangnya jumlah salju yang turun.
Namun, para wisatawan tetap saja tercengang dengan pemandangan yang tersaji di Greenland.
"Ini adalah tanah yang tak dikenal," ujar Amy Yankovic, turis berusia 55 tahun asal Amerika Serikat.
Yankovic, yang merupakan warga asli Texas, menempuh waktu hampir 24 jam untuk mencapai Greenland dengan menaiki tiga penerbangan lanjutan.
Pariwisata menyumbang sekitar delapan persen dari emisi gas rumah kaca global, menurut PBB, yang sebagian besar disebabkan oleh transportasi.
Terdapat "semacam 'pariwisata pamungkas', di mana mengunjungi lokasi-lokasi yang terancam punah ini menjadi semacam keinginan untuk melihatnya sebelum benar-benar hilang," ujar Emmanuel Salim, seorang dosen geografi di University of Toulouse di Prancis.
Ia mengatakan destinasi serupa seperti di Churchill di Kanada, yang dikenal sebagai "ibu kota beruang kutub di dunia", "telah mencoba menempatkan destinasi mereka sebagai tempat untuk 'mempelajari' tentang lingkungan."
Tetapi, walaupun destinasi-destinasi seperti itu dapat meningkatkan kesadaran akan praktik kepedulian lingkungan yang lebih baik, jejak karbon yang dihasilkan tetaplah tinggi, tambah Salim.
Membangun pariwisata di lokasi yang rentan memerlukan tindakan penyeimbang yang rumit.
"Mitigasi dari dampak pemanasan global pada wilayah Arktika merupakan tanggung jawab global," ujar Hall, seraya menambahkan bahwa "upaya mitigasi saat ini belumlah mencukupi."
Pihak berwenang Greenland menekankan mereka menginginkan pembangunan pariwisata yang hati-hati, agar dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
"Dalam beberapa tahun terakhir kami telah melihat anak muda menjadi operator pariwisata," kata Wali Kota Maniitsoq Gideon Lyberth kepada AFP.
"Kami sangat, sangat senang, karena anak muda telah pergi meninggalkan kota ini dan memilih Nuuk, dan hidup di sana, namun kini mereka telah kembali," tambahnya.
"Jelas bahwa perkembangan ini merupakan ide yang bagus, setidaknya untuk jangka pendek," pungkas Hall. [rs]
Polusi Udara di Lahore Capai Titik Terburuk dalam Sejarah

Tingkat polusi udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di kota terbesar kedua di Pakistan, Lahore, mendorong pihak berwenang untuk mengambil tindakan darurat pada hari Minggu (3/11), termasuk mengeluarkan perintah bekerja dari rumah dan menutup sekolah-sekolah dasar.
Kota itu menduduki posisi teratas dalam daftar terkini kota paling tercemar di dunia pada hari Minggu setelah mencatat angka polusi tertinggi sepanjang masa yakni 1900 di dekat perbatasan Pakistan-India pada hari Sabtu (2/11), berdasarkan data yang dirilis oleh pemerintah provinsi dan grup Swiss IQAir.
Pemerintah telah menutup sekolah dasar selama seminggu, dan menghimbau orang tua untuk memastikan anak-anak mengenakan masker, tutur Menteri Senior Punjab Marriyum Aurangzeb selama konferensi pers, saat kabut asap tebal menyelimuti kota tersebut.
Warga diimbau untuk tetap berada di dalam rumah, menutup pintu dan jendela, serta menghindari perjalanan yang tidak perlu, katanya, seraya menambahkan bahwa rumah sakit telah dilengkapi dengan alat pengukur asap.
Untuk mengurangi polusi kendaraan, 50% karyawan kantor akan bekerja dari rumah, kata Aurangzeb.
Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penggunaan kendaraan roda tiga dan menghentikan pembangunan di beberapa wilayah untuk mengurangi tingkat polusi. Pabrik dan lokasi konstruksi yang tidak mematuhi peraturan ini dapat ditutup, katanya.
Aurangzeb menggambarkan situasi tersebut sebagai "tidak terduga" dan menghubungkan memburuknya kualitas udara dengan angin yang membawa polusi dari negara tetangga Pakistan, yakni India.
"Hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa perundingan dengan India," katanya, seraya menambahkan pemerintah provinsi akan memulai perundingan dengan negara tetangganya yang lebih besar melalui kementerian luar negeri Pakistan.
Krisis kabut asap di Lahore, mirip dengan situasi yang terjadi di ibu kota India, New Delhi, yang cenderung memburuk selama bulan-bulan yang lebih dingin karena inversi suhu yang menjebak polusi lebih dekat ke permukaan tanah. [rz/rs]
- Associated Press
Kabut Asap Beracun Selimuti New Delhi, Sehari Usai Festival Diwali

Lapisan tebal kabut asap beracun yang berasal dari petasan yang dinyalakan untuk merayakan festival cahaya umat Hindu, Diwali, menyelimuti ibu kota India pada Jumat (1/11) dan mendorong polusi udara ke tingkat yang berbahaya.
Indeks kualitas udara New Delhi menyentuh kategori "parah", menurut SAFAR, badan pemantau lingkungan utama India. Di banyak daerah, tingkat partikel yang mematikan mencapai tujuh kali batas aman Organisasi Kesehatan Dunia.
Pihak berwenang di ibu kota India tersebut, telah melarang penggunaan dan penjualan petasan tradisional sejak 2017, dan meminta orang-orang untuk memilih yang ramah lingkungan atau pertunjukan cahaya sebagai gantinya. Namun, aturan tersebut sering dilanggar.
New Delhi, yang dihuni lebih dari 33 juta penduduk, seringkali menempati peringkat teratas sebagai salah satu kota paling tercemar di dunia.
Krisis polusi udara makin parah terutama di musim dingin, ketika pembakaran sisa tanaman di negara bagian tetangga bertepatan dengan suhu yang lebih dingin yang menjebak asap yang mematikan. Asap tersebut sampai ke New Delhi, menyebabkan lonjakan polusi dan memperburuk krisis kesehatan masyarakat.
Emisi dari industri tanpa pengendalian polusi dan penggunaan batu bara, yang menghasilkan sebagian besar listrik negara itu, terkait dengan buruknya kualitas udara di daerah perkotaan.
"Kita mungkin tidak menyadarinya sekarang, tetapi nanti kita akan menghadapi masalah paru-paru," kata Manoj Kumar, warga New Delhi saat lari pagi di sekitar monumen Gerbang India yang ikonik di ibu kota.
Beberapa penelitian memperkirakan lebih dari satu juta orang India meninggal setiap tahun akibat penyakit yang berhubungan dengan polusi udara. Partikel kecil di udara yang tercemar dapat bersarang jauh di dalam paru-paru dan menyebabkan berbagai masalah utama kesehatan. [es/ft]
China, Pahlawan atau Penjahat dalam Perang Melawan Iklim?

China merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, tetapi juga membangun kapasitas energi angin dan surya terbesar.
China adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang menyebabkan pemanasan global — tetapi negara itu juga merupakan pemimpin global dalam mengembangkan sumber-sumber yang disebut teknologi hijau, seperti tenaga surya dan angin. Jadi, apakah China merupakan masalah atau solusi dalam perang melawan perubahan iklim?
Menjelang konferensi iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, posisi China yang tampaknya kontradiktif dalam perang melawan perubahan iklim mulai terlihat.
Lebih dari 80 persen energi China diproduksi menggunakan bahan bakar fosil, dengan ketergantungan yang besar pada batu bara. Produksi batu bara negara itu memecahkan rekor tahun lalu, dan lebih banyak pembangkit listrik tenaga batu bara sedang dibangun.
Meskipun demikian, emisi karbon China kemungkinan akan mencapai puncaknya pada 2025, lima tahun lebih cepat dari target awal 2030, menurut proyeksi Yiyun Cui, profesor riset asosiasi dan penjabat direktur Pusat Keberlanjutan Global di Universitas Maryland.
“Hal ini terutama didorong oleh perkembangan teknologi hijau yang sangat cepat, khususnya tenaga surya dan angin. Kami melihat penyebaran kendaraan listrik sangat cepat. [Hal ini] juga didorong oleh menurunnya permintaan untuk banyak produk yang membutuhkan banyak energi seperti bahan konstruksi karena perlambatan ekonomi dan restrukturisasi,” kata Cui.
Laporan terbaru dari Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, sebuah organisasi penelitian dan kebijakan yang berbasis di Finlandia, menunjukkan bahwa pada kuartal ketiga tahun ini, emisi batu bara China meningkat. Namun peningkatan tersebut diimbangi oleh pengurangan emisi yang disebabkan oleh produksi baja, semen, dan minyak, akibat melambatnya ekonomi China.
Sementara itu, China adalah pemimpin global dalam membangun kapasitas energi terbarukan. Jumlah energi yang dipasok oleh pembangkit listrik tenaga angin dan surya yang dibangunnya, ketika mulai beroperasi, diperkirakan akan menjadi dua kali lipat dari gabungan seluruh dunia, cukup untuk memberi daya pada seluruh Korea Selatan.
Selama beberapa tahun terakhir, Beijing telah mendorong serangkaian kebijakan nasional, termasuk mengalokasikan lahan untuk membangun pembangkit listrik tenaga angin dan meningkatkan penggunaan panel surya atap. Lauri Myllyvirta, peneliti senior di Asia Society Policy Institute, kepada VOA News mengatakan kebijakan ini telah merangsang ekonomi hijau China dan merupakan kepentingan Beijing untuk mengekspor teknologi hijau.
“Ada banyak antusiasme dari pemerintah daerah, bank-bank negara, investor swasta untuk proyek-proyek tenaga surya dan angin, karena proyek-proyek tersebut menguntungkan terutama setelah kontraksi pasar real estat. Semua pemain ini mencari target baru untuk investasi dan sumber pertumbuhan,” kata Myllyvirta.
Industri tenaga surya China, misalnya, mengalami kelebihan pasokan, yang mengancam akan membuat harga peralatan tetap rendah selama bertahun-tahun mendatang.
Ketika negara-negara seperti Amerika Serikat memperingatkan adanya ancaman terhadap produksi lokal, Cui mengatakan hal itu membebankan biaya untuk transisi energi global, terutama bagi negara-negara di belahan bumi selatan.
Negara-negara akan mengajukan rencana iklim baru awal tahun depan untuk mencapai Tujuan Perjanjian Paris yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global.
Sebagai penghasil emisi terbesar di dunia, komitmen China diharapkan menjadi "sangat penting bagi upaya iklim global," kata Myllyvirta.
COP29 akan berlangsung dari 11 November hingga 22 November di Azerbaijan. [es/ft]
- Associated Press
Laporan PBB Peringatkan Kemungkinan Terjadinya Kelaparan yang Diperburuk oleh Konflik dan Guncangan Iklim

Krisis pangan yang parah mengancam ratusan ribu orang di daerah-daerah rentan, termasuk wilayah-wilayah Palestina, Sudan, Sudan Selatan, Haiti, dan Mali, di mana penduduknya menghadapi atau hampir mengalami kelaparan, kata sebuah laporan dari badan-badan pangan PBB yang dirilis pada hari Kamis (31/10).
Konflik, ketidakstabilan ekonomi, dan guncangan iklim – ditambah dengan berkurangnya dana untuk bantuan darurat pangan dan pertanian – mendorong tingkat kerawanan pangan akut yang mengkhawatirkan, kata laporan tersebut.
Masih menurut laporan itu, “intervensi yang lebih luas dan segera diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut di wilayah-wilayah yang sudah rentan ini.”
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan, kerawanan pangan akut diperkirakan akan memburuk di 16 “titik panas kelaparan” selama enam bulan ke depan di 14 negara dan dua wilayah.
Rein Paulsen, Direktur Keadaan Darurat dan Ketahanan FAO, mengungkapkan, “Kami telah mengelompokkan titik-titik rawan kelaparan ke dalam tiga kategori, dengan tiga tingkat kekhawatiran yang berbeda. Dari 16 titik rawan kelaparan, lima di antaranya tergolong dalam tingkat kekhawatiran tertinggi. Lima yang dimaksud adalah Sudan, Palestina, Sudan Selatan, Haiti, dan Mali.”
Chad, Lebanon, Myanmar, Mozambik, Nigeria, Republik Arab Suriah dan Yaman diklasifikasikan sebagai “titik panas yang sangat memprihatinkan,” di mana banyak orang menghadapi atau diperkirakan akan menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang kritis.
“Konflik dan kekerasan bersenjata terus menjadi penyebab utama kelaparan di berbagai titik rawan, mengganggu sistem pangan, membuat penduduk terpaksa mengungsi, dan menghambat akses kemanusiaan,” ungkap laporan tersebut.
Pakar-pakar FAO dan WFP percaya bahwa konflik di Sudan kemungkinan akan meluas, “mendorong pengungsian massal, mengakibatkan kelaparan terus berlanjut, dan membuat jumlah orang yang berada dalam kondisi bencana meningkat.”
Hal ini akan semakin memperburuk krisis kemanusiaan regional, yang mengakibatkan peningkatan pergerakan lintas batas ke negara-negara tetangga, terutama Chad, Sudan Selatan, Mesir, Libya, Ethiopia dan Republik Afrika Tengah.
Badan-badan PBB itu juga menekankan bahwa konflik yang sedang berlangsung di wilayah-wilayah Palestina telah mendorong “kebutuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan perpindahan penduduk yang hampir semuanya dan peningkatan risiko dampak regional.” [ab/lt]
VOA Headline News: Laporan PBB Peringatkan Kemungkinan Terjadinya Kelaparan yang Diperburuk oleh Konflik dan Guncangan Iklim
Akan Boikot KTT Iklim PBB, Papua Nugini: ‘Buang-buang Waktu’

Papua Nugini, Kamis (31/10) menyatakan akan memboikot konferensi tingkat tinggi iklim PBB, COP29, yang akan diselenggarakan bulan depan, dengan menyebut negosiasi isu pemanasan global itu sebuah pertemuan yang “membuang-buang waktu” dan penuh dengan janji-janji kosong para pelaku utama pencemaran.
Meski sebelumnya banyak yang mengkritik pertemuan iklim tahunan itu, jarang ada negara yang sepenuhnya memboikot penyelenggaraannya. “Tidak ada gunanya kalau kita tertidur gara-gara penat terbang (jet lag), karena kita tidak akan menyelesaikan masalah apa pun,” kata Menteri Luar Negeri Papua Nugini Justin Tkatchenko kepada AFP sebelum COP29 di Azerbaijan pada November.
“Semua pelaku utama pencemaran di dunia berjanji dan berkomitmen untuk memberikan jutaan (dolar) untuk membantu upaya pemulihan dan bantuan iklim. Dan saya bisa beri tahu Anda sekarang bahwa itu semua akan diberikan kepada konsultan.”
Pulau Nugini adalah rumah bagi hamparan hutan hujan terbesar ketiga di dunia, menurut Dana Dunia untuk Alam (World Wildlife Fund/WWF), dan telah lama dikenal sebagai salah satu “paru-paru dunia.”
Papua Nugini, yang miskin, diapit lautan, dan rentan bencana alam, juga dinilai sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. “COP benar-benar membuang-buang waktu,” kata Tkatchenko.
“Kami muak pada retorika dan pertemuan yang tidak ada habisnya yang pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah apa pun selama tiga tahun terakhir ini.”
“Kami adalah negara dengan hutan hujan terbesar ketiga di dunia. Kami menyerap polutan dari negara-negara besar ini. Dan mereka dapat bebas begitu saja tanpa konsekuensi apapun.”
‘Festival Membual’
KTT Iklim PBB tahun 2015 menyepakati Perjanjian Paris yang bersejarah, di mana hampir semua negara di seluruh dunia sepakat untuk memangkas emisi mereka untuk membatasi kenaikan suhu global.
Akan tetapi, pertemuan-pertemuan berikutnya semakin dikecam luas, terutama dipicu oleh persepsi bahwa para pelaku utama pencemaran menggunakan pengaruh mereka untuk membatasi aksi iklim lebih lanjut.
Sementara itu, dana adaptasi yang dibentuk melalui COP untuk membantu negara-negara berkembang dituduh memiliki birokrasi yang lamban, yang gagal memahami urgensi krisis yang sedang terjadi.
Pada tahun lalu, kelompok-kelompok masyarakat sipil bersatu untuk mendesak pemboikotan KTT iklim yang diselenggarakan oleh Uni Emirat Arab, dengan mengklaim bahwa pertemuan tersebut akan “membersihkan” reputasi buruk negara minyak itu dalam isu iklim.
Sementara pada tahun 2009, karena tidak puas dengan usulan pemangkasan emisi, puluhan negara Afrika memimpin aksi walk-out saat penyelenggaraan COP tahun itu di Kopenhagen.
Untuk tahun ini, Ukraina menekan para sekutunya untuk tidak menghadiri KTT tahun ini jika Presiden Rusia Vladimir Putin hadir.
Akan tetapi, Papua Nugini menjadi salah satu negara pertama di dunia yang menyuarakan pemboikotan COP29 sepenuhnya secara lantang.
“Mengapa kami menghabiskan semua uang ini untuk pergi ke belahan dunia yang lain hanya untuk menghadiri festival membual ini,” kata Tkatchenko.
‘Tidak Menarik Perhatian’
Papua Nugini adalah satu dari lima negara Pasifik yang terlibat dalam kasus yang sangat penting di Mahkamah Internasional, yang akan segera menguji apakah pelaku pencemaran dapat dituntut karena mengabaikan kewajiban iklim mereka.
Negara-negara Pasifik yang berada di dataran rendah seperti Tuvalu dapat tenggelam hampir seluruhnya akibat naiknya permukaan laut dalam 30 tahun ke depan.
Tkatchenko mengatakan, keputusan untuk menarik diri dari KTT Iklim PBB mendapatkan pujian dari blok Pasifik. “Saya berbicara atas nama negara-negara pulau kecil yang keadaannya lebih buruk dari Papua Nugini. Mereka tidak mendapat perhatian dan pengakuan sama sekali.”
Tkatchenko melanjutkan, Papua Nugini justru akan mencoba mencapai kesepakatan iklimnya sendiri melalui kanal bilateral, salah satunya dengan Singapura, di mana negosiasi sedang berlangsung. “Bersama negara-negara yang sepaham, seperti Singapura, kami bisa berbuat 100 kali lipat daripada COP. Mereka memiliki jejak karbon yang besar, dan kami ingin memikirkan cara agar mereka dapat bekerja sama dengan Papua Nugini untuk memperbaikinya,” tandasnya.
Awal Oktober lalu, salah satu pertemuan penting menjelang COP29 berakhir dengan kekecewaan, di mana negara-negara membuat kemajuan kecil untuk membahas cara mendanai kesepakatan finansial baru bagi negara-negara yang lebih miskin.
COP, singkatan dari conference of parties (konferensi pihak-pihak), merupakan konferensi perubahan iklim utama PBB yang digelar setiap tahun, di mana negara-negara pihak berusaha menentukan komitmen iklim yang mengikat secara hukum. [rd/em]
Kebakaran, Banjir, dan Kekeringan Yang Semakin Parah Melanda Australia

Perairan samudera Australia berubah menjadi lebih asam, kebakaran hutan terjadi lebih lama, dan kekeringan menjadi lebih parah, demikian menurut sebuah laporan iklim baru yang dirilis Kamis (31/10) oleh para peneliti pemerintah.
Laporan State of the Climate, yang disusun selama dua tahun oleh Biro Cuaca dan Badan Ilmu Pengetahuan Nasional Australia, memberikan gambaran yang suram tentang kehidupan di negara yang terbakar sinar matahari ini, kecuali jika upaya pengurangan emisi global dirombak secara radikal.
“Laju perubahanlah yang menjadi perhatian utama kami di sini,” ujar pakar iklim dari Biro Meteorologi, Karl Braganza. “Ilmu sains sudah sangat jelas, kita harus mencapai net zero secepat mungkin. Jelas sekali bahwa membuat perubahan itu sangat sulit dan tidak terjadi dalam semalam.”
Iklim Australia telah menghangat rata-rata 1,51 derajat Celcius sejak tahun 1910, sementara suhu lautan telah meningkat 1,08 derajat Celcius sejak tahun 1900. Pemanasan ini telah memicu pola cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, baik di daratan maupun di lautan.
Lautan yang lebih panas dan lebih asam dikaitkan dengan peristiwa pemutihan karang di perairan tropis Great Barrier Reef. Objek wisata alam yang terkenal ini mengalami salah satu peristiwa pemutihan terburuk yang pernah tercatat pada awal tahun ini.
Rekor yang Merosot
Saat sebagian Australia mulai mengalami hujan lebat yang lebih intens, wilayah lain mencatat periode kekeringan yang lebih lama dan lebih panas. Para ilmuwan mencatat adanya peningkatan yang nyata dalam “cuaca kebakaran ekstrem” di sebagian besar wilayah Australia sejak tahun 1950-an, sementara musim kebakaran juga terus berlangsung lebih lama.
Banyak warga Australia yang masih mengalami luka-luka akibat kebakaran hutan “Black Summer” pada tahun 2019-2020, yang menghanguskan sebagian besar hutan, membunuh jutaan hewan, dan menyelimuti kota-kota besar dengan asap tebal.
Braganza memperingatkan memprediksi terjadinya peristiwa cuaca ekstrem ini juga menjadi semakin sulit, karena model-model prakiraan cuaca berjuang untuk memperhitungkan rekor-rekor yang terus merosot. “Laju pencatatan rekor dalam sistem iklim di wilayah Australia dan secara global sangat signifikan,” katanya.
Emma Bacon dari kelompok advokasi iklim Sweltering Cities mengatakan bahwa Australia kehabisan waktu untuk bersiap-siap menghadapi dampak iklim yang akan terjadi. “Salah satu masalahnya adalah jadwal kita terlalu panjang, kita memikirkan dampak iklim pada tahun 2030 atau 2050, tetapi kita seharusnya memikirkan musim panas ini dan tahun depan,” katanya kepada kantor berita AFP.
Bacon memperingatkan suhu di kota-kota besar yang terik sebelumnya telah mendekati 50 derajat Celcius, yang bisa menyebabkan masalah kesehatan serius bagi masyarakat. “Ada beberapa pembicaraan serius yang perlu dilakukan tentang di mana dan bagaimana kita hidup, dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut,” ujarnya.
Menyedihkan
Laporan tersebut menemukan bahwa meskipun emisi Australia telah menurun sejak tahun 2005, negara ini harus secara signifikan mempercepat upaya untuk memenuhi target tahun 2030.
“Ini sangat menyedihkan,” kata Jaci Brown dari lembaga ilmu pengetahuan nasional Australia, CSIRO.
“Kita memiliki teknologi di luar sana dan saya mencoba untuk tetap positif dan optimis bahwa kita bisa melakukannya.”
Australia telah sukses dalam meningkatkan energi terbarukan, dan penduduknya termasuk salah satu pengadopsi panel surya rumah tangga yang paling banyak di dunia.
Namun, Australia tetap menjadi salah satu pengekspor batu bara dan gas terkemuka di dunia, meskipun semakin terpukul oleh dampak perubahan iklim. [th/em]
- Associated Press
Banjir Bandang di Spanyol, Sedikitnya 51 Orang Tewas

Hujan deras mengguyur sebagian besar wilayah timur dan selatan Spanyol pada hari Selasa, membanjiri jalan-jalan dengan air berlumpur dan mengganggu perjalanan kereta api dan udara.
Sedikitnya 51 orang tewas di wilayah timur Spanyol, Valencia, setelah banjir bandang menghanyutkan mobil, mengubah jalanan desa menjadi sungai, dan mengganggu jalur kereta api, serta jalan raya; sebuah bencana alam terburuk yang melanda dalam beberapa waktu terakhir.
Layanan darurat di wilayah timur Valencia mengonfirmasi jumlah korban tewas tersebut pada hari Rabu (30/10).
Hujan badai pada hari Selasa (29/10) menyebabkan banjir di sebagian besar wilayah selatan dan timur Spanyol. Air banjir bercampur lumpur menjatuhkan kendaraan di jalanan dengan kecepatan yang menakutkan. Potongan-potongan kayu berputar bersama barang-barang rumah tangga. Polisi dan petugas penyelamat menggunakan helikopter untuk mengangkat orang-orang dari rumah dan mobil mereka.
Sejumlah orang dilaporkan hilang pada Selasa malam, menurut otoritas setempat, tetapi keesokan paginya ada pengumuman mengejutkan tentang puluhan orang yang ditemukan tewas.
Lebih dari 1.600 tentara dari unit tanggap darurat Spanyol dikerahkan ke daerah-daerah yang hancur.
“Kemarin adalah hari terburuk dalam hidup saya,” kata Ricardo Gabaldón, walikota Utiel, sebuah kota di Valencia, kepada lembaga penyiaran nasional RTVE. Dia mengatakan beberapa orang masih hilang di kotanya.
“Kami terjebak seperti tikus. Mobil-mobil dan kontainer sampah mengalir di jalanan. Air naik hingga tiga meter,” katanya. Spanyol telah mengalami badai musim gugur yang serupa dalam beberapa tahun terakhir, tetapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kehancuran yang terjadi dalam dua hari terakhir.
Jumlah korban tewas bisa saja bertambah dengan daerah-daerah lain yang belum melaporkan korban dan upaya pencarian masih terus dilakukan di daerah-daerah yang aksesnya sulit. Di desa Letur, wilayah tetangga Castilla La Mancha, Wali Kota Sergio Marín Sánchez mengatakan bahwa enam orang hilang.
Sebuah kereta api berkecepatan tinggi dengan hampir 300 orang di dalamnya tergelincir di dekat Malaga, meskipun pihak berwenang kereta api mengatakan tidak ada yang terluka. Layanan kereta api berkecepatan tinggi antara kota Valencia dan Madrid terganggu, begitu juga dengan beberapa jalur kereta komuter.
Presiden regional Valencia Carlos Mazón mendesak orang-orang untuk tetap tinggal di rumah agar tidak mempersulit upaya penyelamatan. Pasalnya, perjalanan darat sudah sulit dilakukan akibat pohon-pohon tumbang dan kendaraan yang rusak.
“Lingkungan ini hancur, semua mobil bertumpuk satu sama lain, benar-benar hancur,” kata Christian Viena, seorang pemilik bar di desa Barrio de la Torre, Valencia, melalui telepon. “Semuanya hancur total. Semuanya siap untuk dibuang. Lumpurnya hampir mencapai 30 sentimeter.”
Pemerintah pusat Spanyol membentuk komite krisis untuk membantu mengkoordinasikan upaya penyelamatan.
Hujan telah mereda di Valencia pada Rabu pagi. Namun, lebih banyak badai diperkirakan akan terjadi hingga hari Kamis (31/10), menurut layanan cuaca nasional Spanyol.
Spanyol masih dalam masa pemulihan akibat kekeringan parah awal tahun ini. Para ilmuwan mengatakan peningkatan episode cuaca ekstrem kemungkinan terkait dengan perubahan iklim. [th/em]
Forum