Isu Iklim
- Associated Press
Hujan Deras Sebabkan Banjir Bandang di Selatan dan Timur Spanyol

Hujan deras yang disebabkan oleh massa udara dingin yang bergerak melintasi wilayah tenggara Spanyol, menyebabkan jalan-jalan dan kota-kota terendam banjir pada Selasa (29/10). Banjir tersebut mendorong pihak berwenang di daerah-daerah yang paling parah terdampak menyarankan warganya untuk tinggal di rumah dan menghindari semua perjalanan yang tidak penting.
Badan cuaca negara Spanyol, AEMET, mengumumkan peringatan merah di wilayah timur Valencia dan tingkat kewaspadaan tertinggi kedua di beberapa bagian Andalusia di selatan, di mana sebuah kereta tergelincir karena hujan deras, meskipun tidak ada yang terluka.
Rekaman-rekaman gambar menunjukkan sejumlah petugas pemadam kebakaran menyelamatkan pengemudi yang terjebak di tengah hujan lebat di Kota Alzira, Valencia, dan mobil-mobil yang terjebak jalan-jalan yang terendam banjir.
Para ilmuwan mengatakan cuaca ekstrem semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Sejumlah ahli meteorologi percaya bahwa pemanasan di Laut Tengah, yang meningkatkan penguapan air, memainkan peran penting dalam membuat hujan lebat menjadi lebih parah.
AEMET memperkirakan Valencia akan terdampak paling parah oleh badai ini, dengan perkiraan curah hujan lebih dari 90 milimeter dalam waktu kurang dari satu jam, atau 180 mm dalam waktu kurang dari 12 jam.
Sekolah, gedung pengadilan, dan layanan penting lainnya ditangguhkan di Carlet dan beberapa kota terdekat lainnya di wilayah Valencia.
Layanan darurat setempat meminta bantuan UME, sebuah unit militer yang khusus melakukan operasi penyelamatan, di daerah Utiel-Requena, di mana asosiasi petani ASAJA mengatakan badai tersebut menyebabkan kerusakan signifikan pada tanaman pangan mereka.
Badai pertama kali melanda Andalusia. Di El Ejido, sebuah kota di kawasan Laut Tengah yang terkenal dengan rumah-rumah kacanya yang bertebaran di sana-sini, badai es memecahkan ratusan kaca depan mobil, membanjiri jalan-jalan dan merusak infrastruktur rumah kaca yang sebagian besar terbuat dari plastik.
Di Alora, yang juga terletak di Andalusia, sungai Guadalorce meluap dan 14 orang di wilayah tersebut harus diselamatkan oleh petugas pemadam kebakaran, kata pihak berwenang. AEMET menyatakan, Alora merupakan wilayah paling terdampak pada Selasa dengan curah hujan mencapai 160 mm. [ab/ns]
- Associated Press
Biden Umumkan Dana Hibah $3 Miliar untuk Kurangi Emisi Karbon di Pelabuhan-pelabuhan AS

Pemerintahan Presiden Joe Biden memberikan hampir $3 miliar untuk meningkatkan peralatan ramah iklim dan infrastruktur di pelabuhan-pelabuhan di berbagai penjuru Amerika Serikat, termasuk di Baltimore, tempat runtuhnya sebuah jembatan yang menewaskan enam pekerja konstruksi dan mengganggu lalu lintas maritim selama berbulan-bulan.
Presiden Joe Biden mengunjungi pelabuhan utama kota itu pada Selasa (29/10) untuk mengumumkan hibah tersebut, yang menurut para pejabat akan meningkatkan dan memodernisasi infrastruktur pelabuhan di 55 lokasi di AS, mengurangi polusi, dan memerangi krisis iklim.
Dalam pidatonya, ia mengatakan, “Hari ini saya dengan bangga mengumumkan bahwa kami menyalurkan dana sebesar $3 miliar untuk Undang-undang Pengurangan Inflasi guna membantu membersihkan dan memodernisasi infrastruktur pelabuhan di 27 negara bagian dan teritori berbeda dari Pennsylvania, Georgia, Michigan, dan sekitarnya, termasuk, ya, Puerto Rico.”
Pelabuhan Baltimore, salah satu pelabuhan tersibuk di wilayah Pantai Timur AS, merupakan pusat utama impor dan ekspor kendaraan bermotor dan peralatan pertanian.
Lebih dari 20.000 pekerja mendukung operasional pelabuhan itu sehari-hari, termasuk pekerja pelabuhan dan pengemudi truk yang tergabung dalam serikat pekerja.
Kunjungan presiden, seminggu sebelum Hari Pemilu, dimaksudkan untuk menyoroti upaya Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris untuk mempromosikan energi bersih sekaligus melindungi dan menciptakan lapangan kerja dengan gaji yang baik. [ab/ns]
VOA Headline News: Biden Umumkan Dana Hibah $3 Miliar untuk Kurangi Emisi Karbon di Pelabuhan-pelabuhan AS
Arab Saudi Berkomitmen Pertahankan Kapasitas Produksi Minyak Mentah Sambil Kejar Target Iklim

Lebih dari 100 negara melobi “penghapusan bertahap” bahan bakar fosil di COP28 yang diadakan di Uni Emirat Arab. Namun menghadapi tentangan dari kelompok produsen minyak pimpinan Arab Saudi, OPEC, yang berargumen bahwa dunia bisa mengurangi emisi karbon tanpa mengucilkan bahan bakar tertentu.
Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abulaziz bin Salman, Selasa (29/10) mengatakan negaranya “berkomitmen” untuk mempertahankan kapasitas produksi minyak mentah sebesar 12,3 juta barel per hari.
Berbicara dalam konferensi Inisiatif Investasi Masa Depan (Future Investment Initiative/FII) di Riyadh, Pangeran Abdulaziz mengatakan bahwa eksportir minyak terbesar di dunia itu akan mempertahankan target produksi minyak mentahnya sembari berupaya mencapai target iklimnya.
“Kami akan memonetisasi setiap molekul energi yang dimiliki negeri ini, titik,” kata Pangeran Abdulaziz. Kebijakan tersebut akan dilakukan seiring dengan tujuan-tujuan lain, seperti pengurangan emisi, tambahnya.
“Kami berkomitmen untuk mempertahankan kapasitas minyak mentah 12,3 juta (barel per hari) dan kami bangga akan hal itu,” katanya. Pernyataannya disampaikan menjelang pengumuman mengenai pertukaran kredit karbon yang melibatkan dana kekayaan negara Arab Saudi, yang diperkirakan akan disampaikan hari Selasa.
Tahun lalu, Arab Saudi mendukung sebuah kesepakatan pada konferensi iklim PBB, COP28, yang memberikan lebih banyak kelonggaran kepada negara-negara untuk menapaki jalur masing-masing menuju berbagai sumber energi yang lebih bersih.
Lebih dari 100 negara telah melobi “penghapusan bertahap” bahan bakar fosil di COP28 yang diadakan di Uni Emirat Arab. Namun, mereka menghadapi tentangan dari kelompok produsen minyak pimpinan Arab Saudi, OPEC, yang berargumen bahwa dunia bisa mengurangi emisi karbon tanpa mengucilkan bahan bakar tertentu.
“Kami tidak malu akan rekam jejak kami dalam hal emisi,” kata Pangeran Abdulaziz dalam konferensi FII. “Kami bangga akan hal itu, tetapi para pakar mencoba menciptakan pengalihan agar kami tidak menyandang status sebagai negara yang terhormat dan bermoral.”
Ia juga mengatakan bahwa Arab Saudi akan memperbarui janji iklim nasionalnya di bawah Perjanjian Paris untuk meningkatkan targetnya.
“Kami memastikan bahwa kami akan memiliki NDC (Nationally Determined Contribution atau Kontribusi Nasional yang Ditentukan) yang diperbarui tahun depan, dan saya bisa jamin bahwa angkanya akan lebih tinggi.” [th/rd]
PBB: Upaya Global Perlindungan Keanekaragaman Hayati Alami Kemajuan Kecil

Upaya global untuk melindungi flora dan fauna dunia telah membuat kemajuan kecil, sementara beberapa spesies masih mengalami penurunan serius, menurut dua laporan yang diterbitkan pada Senin (28/10) di konferensi tingkat tinggi keanekaragaman hayati PBB di Kolombia.
Sebuah laporan yang disusun oleh Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Programme/UNEP) mengkaji kemajuan global sejak diterbitkannya laporan keanekaragaman hayati pada 2020. Dua tahun lalu, sebanyak 196 negara menandatangani sebuah perjanjian bersejarah untuk melindungi keanekaragaman hayati di 30 persen bagian dari planet Bumi pada 2030.
Konferensi tingkat tinggi yang sedang berlangsung di Cali, Kolombia, itu merupakan kelanjutan dari kesepakatan tahun 2022 di Montreal, yang mencakup 23 langkah untuk menghentikan dan membalikkan kerusakan alam.
Salah satu langkahnya menyerukan agar 30 persen wilayah dari planet ini dan 30 persen ekosistem yang kondisinya menurun dilindungi per 2030.
Laporan UNEP menyebutkan, bahwa negara-negara pihak telah membuat beberapa kemajuan, akan tetapi kemajuan yang dibuat jaringan global itu harus dipercepat dalam enam tahun ke depan agar bisa mencapai target.
Laporan itu menyatakan bahwa 17,6 persen wilayah daratan dan perairan darat, serta 8,4 persen lautan dan wilayah pesisir di seluruh dunia tercakup dalam kawasan lindung dan konservasi yang sudah tercatat.
“Peningkatan wilayah cakupan sejak 2020, yang setara dengan lebih dari dua kali lipat luas Kolombia, patut dirayakan,” kata UNEP dalam pernyataan persnya.
“Tapi itu adalah kenaikan sebesar kurang dari 0,5 persen di kedua wilayah tersebut.”
Wilayah darat seluas gabungan Brazil dan Australia serta lautan seluas lebih dari Samudra Hindia harus dilindungi dan dilestarikan per 2030 untuk memenuhi target global, kata UNEP.
“Kita tidak boleh terlalu merayakan ini karena masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi target 30 persen, dan kita hanya punya waktu enam tahun untuk menyelesaikannya,” kata Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen.
Laporan UNEP menggunakan data resmi terbaru yang dilaporkan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
“Inisiatif ‘30x30’ ini adalah target yang ambisius, tapi masih bisa dicapai apabila komunitas internasional bekerja sama lintas perbatasan, demografi, dan sektor,” kata Grethel Aguilar, direktur jenderal Serikat Pelestarian Alam Internasional (The International Union for the Conservation of Nature/IUCN).
IUCN melaporkan pada Senin bahwa 38 persen pepohonan dunia berisiko punah.
Organisasi yang bermarkas di Swiss itu mengatakan bahwa Daftar Merah Spesies Terancam milik mereka kini meliputi 166.061 spesies, di mana 46.337 di antaranya terancam punah.
Pepohonan kini mencakup lebih dari seperempat spesies yang terancam dalam daftarnya. Jumlahnya juga dua kali lipat jumlah spesies burung, mamalia, reptil dan amfibi yang terancam, jika digabungkan, kata IUCN.
Spesies-spesies pohon berisiko punah ada di 192 negara, kata organisasi itu.
Proporsi pohon yang paling terancam berada di wilayah kepulauan, karena berisiko tinggi mengalami penggundulan untuk pembangunan kota dan pertanian, serta serangan spesies invasif, hama dan penyakit.
Hilangnya pepohonan di seluruh dunia merupakan ancaman besar terhadap ribuan tanaman, jamur dan hewan, menurut IUCN. [rd/ns]
PBB: Tingkat CO2 di Atmosfer Capai Rekor Tertinggi Baru

Badan pengawasan cuaca PBB, Senin (28/10) mengatakan berbagai gas rumah kaca telah terakumulasi di atmosfer “lebih cepat daripada yang pernah terjadi selama masa keberadaan manusia” dalam dua dekade terakhir.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan dalam buletin gas rumah kaca tahunannya bahwa konsentrasi karbon dioksida mencapai level tertinggi baru yakni 420 bagian per juta (ppm) pada tahun lalu, naik 2,3 ppm dari tahun sebelumnya, dan telah meningkat 11,4 persen hanya dalam waktu 20 tahun.
“Kita belum pernah melihat tingkat CO2 seperti ini dalam sejarah kemanusiaan. Terakhir kali kita melihat 400 bagian per juta CO2 di atmosfer adalah 3 hingga 5 juta tahun yang lalu,” kata petugas ilmiah senior WMO, Oksana Tarasova. "Pada saat itu, suhu bumi 3 hingga 4 derajat lebih hangat, dan permukaan laut 10 hingga 20 tahun lebih tinggi.”
Laporan itu memperingatkan bahwa sudah ada tanda-tanda kenaikan suhu bumi mendorong “balasan” berbahaya yang akan semakin meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Peningkatan konsentrasi CO2 tahun lalu, yang merupakan peningkatan tahunan terbesar kedua dalam satu dekade terakhir, bisa jadi disebabkan oleh lonjakan kebakaran hutan; dengan karbon yang dilepaskan dari musim kebakaran hutan terburuk yang pernah terjadi di Kanada melebihi emisi tahunan mayoritas negara besar.
Konsentrasi CO2 sekarang 51 persen lebih tinggi daripada tingkat pra-industri. Sementara metana, gas rumah kaca kuat lainnya, 165 persen lebih tinggi daripada tahun 1750, kata WMO. [th/em]
Pegiat Lingkungan Libya Tanam Pohon untuk Atasi Kekeringan

Di tengah meningkatnya tantangan lingkungan, sebuah kelompok pegiat lingkungan hidup Libya meluncurkan gerakan penanaman pohon di Hutan Al-Nigazah, 100 kilometer di sebelah timur Tripoli.
Inisiatif yang menandai upaya kelima untuk memulihkan keseimbangan alam di kawasan itu, dilakukan ketika hutan Libya menghadapi ancaman besar akibat kekeringan dan deforestasi yang dengan cepat mengurangi lahan hijau di negara itu.
“Akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang sedang dihadapi dunia, dan juga berdampak pada Libya, saat ini kami berada di daerah Khoms, khususnya di Al-Nigazah. Daerah ini telah mengalami kekeringan dan pepohonan mati. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk mengimbanginya dengan melakukan reboisasi, dan kami telah menanam pohon di daerah ini,” ujar seorang sukarelawan lokal, Taher Ali Abdallah, yang ikut serta dalam gerakan reboisasi tersebut.
Setiap tahun, para aktivis iklim meluangkan waktu untuk menanam pohon dengan harapan dapat melestarikan dan memulihkan ruang hijau.
Keluarga dan anak-anak sekolah juga ikut berpartisipasi dalam gerakan ini, dengan menggali lubang dan menanam bibit. Tetapi tantangan terbesar mereka masih soal ketersediaan air.
“Pohon melambangkan pertumbuhan dan kehidupan; pohon memberikan kita oksigen, memberikan kita alam, dan melindungi kita dari pemanasan global saat ini,” ujar salah seorang peserta.
Inisiatif ini mendorong warga untuk mengambil tindakan di daerah mereka masing-masing, dan mempromosikan pendekatan akar rumput untuk konservasi lingkungan. [th/em]
- Associated Press
Hutan Indonesia Tanggung Akibat dari Meningkatnya Permintaan Energi Biomassa Global

Perusahaan listrik milik negara atau PLN juga memiliki rencana untuk secara drastis meningkatkan jumlah biomassa yang dibakar untuk menghasilkan listrik.
Hamparan hutan alami yang sangat luas ditebang di banyak wilayah di Indonesia untuk memenuhi permintaan internasional yang meningkat pesat akan bahan biomassa yang dipandang penting bagi transisi banyak negara menuju bentuk energi yang lebih bersih.
Hampir semua biomassa dari hutan yang dirusak untuk produksi pelet kayu sejak 2021 telah dikirim ke Korea Selatan dan Jepang, menurut temuan The Associated Press dalam pemeriksaan citra satelit, catatan perusahaan, dan data ekspor Indonesia. Kedua negara tersebut telah menyediakan jutaan dolar untuk mendukung pengembangan produksi dan penggunaan biomassa di Indonesia.
Perusahaan listrik milik negara atau PLN juga memiliki rencana untuk secara drastis meningkatkan jumlah biomassa yang dibakar untuk menghasilkan listrik.
Para ahli dan pemerhati lingkungan khawatir bahwa meningkatnya permintaan internasional dan domestik, ditambah dengan lemahnya regulasi domestik, akan mempercepat penggundulan hutan sekaligus memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil yang sangat berpolusi. Biomassa adalah bahan organik seperti tanaman, kayu, dan limbah, dan banyak pembangkit listrik tenaga batu bara dapat dengan mudah dimodifikasi untuk membakarnya bersama batu bara guna menghasilkan energi.
“Produksi biomassa — yang baru-baru ini mulai terlihat dalam skala industri di Indonesia, merupakan ancaman baru yang mengerikan bagi hutan negara ini” kata Timer Manurung, direktur Auriga Nusantara, sebuah organisasi lingkungan dan konservasi Indonesia.
Seiring dengan percepatan transisi energi di sejumlah negara, permintaan terhadap biomassa pun meningkat: Penggunaan bioenergi telah meningkat rata-rata sekitar 3% per tahun antara tahun 2010 dan 2022, menurut Badan Energi Internasional (IEA).
Para ahli termasuk IEA mengatakan penting agar permintaan tersebut terjadi secara berkelanjutan, seperti menggunakan limbah dan sisa tanaman daripada mengubah lahan hutan untuk menanam tanaman bioenergi. Deforestasi menyebabkan erosi, merusak area dengan keanekaragaman hayati, mengancam satwa liar dan manusia yang bergantung pada hutan, serta memperparah bencana akibat cuaca ekstrem.
Dan banyak ilmuwan dan pemerhati lingkungan menolak penggunaan biomassa sama sekali. Mereka mengatakan pembakaran biomassa berbasis kayu dapat melepaskan lebih banyak karbon daripada batu bara dan penebangan pohon sangat mengurangi kemampuan hutan untuk menyerap karbon dari atmosfer. Kritikus juga mengatakan bahwa penggunaan biomassa untuk pembakaran bersama, alih-alih beralih langsung ke energi bersih, hanya memperpanjang penggunaan batu bara.
Di Indonesia, produksi biomassa menyebabkan penggundulan hutan di seluruh wilayah nusantara.
Auriga Nusantara melaporkan bahwa lebih dari 9.740 hektar (24.070 are) hutan telah ditebangi di wilayah yang diizinkan untuk produksi biomassa sejak tahun 2020. Izin telah dikeluarkan untuk lebih dari 1,4 juta hektar (3.459.475 are) hutan tanaman energi di Indonesia, dengan lebih dari sepertiga lahan tersebut merupakan hutan yang masih sama sekali belum tersentuh. Lebih dari separuh wilayah konsesi tersebut merupakan habitat spesies unggulan seperti badak Sumatra, gajah, orangutan, dan harimau, kata Manurung.
Di hutan kaya karbon di Gorontalo, Sulawesi, penebangan, pencacahan, dan pengiriman pohon-pohon tua untuk membuat pelet kayu yang padat energi telah disederhanakan. Lebih dari 3.000 hektar hutan telah ditebang di konsesi milik Banyan Tumbuh Lestari, dari tahun 2021 hingga 2024, menurut analisis satelit yang dibagikan kepada AP oleh organisasi lingkungan internasional Mighty Earth. Tambahan 2.850 hektar telah dibuka untuk jalan penebangan.
Setelah pohon ditebang, pohon tersebut kemudian diubah menjadi pelet kayu di fasilitas dekat konsesi milik Biomasa Jaya Abadi, eksportir pelet kayu terbesar dari Indonesia pada tahun 2021-2023, menurut data yang dihimpun Auriga Nusantara dari basis data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Basis data tersebut tidak memiliki catatan ekspor pelet kayu sebelum tahun 2020.
Biomasa Jaya Abadi tidak menanggapi permintaan berulangkali wawancara atau komentar dari The Associated Press. Banyan Tumbuh Lestari tidak memiliki informasi kontak yang tersedia untuk umum; AP menghubungi pemegang saham utama mereka untuk meminta komentar tetapi tidak mendapat tanggapan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Kelautan dan Investasi juga tidak menanggapi permintaan komentar.
Hampir seluruh produksi pelet kayu Indonesia dikirim ke luar negeri untuk memenuhi permintaan internasional, kata Alloysius Joko Purwanto, ekonom energi di Lembaga Penelitian Ekonomi ASEAN dan Asia Timur.
Sebagian besar pelet kayu Indonesia dikirim ke Korea Selatan (61%) dan Jepang (38%) pada tahun 2021-2023, menurut data pemerintah.
“Jelas bahwa pemerintah Jepang dan Korea Selatan berupaya membeli lebih banyak biomassa dari Indonesia untuk menurunkan emisi domestik mereka sendiri,” kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS).
Kedua negara tersebut telah memberikan dukungan keuangan jutaan dolar terhadap pengembangan biomassa di Indonesia melalui penelitian, kebijakan, konstruksi dan dukungan lainnya, menurut tinjauan perjanjian bisnis dan pemerintah yang tersedia untuk publik oleh AP.
Dinas Kehutanan Korea Selatan, yang menggerakkan perluasan dan kebijakan biomassa Korea Selatan, tidak menanggapi permintaan komentar. Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang juga tidak menanggapi permintaan komentar mengenai hal ini.
Peningkatan produksi dan penggunaan biomassa bertepatan dengan peningkatan penggunaan biomassa dalam negeri di Indonesia.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana menerapkan pembakaran bersama biomassa sebesar 10% untuk 52 pembangkit listrik tenaga batu bara di seluruh negeri. PLN memperkirakan akan membutuhkan 8 juta ton biomassa per tahun — jauh lebih besar dari kapasitas industri pelet kayu pada akhir tahun 2023 yang kurang dari 1 juta ton, menurut organisasi masyarakat sipil Indonesia Trend Asia.
Untuk mencapai ambisi PLN, diperlukan peningkatan lahan perkebunan hutan sebesar 66%. “Inilah yang kemungkinan akan mengorbankan hutan yang utuh, kaya karbon, dan menyerap karbon,” menurut laporan Mighty Earth.
Juru bicara PLN, Gregorius Adi Trianto mengatakan kepada AP bahwa rencana perusahaan tersebut mengandalkan biomassa dari "limbah organik seperti ranting pohon, limbah padi, dan limbah industri kayu... ketimbang dari hutan yang masih aktif ditebang."
Karena Indonesia tidak memiliki regulasi dan pengawasan yang jelas terhadap industri biomassa yang sedang berkembang, para ahli khawatir deforestasi kemungkinan akan meningkat di tahun-tahun mendatang.
“Kita sudah jauh tertinggal dalam hal pemantauan dan pengaturan masalah seputar produksi biomassa di Indonesia,” kata Yudhistira. “Jelas ada kurangnya uji tuntas, dan hutan pun semakin menderita.” [rz/rs/ah]
APHR: Filipina Perlu Segera Ambil Tindakan Terkait Perubahan Iklim

Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) menyerukan kepada pemerintah Filipina untuk segera mengambil tindakan terkait perubahan iklim. Desakan ini disampaikan setelah Badai Tropis Kristine (Trami) menghantam Bicol, Visayas Timur, wilayah Calabarzon, dan provinsi-provinsi lain di Filipina, termasuk Metro Manila.
Filipina mengalami rata-rata 20 topan setiap tahun dengan tingkat kerentanan iklim yang tinggi. Hal ini berdampak pada banyak komunitas, populasi yang rentan, dan mata pencaharian. Intensitas topan telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Indeks Risiko Dunia tahun 2022 telah menempatkan Filipina di urutan teratas negara yang paling berisiko terhadap krisis iklim.
Wakil Ketua APHR dan yang juga mantan Anggota Parlemen Malaysia, Charles Santiago mengatakan “banjir parah dan tanah longsor yang disebabkan oleh badai Kristine saat menerjang daratan di Divilacan, Isabela, 400 kilometer di utara Manila, telah menewaskan lebih dari selusin orang dan menimbulkan dampak pada lebih dari 500 ribu keluarga Filipina. Ini adalah alasan lain bagi para pemimpin Filipina untuk segera mengambil tindakan menuju keadilan iklim.”
Dia menambahkan bahwa krisis terkait iklim ini harus mendorong pemerintahan Marcos untuk merancang dan menerapkan solusi iklim yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan, yang mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan warga Filipina.
Anggota Dewan APHR dan anggota DPR Filipina Arlene D. Brosas menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa, “Kita harus mengakui, bukti yang mengejutkan tentang dampak perubahan iklim yang semakin memburuk mempertaruhkan nyawa rakyat Filipina. Setiap detik, setiap jam yang terlewatkan dalam menjalankan amanah perubahan iklim tidak hanya merugikan kesehatan dan mata pencaharian jutaan warga negara, tetapi juga kelangsungan hidup dan hak mereka atas lingkungan yang berkelanjutan dan aman.”
“Kami di APHR, kembali menyerukan kepada pemerintah Filipina untuk memenuhi komitmen mereka dalam melindungi kehidupan rakyat Filipina di era krisis iklim yang semakin parah ini. Situasinya sudah mengkhawatirkan, dan tanpa rencana aksi dan implementasi yang komprehensif menuju keadilan iklim, akan semakin banyak nyawa yang hilang,” imbuh Mercy Chriesty Barends, Ketua APHR dan anggota DPR dari Indonesia. [ns/em]
Energi Batu Bara Timbulkan Polusi; Kawasan Pertanian Beralih ke Listrik Surya
Ketergantungan Zimbabwe pada energi berbasis batu bara berdampak buruk pada kesehatan warga di kawasan pertambangan yang terpapar polusi udara. Kelompok advokasi mendesak pemerintah memeriksa kesehatan warga atau merelokasi mereka, sementara pejabat setempat mengusulkan solusi listrik tenaga surya.
India Bersiap Hadapi Topan, Sekolah-sekolah Ditutup, Turis Diminta Pergi

Sekolah-sekolah di beberapa bagian negara bagian Odisha, India timur diperintahkan untuk ditutup dan para wisatawan diminta untuk mengosongkan kota pantai Puri yang populer, saat pihak berwenang bersiap-siap untuk menghadapi badai topan dasyat yang diperkirakan akan melanda pada akhir pekan ini.
Topan Dana, yang saat ini berada di atas Teluk Benggala, diperkirakan akan menguat menjadi badai siklon parah dengan kecepatan angin mencapai 120 kilometer/jam (74 mph), dan kemungkinan besar akan mendarat pada hari Kamis, demikian ungkap kantor cuaca India.
Sekolah-sekolah di 14 distrik akan ditutup dari hari Rabu hingga Jumat, dan para nelayan diminta untuk tidak melaut, kata seorang pejabat senior dari kantor Komisioner Bantuan Khusus, yang mengawasi penanggulangan bencana, kepada Reuters.
Para pejabat mengatakan turis dan peziarah yang sering mengunjungi kota pesisir Puri, tempat kuil Jagannath yang terkenal, telah diminta untuk pergi sementara tim-tim penyelamat bersiaga.
Curah hujan lebat hingga sangat lebat di Odisha kemungkinan besar akan terjadi dalam tiga hari ke depan, kata kantor cuaca, dan badai yang terjadi akan bisa merusak rumah-rumah, jalan-jalan, tanaman, dan jaringan listrik, menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Odisha rentan terhadap badai siklon, tetapi sejalan waktu telah meningkatkan kesiapsiagaan bencana, sehingga mengurangi kerusakan dan korban jiwa. [my/ab]
- Patsy Widakuswara
Bagaimana Badai Helene, Milton, Berdampak pada Pemilu Amerika Serikat 2024?

Florida, North Carolina, dan Georgia adalah negara-negara bagian di Amerika yang sedang menghadapi dampak dua badai besar yang menewaskan ratusan orang dan menyebabkan kerusakan bernilai puluhan miliar dolar. Bagaimana badai dapat berdampak pada pemungutan suara di negara-negara bagian tersebut?.
Negara-negara bagian yang dilanda Badai Helene pada akhir September dan Milton awal bulan ini berusaha untuk kembali normal, dengan listrik dipulihkan di sebagian besar wilayah dan pembersihan puing-puing yang masih berlanjut.
Presiden Joe Biden mengunjungi daerah-daerah yang terdampak badai di Florida awal pekan ini, mendorong masyarakat untuk bersatu. “Bukan sebagai Demokrat atau Republik, tapi sebagai orang Amerika, orang Amerika yang membutuhkan bantuan dan orang Amerika yang akan membantu Anda seandainya berada dalam situasi yang sama,” sebutnya.
Sulit untuk memisahkan respons terhadap badai dari politik yang melingkupinya. Studi-studi menunjukkan bahwa para pemilih memberikan penghargaan kepada partai petahana jika pemerintah federal berhasil memberikan bantuan bencana dan menghukum mereka bila tidak memberikan bantuan.
Calon presiden dari Partai Demokrat Kamala Harris menyoroti upaya pemerintahan Biden. “Saya telah berbicara dengan para pejabat negara bagian dan daerah, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, untuk memberi tahu mereka bahwa kami akan mendampingi Anda di setiap langkah saat Anda berusaha pulih dan membangun kembali.”
Sementara saingannya dari Partai Republik, Donald Trump, telah menyebarkan informasi yang keliru tentang tanggapan pemerintah federal. Ia mengklaim bahwa pemerintah federal menghindari wilayah-wilayah Partai Republik, dan menggunakan dana bantuan untuk membantu imigran ilegal.
“Sebaliknya, pemerintah federal belum melakukan apa yang seharusnya Anda lakukan, khususnya sehubungan dengan North Carolina. Mereka membiarkan orang-orang menderita secara tidak adil,” jelasnya.
Musim badai Atlantik mencapai puncaknya pada bulan-bulan tepat sebelum pemilu November. Selama beberapa dekade, para pejabat telah memasukkan kemungkinan bencana ke dalam perencanaan pemilu mereka. Namun kini mereka juga harus menghadapi disinformasi.
Kim Wyman, peneliti senior di Proyek Pemilu Pusat Kebijakan Bipartisan, mengatakan kepada VOA, “Itulah tantangan terbesar yang dihadapi para petugas pemilu khususnya saat ini setelah bencana badai ini, karena kita melihat di media sosial orang-orang membuat klaim tidak bertanggungjawab tentang kemampuan pemilih untuk memberikan suara, dampak badai tersebut terhadap pemilu dan bahwa pemungutan suara itu tidak akan dilakukan sekarang karena hal itu. Oleh karena itu, kami sangat mendorong pemilih untuk mencari sumber-sumber informasi yang terpercaya.”
Selain karena faktor politik, dengan beberapa jalan yang masih tidak dapat diakses, bangunan-bangunan rusak dan masyarakat sibuk membangun kembali kehidupan mereka, jumlah pemilih bisa jadi lebih rendah.
Kerusakan akibat badai juga dapat memengaruhi rencana masyarakat untuk memberikan suara melalui pos, yang diperbolehkan di beberapa negara bagian.
Hampir semua negara bagian menawarkan semacam pemungutan suara awal. Bahkan tanpa adanya komplikasi dari alam, para pejabat dan aktivis telah mendorong masyarakat untuk mengambil pilihan tersebut.
Chassidy Malloy dari lembaga nirlaba Georgia Conservation Voters Education Fund mengatakan, “Hal ini memberi Anda lebih banyak pilihan tanggal untuk memberikan suara Anda, dibandingkan hanya terikat pada hari pemilu saja, karena tidak ada yang benar-benar dapat memperkirakan apakah badai besar akan berdampak pada wilayah kita atau krisis lingkungan lainnya yang mungkin menghambat kemampuan kita untuk memberikan suara di sini, di Georgia.”
Dengan persaingan yang sangat ketat di dua negara bagian yang terdampak badai, Georgia dan North Carolina, para pejabat di beberapa kabupaten telah memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk memungkinkan masyarakat memberikan suara mereka. [ab/ka]
Krisis Air Ancam Produksi Pangan Dunia

Tidak adanya penanggulangan terhadap krisis air dapat membahayakan lebih dari setengah produksi pangan dunia pada 2050. Para ahli memperingatkan hal itu dalam sebuah laporan utama yang diterbitkan pada Kamis (17/10).
“Hampir 3 miliar orang dan lebih dari setengah produksi pangan dunia kini berada di wilayah-wilayah di mana total penyimpanan airnya diperkirakan mengalami penurunan,” kata laporan oleh Komisi Global tentang Ekonomi Air (GCEW).
Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa krisis air dapat menyebabkan penurunan PDB rata-rata sebesar delapan persen untuk negara-negara berpendapatan tinggi pada 2050 dan sebanyak 15 persen untuk negara-negara berpendapatan rendah.
Gangguan siklus air “memiliki dampak ekonomi global yang besar,” kata laporan tersebut.
Penurunan ekonomi akan menjadi konsekuensi dari “dampak gabungan dari perubahan pola curah hujan dan peningkatan suhu akibat perubahan iklim, bersama dengan penurunan total penyimpanan air dan kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.”
Dalam menghadapi krisis tersebut, laporan itu menyerukan agar siklus air dipandang sebagai “komoditas umum global” dan melakukan transformasi tata kelola air di semua tingkatan.
“Biaya yang dikeluarkan dalam tindakan ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian yang akan ditimbulkan oleh ketidakpedulian yang terus-menerus terhadap ekonomi dan kemanusiaan,” katanya.
Meskipun air sering dianggap sebagai “anugerah alam yang melimpah,” laporan tersebut menekankan bahwa air itu langka dan mahal untuk diangkut.
Laporan tersebut menyerukan penghapusan “subsidi yang merugikan di sektor-sektor yang membutuhkan banyak air atau mengalihkannya ke solusi penghematan air dan memberikan dukungan yang tepat sasaran bagi masyarakat miskin dan rentan.”
“Kita harus memadukan harga air dengan subsidi yang tepat,” kata Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia, Ngozi Okonjo-Iweala, salah satu ketua GCEW, selama pengarahan daring.
Ketua lainnya, Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam, menegaskan perlunya melihat air sebagai masalah global, untuk “berinovasi dan berinvestasi” guna menyelesaikan krisis dan “menstabilkan siklus hidrologi global.” [ns/jm]
PBB: Hanya Sedikit Negara Susun Rencana Perlindungan Alam

Kurang dari 15 persen negara di dunia telah mengajukan rencana untuk memperlambat kerusakan alam, menjelang pertemuan puncak keanekaragaman hayati global di Kolombia, menurut hitungan yang dibagikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (16/10).
Sebanyak 196 negara anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) PBB telah mengadopsi kerangka kerja pada 2022 dengan 23 target untuk “menghentikan dan membalikkan” musnahnya alam pada 2030.
Sekitar seperempat spesies hewan dan tumbuhan yang dinilai terancam, dan sekitar satu juta spesies sudah menghadapi kepunahan, banyak di antaranya dalam beberapa dekade terakhir, menurut data PBB.
Di bawah apa yang disebut Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal, yang diadopsi di Kanada dua tahun lalu, negara-negara diminta untuk menyajikan “strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati nasional” pada pertemuan COP16 yang dibuka di Kota Cali, Kolombia pada Senin (21/10).
Namun, sekretaris eksekutif CBD, Astrid Schomaker mengatakan pada Rabu, bahwa hanya 29 dari 196 negara penanda tangan CBD, yang telah mengajukan rencana lengkap hingga saat ini. Sembilan puluh satu telah menyerahkan “target nasional” yang kurang menyeluruh.
“Kami tahu bahwa masih banyak lagi pengajuan yang sedang dalam proses,” kata Schomaker dalam jumpa pers.
Dua puluh tiga target kerangka kerja tersebut termasuk menempatkan setidaknya 30 persen dari semua wilayah daratan dan perairan di bawah konservasi pada 2030, dan menghentikan kepunahan spesies yang terancam punah akibat manusia.
Ribuan delegasi termasuk tujuh kepala negara dan sekitar 140 menteri pemerintahan, diharapkan menghadiri COP16 CBD, yang berlangsung hingga 1 November.
Forum tersebut bertugas menyepakati mekanisme pemantauan dan pendanaan untuk memastikan target dapat dipenuhi. [ns/jm]
- Associated Press
PBB: Kekeringan Akibat El Nino Sebabkan Krisis Kelaparan Terparah di Afrika Bagian Selatan

Sejumlah lembaga bantuan lainnya juga mengatakan bahwa kekeringan di Afrika selatan ini sangat parah. Lembaga bantuan Amerika Serikat, USAID, mengatakan pada Juni bahwa kekeringan ini merupakan kekeringan yang paling parah dalam 100 tahun terakhir.
Kondisi kekeringan yang terjadi selama berbulan-bulan di Afrika bagian selatan akibat fenomena cuaca El Nino telah berdampak buruk pada lebih dari 27 juta orang dan menyebabkan krisis kelaparan terburuk di wilayah itu dalam beberapa dekade, kata badan pangan PBB pada Selasa (15/10).
Program Pangan Dunia (WFP) memperingatkan bahwa hal ini bisa menjadi “bencana manusia berskala besar”.
Lima negara – Lesotho, Malawi, Namibia, Zambia dan Zimbabwe – telah menyatakan status bencana nasional atas kondisi kekeringan dan kelaparan tersebut. WFP memperkirakan bahwa sekitar 21 juta anak di Afrika bagian selatan mengalami kekurangan gizi akibat gagal panen.
Puluhan juta orang di wilayah ini bergantung pada pertanian skala kecil yang diairi oleh hujan untuk memperoleh makanan dan untuk mendapatkan uang guna membeli kebutuhan.
Sebelumnya, sejumlah lembaga bantuan memperingatkan adanya potensi bencana pada akhir tahun lalu karena El Nino, yang terjadi secara alamiah, menyebabkan curah hujan di seluruh wilayah tersebut berada pada level di bawah rata-rata; sementara dampaknya diperburuk oleh pemanasan suhu yang terkait dengan perubahan iklim.
“Ini adalah krisis pangan terburuk dalam beberapa dekade terakhir,” kata juru bicara WFP Tomson Phiri. “Bulan Oktober di Afrika bagian selatan menandai dimulainya musim paceklik, dan setiap bulannya diperkirakan akan lebih buruk daripada bulan sebelumnya sampai panen tahun depan di bulan Maret dan April.”
“Pertanian gagal panen, ternak mati dan anak-anak beruntung bisa mendapatkan satu kali makan per hari.”
Lima negara yang menyatakan bencana kekeringan telah memohon bantuan internasional; sementara Angola di pantai barat Afrika dan Mozambik di pantai timur juga “terkena dampak yang parah,” kata Phiri, yang menunjukkan sejauh mana kekeringan telah melanda wilayah tersebut.
“Situasinya sangat mengerikan,” kata Phiri. Ia mengatakan bahwa WFP membutuhkan sekitar $369 juta untuk memberikan bantuan segera, tetapi baru menerima seperlima dari jumlah tersebut di tengah kekurangan sumbangan.
WFP telah mulai membantu dengan bantuan makanan dan “dukungan mendesak” lainnya atas permintaan berbagai pemerintah di wilayah tersebut, katanya.
Phiri mencatat bahwa krisis di Afrika Selatan terjadi ketika “kebutuhan global yang melonjak” dengan bantuan kemanusiaan yang juga sangat dibutuhkan di Gaza, Sudan, dan tempat-tempat lainnya.
Sejumlah lembaga bantuan lainnya juga mengatakan bahwa kekeringan di Afrika selatan ini sangat parah. Lembaga bantuan Amerika Serikat, USAID, mengatakan pada Juni bahwa kekeringan ini merupakan kekeringan yang paling parah dalam 100 tahun terakhir selama musim tanam Januari hingga Maret, yang memusnahkan sebagian besar tanaman dan makanan bagi jutaan orang.
El Nino, sebuah fenomena cuaca yang terjadi secara alamiah yang menghangatkan beberapa bagian Pasifik tengah, memiliki dampak yang berbeda pada cuaca di berbagai belahan dunia. El Nino terakhir terbentuk pada pertengahan tahun lalu dan berakhir pada bulan Juni.
Fenomena ini disalahkan, bersama dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dan pemanasan lautan secara keseluruhan, atas terjadinya gelombang panas dan cuaca ekstrem selama 12 bulan.
Di Afrika bagian selatan, harga pangan meningkat tajam di banyak daerah yang terdampak kekeringan, sehingga menambah penderitaan. Kekeringan juga memiliki dampak buruk lainnya.
Zambia telah kehilangan sebagian besar listriknya dan mengalami pemadaman listrik selama berjam-jam, dan terkadang berhari-hari, karena negara ini sangat bergantung pada tenaga air dari Bendungan Kariba yang sangat besar.
Ketinggian air bendungan ini sangat rendah sehingga hampir tidak dapat menghasilkan listrik. Zimbabwe berbagi bendungan ini dan juga mengalami pemadaman listrik secara teratur.
Otoritas di Namibia dan Zimbabwe terpaksa membunuh satwa liar, termasuk gajah, untuk menyediakan daging bagi orang-orang yang kelaparan.
Para ilmuwan mengatakan bahwa Afrika sub-Sahara adalah salah satu bagian dunia yang paling rentan terhadap perubahan iklim karena ketergantungan yang tinggi pada pertanian tadah hujan dan sumber daya alam. Jutaan mata pencaharian di Afrika bergantung pada iklim, sementara negara-negara miskin tidak mampu mendanai upaya-upaya ketahanan iklim. [th/ab]
Forum