Sektor pertanian kini sangat rentan dengan perubahan iklim. Di masa lalu, bagi petani yang penting ada benih yang bagus, pupuk dan pengolahan yang tepat untuk menghasilkan panen yang baik.Tetapi kini, ada faktor yang begitu mengganggu kerja mereka di luar unsur-unsur itu, yaitu perubahan iklim.
Rasminto, petani yang juga ketua kelompok tani Ngudi Makmur, di Bantul, Yogyakarta adalah satu dari jutaan petani Indonesia yang tidak siap menghadapi perubahan iklim itu. Karenanya, dia bersama puluhan petani lain, mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Iklim, yang diselenggarakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Goefisika (BMKG) Yogyakarta seminggu terakhir ini.
Rasminto mengakui, keikutsertaannya dalam kegiatan ini didorong oleh peristiwa dua kali gagal panen tanaman bawang merah, karena ketidakpahamannya pada iklim yang telah berubah.
“Sudah banyak sekali (pengalaman buruk akibat perubahan iklim), dan bahkan kemarin itu karena curah hujan yang begitu besar, di daerah kami mengalami banyak kendala, khususnya pada waktu kita menanam bawang merah itu, dua periode itu pernah kebanjiran. Jadi dua tahun yang lalu itu dua tahun malah kebanjiran terus,” ujar Rasminto.
Sebagai petani tradisional, Rasminto dan juga kebanyakan petani di Jawa lainnya telah memiliki pedoman bertani, yang disebut sebagai Pranatamangsa. Ini adalah panduan pengenalan iklim menurut perhitungan khusus, yang menjadi panduan kapan masa tanam dimulai dan tanaman apa yang sebaiknya ditanam. Namun setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, panduan bertani itu tak lagi cocok digunakan.
Menurut ketua panitia Sekolah Lapang Iklim BMKG Yogyakarta, Toni Wijaya S Si, panduan tradisional itu sebenarnya tepat, namun hanya dalam kondisi iklim yang teratur.
“Akhir-akhir ini, karena kondisi lingkungan yang berubah dan juga dinamika atmosfer yang sangat dinamis maka muncul gangguan-gangguan cuaca, yang mengganggu siklus yang teratur tadi. Jadi petani tetap harus mengenal dan menggunakan pranatamangsa, tetapi untuk mengenal gangguan tadi, kami BMKG memperkenalkan gangguan cuaca baik jangka pendek maupun jangka panjang yang bisa menggangu siklus yang teratur tadi,” kata Toni Wijaya.
Toni Wijaya yang juga menjabat sebagai Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Yogyakarta juga memaparkan, petani di Indonesia sebenarnya sedikit banyak telah menyadari apa dan bagaimana perubahan iklim itu terjadi. Namun sayangnya, kaum petani belum mampu untuk membaca informasi ilmiah mengenai perubahan iklim itu, terutama yang datang dari BMKG.
Toni Wijaya menambahkan, “Masyarakat petani adalah masyarakat yang paling terkena dampak apabila ada perubahan cuaca maupun iklim. Maka kita menyelengarakan Sekolah Lapang Iklim ini untuk membantu mereka lebih mudah memahami informasi iklim dari BMKG, sehingga mengurangi dampak yang kurang baik dari adanya kondisi iklim yang cenderung berubah-ubah ini.”
Selain diikuti langsung oleh petani dari berbagai wilayah di Yogyakarta, kegiatan ini juga diikuti oleh penyuluh pertanian. Diharapkan pemahaman mengenai perubahan iklim akan disebarkan kepada para anggota kelompok tani, sehingga mereka lebih bisa memanfaatkan data ilmiah mengenai iklim yang dikeluarkan oleh BMKG.