Para aktivis lingkungan menilai, pertemuan negara-negara pihak untuk perubahan iklim (Conference on Parties) ke-17 di Durban, Afrika Selatan, pada 28 November-9 Desember 2011, adalah kesempatan terakhir untuk memberikan kepastian bagi masa depan rejim perubahan iklim.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa, Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia, Nyoman Iswarayoga, mengatakan negosiasi di Durban hanya bisa dicapai jika semua pemimpin negara maju sepakat atas pengurangan emisi karbon, dan menerapkan komitmen yang sudah disepakati. Hanya pemerintah Amerika Serikat yang hingga kini masih menolak menetapkan target pengurangan emisi karbon tersebut.
“Belum lagi kalau kita lihat geliat politik di masing-masing negara-negara besar itu. Kandidat Presiden sekarang di Amerika yang sudah mulai berkampanye itu beberapa orang yang sudah bilang akan berkomitmen? Saya lebih pesimis dengan Amerika. Dulu saja Obama yang berani berkampanye (mengurangi emisi) sampai sekarang belum terealisasi, kandidat-kandidat lain bahkan mengatakan tidak akan membuat komitmen tentang itu (pengurangan emisi),” kata Nyoman Iswarayoga.
Iswarayoga menambahkan, komitmen Presiden Barack Obama akan menjadi titik tolak keberhasilan negosiasi.
“Membaca realitas politik ini, saya pikir akan membutuhkan waktu kalau kita betul-betul ingin sifat inklusif. Atau apakah kita inginkan Protokol Kyoto kedua, di mana Amerika berada di luar sistem?,” ujar Nyoman Iswarayoga.
Data dari WWF menyebutkan, bahwa Uni Eropa bersedia melanjutkan Protokol Kyoto hanya jika negara maju lain bersedia bergabung. Tetapi negara-negara industri seperti Jepang, Rusia, dan Kanada menolak ikut komitmen Uni Eropa, jika negara-negara berkembang tidak bersedia ikut.
Sementara, negara-negara berkembang meminta suatu kesepakatan yang seimbang sekaligus satu komitmen yang mengikat secara hukum (legally binding).
Ketua Tim Delegasi Indonesia untuk perundingan di Durban, Rachmat Witoelar, kepada VOA, Rabu sore mengakui Amerika Serikat tidak menjalankan kesepakatan sesuai Bali Road Map, tahun 2007. Kesediaan penurunan emisi dari Presiden Obama tidak didukung oleh kesiapan Kongres dan Senat AS.
Rachmat Witoelar mengatakan, “Itu ada pihak-pihak yang enggak mau main (terlibat). Pemerintahnya sudah OK, hanya Kongres dan Senat yang takut dengan konstitusinya nanti, misalnya (berhadapan) dengan pemilik semen, pemilik baja, dan itu bukan rahasia lagi.”
Di luar masalah penolakan Amerika, hal lain yang penting dicapai dalam negosiasi adalah pendanaan yang dipercepat sebelum Protokol Kyoto dilanjutkan. Menurut Witoelar, dana adaptasi penting bagi negara berkembang untuk pembangunan kapasitas, termasuk di Indonesia.
Rachmat Witoelar menambahkan, “Masalah perubahan iklim tidak selalu tergantung pada dari satu keputusan besar, bisa juga dari keputusan kecil seperti dana adaptasi dan transfer teknologi. Ini ada manfaat buat Indonesia untuk membangun kapasitas yang kita anggap cukup lumayan sebelum keputusan besar diambil. Keputusan besar itu ada pada Amerika Serikat, mau enggak dia menurunkan emisi?”
Target penurunan emisi Indonesia adalah 26 persen, sementara Tiongkok 17 persen. Sedangkan Uni Eropa, menurut Witoelar, berkomitmen menurunkan emisinya sebesar 20-30 persen.