Utusan utama PBB di Sudan mengundurkan diri, empat bulan setelah diusir oleh pemerintah negara tersebut. Dalam pidato perpisahannya, ia mengkritik militer Sudan dan pasukan pemberontak Pasukan Dukungan Cepat atau RSF.
“Konflik ini meninggalkan warisan pelanggaran hak asasi yang tragis,” kata Volker Perthes, pada Rabu (13/9), pada pertemuan Dewan Keamanan PBB. “Serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil yang dilakukan pihak-pihak yang bertikai adalah pelanggaran berat hak asasi manusia.”
PBB mengatakan sedikitnya 5.000 orang tewas dan lebih dari 12.000 orang terluka sejak pertempuran meletus antara jenderal-jenderal yang bersaing di Sudan pada 15 April. Lebih dari 5 juta warga Sudan kini menjadi pengungsi – lebih dari satu juta di antaranya mengungsi di negara-negara tetangga.
Yang khusus menjadi keprihatinan adalah meningkatnya pertempuran yang menarget etnis di wilayah Darfur. Di wilayah itu terjadi kekerasan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam skala besar pada awal 2000-an. PBB khawatir hal tersebut akan terulang kembali pada saat ini.
Perthes mengatakan ratusan etnis Masalit telah dibunuh di El Geneina dan wilayah lain di Darfur Barat. PBB juga telah menerima informasi yang bisa dipercaya mengenai keberadaan setidaknya 13 kuburan massal di El Geneina dan sekitarnya. RSF dan milisi Arab sekutunya telah menyerang warga sipil di wilayah ini.
Menurut utusan itu “ada sedikit keraguan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas apa” yang terjadi dalam konflik tersebut.
Perthes mengatakan kedua pihak secara sewenang-wenang menangkap, menahan, dan bahkan menyiksa dan mengeksekusi warga sipil.
Sekelompok diplomat Dewan Keamanan merilis pernyataan yang menyatakan kekhawatiran akan merajalelanya kekerasan seksual dalam konflik tersebut. Para diplomat mendesak pihak-pihak yang bertikai agar menghentikan kekerasan itu dan menjunjung tinggi kewajiban mereka berdasarkan hukum kemanusiaan internasional. [ka/jm]
Forum