Sementara para pejabat tinggi Amerika Serikat dan pemimpin Eropa berselisih mengenai berbagai isu seperti nilai-nilai demokrasi dan Ukraina pada Konferensi Keamanan Munich pada akhir pekan lalu, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengadakan pertemuan bilateral dengan beberapa pejabat tinggi Eropa. Di antara mereka adalah kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa (UE) Kaja Kallas, Kanselir Jerman Olaf Scholz, dan Sekjen NATO Mark Rutte.
“Tidak ada konflik kepentingan dan konflik geopolitik mendasar antara China dan Uni Eropa,” kata Wang dalam pertemuannya dengan Kallas pada hari Sabtu (15/2). Ditambahkannya, Beijing “mendukung semua upaya yang kondusif bagi perdamaian dan mendukung Eropa dalam memainkan peran signifikan” dalam proses perundingan damai mengenai perang di Ukraina.
Tanggapan Uni Eropa lebih terkendali, dengan Kallas mengatakan Uni Eropa siap “melanjutkan dialog dan kerja sama dalam beberapa bidang tertentu, seperti perdagangan, urusan ekonomi, dan perubahan iklim.” Ia mendesak Beijing untuk menghentikan ekspor barang-barang untuk tujuan ganda ke Rusia, yang menurutnya semakin menyulut perang Rusia di Ukraina.
Wapres Amerika Serikat Kritik Pemerintah Negara-Negara Eropa
Pernyataan Wang itu sangat kontras dengan kritik Wakil Presiden Amerika Serikat JD Vance terhadap negara-negara Eropa. Bukannya menyoroti ancaman yang ditimbulkan Rusia dan China, Vance malah menuduh pemerintah negara-negara Eropa menyensor partai-partai sayap kanan dan gagal mengendalikan migrasi.
“Apa yang saya khawatirkan adalah ancaman dari dalam, mundurnya Eropa dari beberapa nilainya yang paling fundamental, nilai-nilai yang juga dianut Amerika Serikat ,” katanya dalam pidato menantang yang mengejutkan para pejabat Eropa di Munich. Pidato itu di-retweet oleh miliarder Elon Musk di platform media sosial miliknya.
Beberapa pemimpin Eropa dengan segera menolak pernyataan Vance.
Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius mengatakan penggambaran kebijakan Eropa oleh wakil presiden Amerika Serikat itu “tidak dapat diterima sama sekali.”
Perselisihan terbuka yang jarang antara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa terjadi sewaktu para pejabat tinggi Amerika Serikat, yang mencakup Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz, dan Utusan Khusus Trump untuk Timur Tengah Steve Witkoff terbang ke Arab Saudi, Minggu (16/2) untuk melakukan pembicaraan mengenai perang Ukraina-Rusia dengan para diplomat Rusia.
Hal lain yang tak kalah mengejutkan banyak pemimpin Eropa adalah pernyataan Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Ukraina dan Rusia Keith Kellogg, yang mengatakan negara-negara Eropa tidak akan menjadi bagian dari pembicaraan perdamaian apa pun antara Rusia dan Ukraina, yang akan ditengahi oleh Amerika Serikat.
Beijing Manfaatkan Perpecahan?
Beberapa analis mengatakan upaya China untuk memperkuat keterlibatannya dengan Eropa merupakan bagian dari rencana memanfaatkan perpecahan antara Washington dan sekutu-sekutunya di Eropa.
“Sikap China adalah mengeksploitasi apa yang dianggap sebagai kekeliruan pemerintahan Amerika Serikat mana pun,” kata Mathieu Duchatel, Direktur Kajian Internasional di Institut Montaigne, suatu lembaga kebijakan Prancis.
Berbicara melalui telepon, ia mengatakan kepada VOA bahwa ketegangan antara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sekarang ini telah menciptakan kesempatan bagi Beijing untuk “melemahkan aliansi transatlantik mengenai kebijakan terhadap China.”
Merujuk pada ancaman Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan tarif terhadap negara-negara Eropa, beberapa pakar lainnya menilai ketegangan yang kian besar dalam hubungan Transatlantik dapat memaksa Uni Eropa memoderasi kebijakannya terhadap China.
“Karena Eropa tidak dapat melancarkan dua perang dagang pada waktu yang bersamaan, akan sulit bagi Uni Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa untuk mempertahankan kebijakan yang kritik terhadap China,” kata Matej Simalcik, Direktur Eksekutif Central European Institute of Asian Studies, kepada VOA dalam wawancara di Taipei.
Beberapa pekan terakhir ini Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, yang telah mendorong Uni Eropa untuk mengadopsi kebijakan yang lebih tegas terhadap China. Namun ia juga telah berulang kali mengatakan blok itu terbuka untuk meningkatkan hubungan dengan China.
Eropa “harus terlibat secara konstruktif dengan China – untuk menemukan solusi demi kepentingan bersama kita,” katanya dalam pidato utama di Forum Ekonomi Dunia di Davos bulan lalu.
Hubungan Amerika Serikat-Eropa Diperkirakan Bertahan
Meskipun negara-negara Eropa mungkin mempertimbangkan untuk menyesuaikan kebijakan mereka mengenai China, beberapa analis Eropa mengatakan upaya-upaya itu tampaknya tidak akan menggeser kebijakan Eropa terhadap China dan Amerika Serikat.
“Amerika Serikat dan Eropa masing-masing merupakan mitra dagang penting satu sama lain, jadi saya pikir tidak akan ada perpecahan hubungan transatlantik [sepenuhnya],” kata Sari Arho Havrén, peneliti di Royal United Services Institute.
Negara-negara Eropa “sedang menguji landasan dan melihat apa yang dapat dilakukan. Tetapi pada saat bersamaan, para pejabat Eropa mengatakan apa pun yang terjadi dengan China, itu harus berlangsung adil,” katanya kepada VOA melalui telepon. Ia menambahkan bahwa faktor-faktor tersebut akan mencegah UE “mundur” dari sikap terdahulu mereka mengenai China secara keseluruhan.
Duchatel di Institut Montaigne menilai keputusan Beijing untuk mengangkat mantan duta besar China untuk Prancis Lu Shaye – yang dikenal luas sebagai seorang “diplomat yang tegas” – sebagai utusan khususnya untuk urusan Eropa, berarti China kemungkinan besar tidak akan membuat konsesi besar dalam hubungannya dengan Uni Eropa.
“Penunjukan Lu mewakili kekakuan dalam semua hal yang dianggap penting,” katanya kepada VOA seraya menambahkan bahwa beberapa diplomat Eropa mengatakan utusan khusus baru China itu akan “mengubah pertemuan diplomatik apa pun menjadi semacam konfrontasi ideologis yang tidak mengarah pada kesamaan sikap” antara Beijing dan negara-negara Eropa.
Meskipun perbedaan fundamental China dan Uni Eropa mengenai beberapa isu seperti kemitraan Beijing dengan Rusia dan ketimpangan perdagangan belum terpecahkan, sebagian akademisi China mengatakan ketegangan yang kian besar antara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa masih memberi peluang bagi Beijing dan Eropa untuk “meningkatkan rasa saling percaya.”
“Ketegangan yang kian besar dalam hubungan transatlantik telah menciptakan lingkungan baru bagi China untuk memoderasi hubungan dengan UE, tetapi tidak berarti negara-negara Eropa akan mengurangi kritik mereka terkait kemitraan Beijing dengan Rusia atau mengenai catatan HAM China,” kata Shen Ding-li, pakar hubungan internasional yang berbasis di Shanghai, kepada VOA melalui telepon. [uh/em]
Forum