Sorang remaja Suriah, Abdallah Al Abdallah, pergi bekerja di kilang minyak darurat di Suriah utara untuk menafkahi keluarganya.
Dia adalah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga dan untuk anak berusia 15 tahun, itu adalah beban yang berat. Dia telah bekerja di sebuah kilang minyak selama tiga tahun terakhir, memulai pekerjaan berat itu pada usia 12 tahun.
Al Abdallah tidak bisa membaca atau menulis dan telah meninggalkan sekolah lebih awal untuk menggeluti pekerjaan itu.
Al Abdallah memberikan alasan mengapa dia harus bekerja sejak usia yang sedemikian muda. “Ayah saya dulunya montir mobil, tapi kemudian dia tidak bisa bekerja lagi. Jadi dia tinggal di rumah. Saya belajar sebentar lalu saya mulai bekerja supaya saya bisa membantu ayah."
Banyak anak di kilang-kilang darurat itu adalah anak-anak yang mempertaruhkan nyawa karena pekerjaan itu memiliki potensi efek berbahaya bagi kesehatan.
Abdelraouf Hajj Yousef, seorang dokter spesialis sistem pernapasan, mengatakan risiko bekerja di lokasi yang memiliki tungku bisa menimbulkan masalah pernapasan kronis dan bahkan kanker.
“Memurnikan minyak dengan cara primitif yang bergantung pada tungku menyebabkan emisi gas dan uap yang dapat menimbulkan efek berbahaya bagi sistem pernapasan, menyebabkan gejala seperti batuk dan sesak napas. Dan, itu dapat berkembang menjadi masalah pernapasan kronis seperti asma atau bronkitis, selain risiko kanker paru-paru," ungkapnya.
Al Abdullah berdiri berjam-jam untuk bekerja di samping tungku pembakaran yang mengeluarkan gas berbahaya.
Kilang itu menggunakan metode yang berbahaya dan kuno untuk mengekstraksi bahan bakar, menciptakan kolam minyak yang akhirnya dibakar untuk memisahkan solar dari komponen lainnya.
Setelah lebih dari satu dekade perang saudara, Suriah utara sebagian besar mengandalkan kilang minyak darurat untuk memenuhi kebutuhan bahan bakarnya. Sebagian besar kilang minyak berada di sekitar wilayah Tarhine, di mana terdapat sekitar 500 kolam minyak untuk disuling.
Sekitar 1.000 anak di bawah umur bekerja di kilang-kilang tersebut.
Ayah Al Abdallah, Mohamed, merasa tak punya pilihan selain membiarkan anaknya bekerja. Dia kehilangan pekerjaan sebagai mekanik, dan masalah kesehatan membuatnya berhenti bekerja di kilang minyak. Mohamed, yang mengungsi dari rumahnya di Aleppo sejak 2015, merasa tidak berdaya menghadapi tekanan ekonomi di Suriah.
“Tidak ada pilihan lain. Tidak ada pabrik, tidak ada apa-apa. Tidak ada pekerjaan dan tidak ada air untuk mengairi tanah, supaya kami bisa bercocok tanam,” kata Al Abdallah.
Al Abdallah terus-menerus berurusan dengan luka bakar di kulitnya akibat kerja keras. Ayahnya mengatakan dia menghabiskan sekitar 40 dolar sebulan untuk perawatan medis putranya. Untuk saat ini, Al Abdallah harus melanjutkan pekerjaan yang melelahkan, namun ia memimpikan kehidupan yang lebih baik.
“Saya bermimpi bahwa kami bisa kembali ke tanah kami dan kembali ke keadaan sebelumnya. Dan saya bermimpi bahwa pekerjaan bisa lebih baik dari ini, dan bagi kita semua untuk hidup bersama dalam keadaan yang lebih baik,” harapnya. [lt/ka]
Forum