Tautan-tautan Akses

Isu Iklim

PBB: Upaya Global Perlindungan Keanekaragaman Hayati Alami Kemajuan Kecil

Seorang petani memanen wortel di ladang dekat hutan lindung di Gunung Welirang di Malang, Jawa Timur (foto: ilustrasi). IUCN melaporkan bahwa 38 persen pepohonan dunia berisiko punah.
Seorang petani memanen wortel di ladang dekat hutan lindung di Gunung Welirang di Malang, Jawa Timur (foto: ilustrasi). IUCN melaporkan bahwa 38 persen pepohonan dunia berisiko punah.

Upaya global untuk melindungi flora dan fauna dunia telah membuat kemajuan kecil, sementara beberapa spesies masih mengalami penurunan serius, menurut dua laporan yang diterbitkan pada Senin (28/10) di konferensi tingkat tinggi keanekaragaman hayati PBB di Kolombia.

Sebuah laporan yang disusun oleh Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Programme/UNEP) mengkaji kemajuan global sejak diterbitkannya laporan keanekaragaman hayati pada 2020. Dua tahun lalu, sebanyak 196 negara menandatangani sebuah perjanjian bersejarah untuk melindungi keanekaragaman hayati di 30 persen bagian dari planet Bumi pada 2030.

Konferensi tingkat tinggi yang sedang berlangsung di Cali, Kolombia, itu merupakan kelanjutan dari kesepakatan tahun 2022 di Montreal, yang mencakup 23 langkah untuk menghentikan dan membalikkan kerusakan alam.

Salah satu langkahnya menyerukan agar 30 persen wilayah dari planet ini dan 30 persen ekosistem yang kondisinya menurun dilindungi per 2030.

Laporan UNEP menyebutkan, bahwa negara-negara pihak telah membuat beberapa kemajuan, akan tetapi kemajuan yang dibuat jaringan global itu harus dipercepat dalam enam tahun ke depan agar bisa mencapai target.

Laporan itu menyatakan bahwa 17,6 persen wilayah daratan dan perairan darat, serta 8,4 persen lautan dan wilayah pesisir di seluruh dunia tercakup dalam kawasan lindung dan konservasi yang sudah tercatat.

“Peningkatan wilayah cakupan sejak 2020, yang setara dengan lebih dari dua kali lipat luas Kolombia, patut dirayakan,” kata UNEP dalam pernyataan persnya.

“Tapi itu adalah kenaikan sebesar kurang dari 0,5 persen di kedua wilayah tersebut.”

Wilayah darat seluas gabungan Brazil dan Australia serta lautan seluas lebih dari Samudra Hindia harus dilindungi dan dilestarikan per 2030 untuk memenuhi target global, kata UNEP.

“Kita tidak boleh terlalu merayakan ini karena masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi target 30 persen, dan kita hanya punya waktu enam tahun untuk menyelesaikannya,” kata Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen.

Laporan UNEP menggunakan data resmi terbaru yang dilaporkan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.

“Inisiatif ‘30x30’ ini adalah target yang ambisius, tapi masih bisa dicapai apabila komunitas internasional bekerja sama lintas perbatasan, demografi, dan sektor,” kata Grethel Aguilar, direktur jenderal Serikat Pelestarian Alam Internasional (The International Union for the Conservation of Nature/IUCN).

IUCN melaporkan pada Senin bahwa 38 persen pepohonan dunia berisiko punah.

Organisasi yang bermarkas di Swiss itu mengatakan bahwa Daftar Merah Spesies Terancam milik mereka kini meliputi 166.061 spesies, di mana 46.337 di antaranya terancam punah.

Pepohonan kini mencakup lebih dari seperempat spesies yang terancam dalam daftarnya. Jumlahnya juga dua kali lipat jumlah spesies burung, mamalia, reptil dan amfibi yang terancam, jika digabungkan, kata IUCN.

Spesies-spesies pohon berisiko punah ada di 192 negara, kata organisasi itu.

Proporsi pohon yang paling terancam berada di wilayah kepulauan, karena berisiko tinggi mengalami penggundulan untuk pembangunan kota dan pertanian, serta serangan spesies invasif, hama dan penyakit.

Hilangnya pepohonan di seluruh dunia merupakan ancaman besar terhadap ribuan tanaman, jamur dan hewan, menurut IUCN. [rd/ns]

PBB: Tingkat CO2 di Atmosfer Capai Rekor Tertinggi Baru

FILE - Kebakaran hutan di Goleta, California, 13 Oktober 2021. (Ringo H.W. Chiu/AP)
FILE - Kebakaran hutan di Goleta, California, 13 Oktober 2021. (Ringo H.W. Chiu/AP)

Badan pengawasan cuaca PBB, Senin (28/10) mengatakan berbagai gas rumah kaca telah terakumulasi di atmosfer “lebih cepat daripada yang pernah terjadi selama masa keberadaan manusia” dalam dua dekade terakhir.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan dalam buletin gas rumah kaca tahunannya bahwa konsentrasi karbon dioksida mencapai level tertinggi baru yakni 420 bagian per juta (ppm) pada tahun lalu, naik 2,3 ppm dari tahun sebelumnya, dan telah meningkat 11,4 persen hanya dalam waktu 20 tahun.

“Kita belum pernah melihat tingkat CO2 seperti ini dalam sejarah kemanusiaan. Terakhir kali kita melihat 400 bagian per juta CO2 di atmosfer adalah 3 hingga 5 juta tahun yang lalu,” kata petugas ilmiah senior WMO, Oksana Tarasova. "Pada saat itu, suhu bumi 3 hingga 4 derajat lebih hangat, dan permukaan laut 10 hingga 20 tahun lebih tinggi.”

Laporan itu memperingatkan bahwa sudah ada tanda-tanda kenaikan suhu bumi mendorong “balasan” berbahaya yang akan semakin meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Peningkatan konsentrasi CO2 tahun lalu, yang merupakan peningkatan tahunan terbesar kedua dalam satu dekade terakhir, bisa jadi disebabkan oleh lonjakan kebakaran hutan; dengan karbon yang dilepaskan dari musim kebakaran hutan terburuk yang pernah terjadi di Kanada melebihi emisi tahunan mayoritas negara besar.

Konsentrasi CO2 sekarang 51 persen lebih tinggi daripada tingkat pra-industri. Sementara metana, gas rumah kaca kuat lainnya, 165 persen lebih tinggi daripada tahun 1750, kata WMO. [th/em]

Pegiat Lingkungan Libya Tanam Pohon untuk Atasi Kekeringan

Sukarelawan menanam bibit pohon sebagai bagian dari kampanye penanaman pohon di hutan Al-Nigazah, yang terkena kekeringan akibat perubahan iklim dan kurangnya air hujan, di Khoms, sebelah timur Tripoli, Libya, 23 Oktober 2024. (Ayman al-Sahili/REUTERS)
Sukarelawan menanam bibit pohon sebagai bagian dari kampanye penanaman pohon di hutan Al-Nigazah, yang terkena kekeringan akibat perubahan iklim dan kurangnya air hujan, di Khoms, sebelah timur Tripoli, Libya, 23 Oktober 2024. (Ayman al-Sahili/REUTERS)

Di tengah meningkatnya tantangan lingkungan, sebuah kelompok pegiat lingkungan hidup Libya meluncurkan gerakan penanaman pohon di Hutan Al-Nigazah, 100 kilometer di sebelah timur Tripoli.

Inisiatif yang menandai upaya kelima untuk memulihkan keseimbangan alam di kawasan itu, dilakukan ketika hutan Libya menghadapi ancaman besar akibat kekeringan dan deforestasi yang dengan cepat mengurangi lahan hijau di negara itu.

“Akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang sedang dihadapi dunia, dan juga berdampak pada Libya, saat ini kami berada di daerah Khoms, khususnya di Al-Nigazah. Daerah ini telah mengalami kekeringan dan pepohonan mati. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk mengimbanginya dengan melakukan reboisasi, dan kami telah menanam pohon di daerah ini,” ujar seorang sukarelawan lokal, Taher Ali Abdallah, yang ikut serta dalam gerakan reboisasi tersebut.

Setiap tahun, para aktivis iklim meluangkan waktu untuk menanam pohon dengan harapan dapat melestarikan dan memulihkan ruang hijau.

Keluarga dan anak-anak sekolah juga ikut berpartisipasi dalam gerakan ini, dengan menggali lubang dan menanam bibit. Tetapi tantangan terbesar mereka masih soal ketersediaan air.

“Pohon melambangkan pertumbuhan dan kehidupan; pohon memberikan kita oksigen, memberikan kita alam, dan melindungi kita dari pemanasan global saat ini,” ujar salah seorang peserta.

Inisiatif ini mendorong warga untuk mengambil tindakan di daerah mereka masing-masing, dan mempromosikan pendekatan akar rumput untuk konservasi lingkungan. [th/em]

Hutan Indonesia Tanggung Akibat dari Meningkatnya Permintaan Energi Biomassa Global

Sebuah truk mengangkut tanah yang mengandung bijih nikel dari tambang di hutan yang ditebang di Halmahera, 19 Maret 2012. (Foto: REUTERS/Neil Chatterjee)
Sebuah truk mengangkut tanah yang mengandung bijih nikel dari tambang di hutan yang ditebang di Halmahera, 19 Maret 2012. (Foto: REUTERS/Neil Chatterjee)

Perusahaan listrik milik negara atau PLN juga memiliki rencana untuk secara drastis meningkatkan jumlah biomassa yang dibakar untuk menghasilkan listrik.

Hamparan hutan alami yang sangat luas ditebang di banyak wilayah di Indonesia untuk memenuhi permintaan internasional yang meningkat pesat akan bahan biomassa yang dipandang penting bagi transisi banyak negara menuju bentuk energi yang lebih bersih.

Hampir semua biomassa dari hutan yang dirusak untuk produksi pelet kayu sejak 2021 telah dikirim ke Korea Selatan dan Jepang, menurut temuan The Associated Press dalam pemeriksaan citra satelit, catatan perusahaan, dan data ekspor Indonesia. Kedua negara tersebut telah menyediakan jutaan dolar untuk mendukung pengembangan produksi dan penggunaan biomassa di Indonesia.

Perusahaan listrik milik negara atau PLN juga memiliki rencana untuk secara drastis meningkatkan jumlah biomassa yang dibakar untuk menghasilkan listrik.

Para ahli dan pemerhati lingkungan khawatir bahwa meningkatnya permintaan internasional dan domestik, ditambah dengan lemahnya regulasi domestik, akan mempercepat penggundulan hutan sekaligus memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil yang sangat berpolusi. Biomassa adalah bahan organik seperti tanaman, kayu, dan limbah, dan banyak pembangkit listrik tenaga batu bara dapat dengan mudah dimodifikasi untuk membakarnya bersama batu bara guna menghasilkan energi.

Sebuah ekskavator terlihat di hutan yang hancur di kawasan lahan gambut di Kabupaten Kuala Tripa di Nagan Raya, Aceh. (Foto: REUTERS/Roni Bintang)
Sebuah ekskavator terlihat di hutan yang hancur di kawasan lahan gambut di Kabupaten Kuala Tripa di Nagan Raya, Aceh. (Foto: REUTERS/Roni Bintang)

“Produksi biomassa — yang baru-baru ini mulai terlihat dalam skala industri di Indonesia, merupakan ancaman baru yang mengerikan bagi hutan negara ini” kata Timer Manurung, direktur Auriga Nusantara, sebuah organisasi lingkungan dan konservasi Indonesia.

Seiring dengan percepatan transisi energi di sejumlah negara, permintaan terhadap biomassa pun meningkat: Penggunaan bioenergi telah meningkat rata-rata sekitar 3% per tahun antara tahun 2010 dan 2022, menurut Badan Energi Internasional (IEA).

Para ahli termasuk IEA mengatakan penting agar permintaan tersebut terjadi secara berkelanjutan, seperti menggunakan limbah dan sisa tanaman daripada mengubah lahan hutan untuk menanam tanaman bioenergi. Deforestasi menyebabkan erosi, merusak area dengan keanekaragaman hayati, mengancam satwa liar dan manusia yang bergantung pada hutan, serta memperparah bencana akibat cuaca ekstrem.

Dan banyak ilmuwan dan pemerhati lingkungan menolak penggunaan biomassa sama sekali. Mereka mengatakan pembakaran biomassa berbasis kayu dapat melepaskan lebih banyak karbon daripada batu bara dan penebangan pohon sangat mengurangi kemampuan hutan untuk menyerap karbon dari atmosfer. Kritikus juga mengatakan bahwa penggunaan biomassa untuk pembakaran bersama, alih-alih beralih langsung ke energi bersih, hanya memperpanjang penggunaan batu bara.

Pembukaan hutan untuk proyek pemerintah di Gunung Mas, Kalimantan, 5 Maret 2021. (Foto: AFP/Galih)
Pembukaan hutan untuk proyek pemerintah di Gunung Mas, Kalimantan, 5 Maret 2021. (Foto: AFP/Galih)

Di Indonesia, produksi biomassa menyebabkan penggundulan hutan di seluruh wilayah nusantara.

Auriga Nusantara melaporkan bahwa lebih dari 9.740 hektar (24.070 are) hutan telah ditebangi di wilayah yang diizinkan untuk produksi biomassa sejak tahun 2020. Izin telah dikeluarkan untuk lebih dari 1,4 juta hektar (3.459.475 are) hutan tanaman energi di Indonesia, dengan lebih dari sepertiga lahan tersebut merupakan hutan yang masih sama sekali belum tersentuh. Lebih dari separuh wilayah konsesi tersebut merupakan habitat spesies unggulan seperti badak Sumatra, gajah, orangutan, dan harimau, kata Manurung.

Di hutan kaya karbon di Gorontalo, Sulawesi, penebangan, pencacahan, dan pengiriman pohon-pohon tua untuk membuat pelet kayu yang padat energi telah disederhanakan. Lebih dari 3.000 hektar hutan telah ditebang di konsesi milik Banyan Tumbuh Lestari, dari tahun 2021 hingga 2024, menurut analisis satelit yang dibagikan kepada AP oleh organisasi lingkungan internasional Mighty Earth. Tambahan 2.850 hektar telah dibuka untuk jalan penebangan.

Setelah pohon ditebang, pohon tersebut kemudian diubah menjadi pelet kayu di fasilitas dekat konsesi milik Biomasa Jaya Abadi, eksportir pelet kayu terbesar dari Indonesia pada tahun 2021-2023, menurut data yang dihimpun Auriga Nusantara dari basis data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Basis data tersebut tidak memiliki catatan ekspor pelet kayu sebelum tahun 2020.

Biomasa Jaya Abadi tidak menanggapi permintaan berulangkali wawancara atau komentar dari The Associated Press. Banyan Tumbuh Lestari tidak memiliki informasi kontak yang tersedia untuk umum; AP menghubungi pemegang saham utama mereka untuk meminta komentar tetapi tidak mendapat tanggapan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Kelautan dan Investasi juga tidak menanggapi permintaan komentar.

Hampir seluruh produksi pelet kayu Indonesia dikirim ke luar negeri untuk memenuhi permintaan internasional, kata Alloysius Joko Purwanto, ekonom energi di Lembaga Penelitian Ekonomi ASEAN dan Asia Timur.

Sebagian besar pelet kayu Indonesia dikirim ke Korea Selatan (61%) dan Jepang (38%) pada tahun 2021-2023, menurut data pemerintah.

“Jelas bahwa pemerintah Jepang dan Korea Selatan berupaya membeli lebih banyak biomassa dari Indonesia untuk menurunkan emisi domestik mereka sendiri,” kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS).

Kedua negara tersebut telah memberikan dukungan keuangan jutaan dolar terhadap pengembangan biomassa di Indonesia melalui penelitian, kebijakan, konstruksi dan dukungan lainnya, menurut tinjauan perjanjian bisnis dan pemerintah yang tersedia untuk publik oleh AP.

Dinas Kehutanan Korea Selatan, yang menggerakkan perluasan dan kebijakan biomassa Korea Selatan, tidak menanggapi permintaan komentar. Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang juga tidak menanggapi permintaan komentar mengenai hal ini.

Sekelompok pengendara sepeda beristirahat selama perjalanan mereka di hutan hujan Gunung Burangrang di pinggiran Bandung, Jawa Barat. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Sekelompok pengendara sepeda beristirahat selama perjalanan mereka di hutan hujan Gunung Burangrang di pinggiran Bandung, Jawa Barat. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Peningkatan produksi dan penggunaan biomassa bertepatan dengan peningkatan penggunaan biomassa dalam negeri di Indonesia.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana menerapkan pembakaran bersama biomassa sebesar 10% untuk 52 pembangkit listrik tenaga batu bara di seluruh negeri. PLN memperkirakan akan membutuhkan 8 juta ton biomassa per tahun — jauh lebih besar dari kapasitas industri pelet kayu pada akhir tahun 2023 yang kurang dari 1 juta ton, menurut organisasi masyarakat sipil Indonesia Trend Asia.

Untuk mencapai ambisi PLN, diperlukan peningkatan lahan perkebunan hutan sebesar 66%. “Inilah yang kemungkinan akan mengorbankan hutan yang utuh, kaya karbon, dan menyerap karbon,” menurut laporan Mighty Earth.

Juru bicara PLN, Gregorius Adi Trianto mengatakan kepada AP bahwa rencana perusahaan tersebut mengandalkan biomassa dari "limbah organik seperti ranting pohon, limbah padi, dan limbah industri kayu... ketimbang dari hutan yang masih aktif ditebang."

Karena Indonesia tidak memiliki regulasi dan pengawasan yang jelas terhadap industri biomassa yang sedang berkembang, para ahli khawatir deforestasi kemungkinan akan meningkat di tahun-tahun mendatang.

“Kita sudah jauh tertinggal dalam hal pemantauan dan pengaturan masalah seputar produksi biomassa di Indonesia,” kata Yudhistira. “Jelas ada kurangnya uji tuntas, dan hutan pun semakin menderita.” [rz/rs/ah]

APHR: Filipina Perlu Segera Ambil Tindakan Terkait Perubahan Iklim 

Warga berada di atas atap untuk menghindari banjir, sambil menunggu evakuasi dari tim penyelamat di Libon, provinsi Albay, Filipina, 23 Oktober 2024 (foto: dok). Filipina di urutan teratas negara yang paling berisiko terhadap krisis iklim.
Warga berada di atas atap untuk menghindari banjir, sambil menunggu evakuasi dari tim penyelamat di Libon, provinsi Albay, Filipina, 23 Oktober 2024 (foto: dok). Filipina di urutan teratas negara yang paling berisiko terhadap krisis iklim.

Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) menyerukan kepada pemerintah Filipina untuk segera mengambil tindakan terkait perubahan iklim. Desakan ini disampaikan setelah Badai Tropis Kristine (Trami) menghantam Bicol, Visayas Timur, wilayah Calabarzon, dan provinsi-provinsi lain di Filipina, termasuk Metro Manila.

Filipina mengalami rata-rata 20 topan setiap tahun dengan tingkat kerentanan iklim yang tinggi. Hal ini berdampak pada banyak komunitas, populasi yang rentan, dan mata pencaharian. Intensitas topan telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Indeks Risiko Dunia tahun 2022 telah menempatkan Filipina di urutan teratas negara yang paling berisiko terhadap krisis iklim.

Wakil Ketua APHR dan yang juga mantan Anggota Parlemen Malaysia, Charles Santiago mengatakan “banjir parah dan tanah longsor yang disebabkan oleh badai Kristine saat menerjang daratan di Divilacan, Isabela, 400 kilometer di utara Manila, telah menewaskan lebih dari selusin orang dan menimbulkan dampak pada lebih dari 500 ribu keluarga Filipina. Ini adalah alasan lain bagi para pemimpin Filipina untuk segera mengambil tindakan menuju keadilan iklim.”

Dia menambahkan bahwa krisis terkait iklim ini harus mendorong pemerintahan Marcos untuk merancang dan menerapkan solusi iklim yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan, yang mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan warga Filipina.

Anggota Dewan APHR dan anggota DPR Filipina Arlene D. Brosas menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa, “Kita harus mengakui, bukti yang mengejutkan tentang dampak perubahan iklim yang semakin memburuk mempertaruhkan nyawa rakyat Filipina. Setiap detik, setiap jam yang terlewatkan dalam menjalankan amanah perubahan iklim tidak hanya merugikan kesehatan dan mata pencaharian jutaan warga negara, tetapi juga kelangsungan hidup dan hak mereka atas lingkungan yang berkelanjutan dan aman.”

“Kami di APHR, kembali menyerukan kepada pemerintah Filipina untuk memenuhi komitmen mereka dalam melindungi kehidupan rakyat Filipina di era krisis iklim yang semakin parah ini. Situasinya sudah mengkhawatirkan, dan tanpa rencana aksi dan implementasi yang komprehensif menuju keadilan iklim, akan semakin banyak nyawa yang hilang,” imbuh Mercy Chriesty Barends, Ketua APHR dan anggota DPR dari Indonesia. [ns/em]

Tunjukkan lebih banyak

XS
SM
MD
LG