Isu Iklim
Laporan: Ekspansi Gas Asia Ancam Transisi Hijau

Asia Tenggara berada pada jalur untuk memperbanyak pembangkit listrik tenaga gas mereka serta kapasitas impor gas alam cair. Situasi ini mengancam transisi energi hijau kawasan tersebut, sebuah laporan memberikan peringatan itu pada Kamis (30/5).
Rencana yang ada di kawasan Asia Tenggara saat ini memproyeksikan peningkatan kapasitas pembangkit bertenaga gas sebanyak dua kali lipat, dan peningkatan 80 persen kapasitas impor gas alam cair, kata organisasi nonpemerintah yang berbasis di AS, Global Energy Monitor (GEM).
Gas alam mengeluarkan lebih sedikit karbon dioksida dari pada bahan bakar fosil lainnya, dan karena itu dianggap sebagai sebuah “bahan bakar peralihan” yang bisa membantu ekonomi mengurangi emisi tanpa mengorbankan pertumbuhan.
Namun, kebocoran metana dari industri gas adalah komponen kunci dari perubahan iklim, dan Badan Energi Internasional (IEA) telah memperingatkan bahwa gas alam cari seharusnya memiliki sebuah “peran terbatas” dalam peralihan dari batu bara.
“Meninggalkan batubara dengan alasan lingkungan menetapkan standar rendah bagi gas alam, mengingat ada emisi yang lebih rendah dan alternatif biaya rendah bagi kedua bahan bakar itu,” kata IEA pada 2019.
Negara yang memimpin ekspansi di kawasan adalah Vietnam, Filipina, Indonesia dan Thailand, menurut GEM.
Namun, Asia Tenggara telah memiliki kapasitas pembangkit tenaga matahari dan angin yang skalanya cukup besar dalam pengembangannya, untuk menutup hampir dua pertiga peningkatan permintaan energi yang diproyeksikan pada 2030, tambah GEM.
Meski begitu, organisasi tersebut mengakui bahwa potensi sumber daya yang dapat diperbaharui tersebar tidak merata di kawasan ini, dengan beberapa negara memanfaatkan tenaga angin dan cahaya matahari secara lebih baik dibanding yang lain.
Dan infrastruktur jaringan secara regional juga menjadi penghalang, dengan peningkatan yang diperlukan untuk memfasilitasi integrasi bahan bakar terbarukan.
Hal ini mungkin membuat gas alam cair menjadi lebih menarik, khususnya di mana pembangkit listrik tenaga batu bara atau solar bisa digantikan.
“Namun menaikkan produksi gas bukanlah solusi jangka panjang,” kata Warda Ajaz, manajer proyek Asia Gas Tracker dari GEM.
“Memenuhi permintaan dengan sumber energi terbarukan dengan biaya yang efektif melindungi kawasan ini dari gejolak harga gas dan itu merupakan langkah ke depan yang lebih hijau,” tambahnya.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa pembiayaan internasional mendorong ekspansi kapasitas gas di atas bahan bakar terbarukan, sebagian dengan memberi penawaran dalam bentuk dana kepada negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam untuk mengubah pembangkit ke berbahan bakar gas alam cair. [ns/rs]
OECD: Negara-negara Kaya Terlambat Dua Tahun dalam Penuhi Target Pendanaan Iklim

Negara-negara makmur memenuhi target penyediaan bantuan dana iklim tahunan sebesar US$100 miliar bagi negara-negara miskin, untuk pertama kalinya pada 2022. Realisasi tersebut terlambat dua tahun dari janji yang mereka sampaikan, kata Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, (OECD) pada Rabu (29/5).
Kegagalan untuk menyediakan anggaran tepat pada waktunya telah mengikis kepercayaan pada negosiasi iklim, dan laporan OECD tersebut dirilis ketika negara-negara berpacu untuk menetapkan tujuan yang lebih ambisius pada November mendatang.
Pada 2009, negara-negara maju menjanjikan untuk mengumpulkan dana sebesar US$100 miliar pada 2020 untuk membantu negara-negara berpendapatan rendah berinvestasi pada energi bersih dan mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin memburuk.
Lebih dari satu dekade kemudian, target tersebut akhirnya terpenuhi untuk pertama kalinya pada 2022, dengan pengumpulan dana mencapai $115,9, menurut data OECD.
“Pencapaian ini terjadi dua tahun lebih lambat dari target awalnya, tahun 2020,” kata OECD, yang melacak angka-angka resmi terkait janji pendanaan iklim.
Pendanaan iklim bisa datang dari pemerintah dalam bentuk bantuan bilateral, pemberi pinjaman pembangunan multinasional seperti Bank Dunia, atau sektor swasta.
Mayoritas dari dana $100 miliar yang dikucurkan pada 2022 itu digunakan untuk aksi iklim yang membatasi pelepasan gas rumah kaca yang terperangkap panas, kata OECD, terutama dalam sektor energi bersih dan peningkatan transportasi.
Target dana $100 miliar itu tidak sedikitpun mendekati apa yang oleh para ahli katakan, akan dibutuhkan oleh negara-negara berkembang untuk energi terbarukan dan langkah-langkah adaptasi seperti pertahanan pesisir terhadap naiknya muka air laut.
Sebuah panel yang diselenggarakan PBB memperkirakan bahwa negara-negara tersebut – tidak termasuk China – akan membutuhkan dana sebesar $2,4 triliun per tahun pada 2030, untuk memenuhi kebutuhan iklim dan pembangunan mereka.
Banyak negara berkembang yang hanya sedikit menghasilkan gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Namun mereka menjadi yang paling terpapar terhadap dampak yang mahal dan merusak dari memburuknya cuaca ekstrem. [ns/rs]
VOA Headline News: Negara-Negara Kaya Terlambat Dua Tahun dalam Penuhi Target Pendanaan Iklim
Pakistan Alami Gelombang Panas dengan Suhu di Atas 50 Derajat Celsius

Suhu melonjak di atas 50 derajat Celsius di beberapa daerah di Pakistan pada hari Senin (27/5), sementara gelombang panas yang masih terus terjadi melanda lebih banyak lagi wilayah, termasuk di distrik di bagian selatan, Sukkur.
Gelombang panas itu diperkirakan akan terus berlangsung setidaknya selama beberapa hari lagi.
Para dokter merawat korban sengatan panas di rumah sakit-rumah sakit di berbagai penjuru Pakistan.
Tempat-tempat meringankan sengatan panas yang dikelola para sukarelawan telah didirikan untuk menyediakan air es bagi warga di Sukkur. Warga di sana mengatakan pemerintah tidak melakukan apa pun untuk membantu mereka.
Saleem Abas, warga setempat, mengatakan, “Panas sekali, apa yang harus kami lakukan? Kami harus keluar rumah untuk bekerja. Untuk melindungi diri, kami minum air tebu dan air dingin. Kami tidak punya banyak pilihan.”
Orang-orang juga mendatangi kawasan Sungai Indus yang populer untuk menyelamatkan diri dari suhu panas ekstrem.
Departemen Meteorologi Pakistan mengatakan negara itu dapat mengalami lebih banyak lagi suhu sangat tinggi sebelum hujan pada musim mendatang. Para pejabat mengatakan gelombang panas sekarang ini terjadi karena perubahan cuaca dan ini merupakan bencana terbaru yang terkait iklim di negara itu dalam beberapa tahun ini. [uh/ab]
PBB Peringatkan Lebih Banyak Banjir akan Terjadi di Afghanistan

Di saat PBB memperingatkan akan adanya banjir yang lebih “hebat” yang akan mempengaruhi ketahanan pangan di Afghanistan dalam beberapa bulan mendatang, para ahli mengatakan negara itu memerlukan perencanaan jangka panjang untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim.
PBB mengatakan, banjir yang terjadi di sejumlah provinsi di timur laut dan barat laut Afghanistan dalam dua minggu terakhir, berdampak pada lebih dari 80.000 orang di negara tersebut.
Pejabat Taliban di provinsi Ghor mengatakan pada hari Kamis (23/5), banjir pekan lalu menewaskan sedikitnya 50 orang di provinsi itu dan merusak lebih dari 4.000 rumah dan toko.
Menurut PBB, banjir di sejumlah provinsi di Afghanistan timur laut: Badakhshan, Takhar dan Baghlan pada tanggal 10 dan 11 Mei lalu telah menewaskan 347 orang dan melukai 1.651 orang.
Banjir tersebut menghanyutkan 7.800 rumah, membunuh hampir 14.000 hewan ternak dan merusak sekitar 24.000 hektar lahan di tiga provinsi di Afghanistan itu.
Krisis iklim yang memburuk menyebabkan "pola cuaca tidak menentu" yang mana telah menjadi "sesuatu yang umum" di Afganistan, menurut (Program Pangan Dunia WFP).
"Orang-orang yang terkena dampak tinggal di distrik-distrik dengan kerawanan pangan yang lebih tinggi," kata Ziauddin Safi, juru bicara WFP di Afghanistan. Ia menambahkan, "banjir disebabkan oleh curah hujan yang tidak biasa, setelah musim dingin yang kering, sehingga tanah sulit menyerap air hujan yang disebabkan oleh krisis iklim."
"Sayangnya, WFP memperkirakan lebih banyak banjir akan terjadi di masa depan," tambah Safi.
Afghanistan menjadi salah satu negara di dunia yang paling rentan terdampak oleh perubahan iklim, walaupun negara tersebut hanya sedikit mennghasilkan emisi gas rumah kaca.
Menurut Indeks Risiko INFORM 2023, Afghanistan berada di peringkat keempat dalam daftar negara paling berisiko terkena krisis.
Afghanistan juga merupakan salah satu negara yang paling rentan dan tidak siap menurut Indeks Adaptasi Global Notre Dame.
Najibullah Sadid, seorang ahli perairan Afghanistan di Universitas Stuttgart, Jerman, mengatakan kepada VOA bahwa Afghanistan memerlukan rencana jangka panjang untuk memitigasi efek dari perubahan iklim namun negara tersebut juga kekurangan sumber daya untuk mencapai tujuan itu.
"Sayangnya, tanpa bantuan ekonomi internasional, menerapkan proyek [untuk memitigasi efek perubahan iklim] di Afghanistan itu menjadi mustahil," ungkap Sadid.
Ia menambahkan bahwa Afghanistan memerlukan dukungan dari Dana Iklim Hijau PBB dan Dana Kerugian untuk Negara Berkembang. [ps/ka/rs]
OCHA: Krisis Iklim Timbulkan Dampak di Afghanistan, Pakistan dan Sudan

Direktur Operasi Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) Edem Wosornu hari Kamis (23/5) mengatakan situasi kemanusiaan di Afghanistan “rentan” di mana 23 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Jumlah ini menurutnya lima kali lebih besar dibanding tahun 2019.
Wosornu mengatakan krisis iklim global telah menimbulkan dampak langsung terhadap warga Afghanistan dengan meluasnya kelangkaan pasokan air bersih sehingga menimbulkan kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan gizi yang baru.
“Lebih dari 15 juta warga Afghanistan kini menghadapi kelangkaan pangan akut,” tambahnya.
Wosornu menjelaskan bahwa meskipun perempuan dan anak perempuan masih terus menghadapi diskriminasi, ia dan mitra-mitranya masih dapat menjalankan mandatnya. “Ada beberapa orang dalam komunitas yang secara de facto mendengarkan kami, meskipun ada juga yang menutup mata terhadap beberapa kegiatan yang kami lakukan,” ujarnya.
Lebih jauh ia juga melaporkan lawatannya ke Sudan di mana dampak krisis iklim dan perang telah membuat jutaan orang menghadapi risiko. “Jika kita kehilangan musim tanam, kita akan kehilangan banyak nyawa.” [em/ka]
- Associated Press
PBB Gelar Diskusi Terkait Migrasi Internasional

Badan PBB yang membidangi migrasi mengatakan perlu adanya perubahan besar dalam cara dunia dalam menangani isu migran.
Ada “kebutuhan mendesak untuk perubahan paradigma dalam pendekatan kita terhadap migrasi,” kata Peggy Walters, juru bicara Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dalam dialog terkait migrasi di markas PBB di New York pada Selasa (21/5).
“Migrasi telah lama menjadi kekuatan penting dalam menghubungkan dunia, mendorong pertukaran budaya, mendorong pengayaan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan serta inovasi,” tambahnya.
Namun, menurut Walters, jutaan orang terpaksa mengungsi akibat perubahan iklim.
“Jutaan orang terpaksa mengungsi akibat kerusakan yang timbul dari perubahan iklim, di mana mereka harus mengalami kerentanan yang berlibat sepanjang jalur migrasi. Apa yang kami upayakan adalah, menyatukan negara-negara anggota dan peserta utama untuk meningkatkan dialog, tentang bagaimana kita dapat mengubah kebijakan dan pendekatan terkait isu migrasi,” kata Walters.
Dalam kesempatan tersebut, Walters juga mengumumkan bahwa aktris dan aktivis America Ferrera ditunjuk sebagai Duta Besar Organisasi Internasional Dunia untuk Migrasi (IOM). [ps/lt]
- Associated Press
Antisipasi Gelombang Panas Baru, Warga Pakistan Diperingatkan Tidak Keluar Rumah

Pihak berwenang di Pakistan pada Selasa (21/5) mendesak masyarakat untuk tidak keluar rumah karena negara itu dilanda gelombang panas ekstrem yang mengancam akan membawa suhu tinggi yang berbahaya dan mengakibatkan banjir karena mencairnya gletser.
Provinsi terpadat di Pakistan, Punjab, menutup semua sekolah selama seminggu karena cuaca panas, yang berdampak pada sekitar 18 juta siswa.
Ini adalah bencana terkait iklim terbaru yang melanda negara ini dalam beberapa tahun terakhir. Mencairnya gletser dan meningkatnya musim hujan telah menyebabkan banjir dahsyat, bahkan menenggelamkan sepertiga wilayah negara tersebut.
Pakistan mencatat bulan April terbasah sejak 1961, dengan curah hujan bulanan lebih dari dua kali lipat dari biasanya, menurut pusat cuaca nasional. Hujan deras yang terjadi bulan lalu menewaskan banyak orang dan menghancurkan properti dan lahan pertanian, para ahli mengatakan negara tersebut mengalami hujan lebat karena perubahan iklim.
Pakistan masih berusaha memulihkan kerugian sebesar $30 miliar yang disebabkan oleh banjir dahsyat akibat perubahan iklim yang menewaskan 1.739 orang pada tahun 2022.
“Panas terik akan terus berlanjut bulan ini,” kata Zaheer Ahmed Babar, pejabat senior di Departemen Meteorologi Pakistan. Dia menambahkan bahwa suhu bisa mencapai 6 derajat Celcius di atas rata-rata bulanan.
Suhu pekan ini bisa naik di atas 40 derajat Celsius di banyak wilayah di negara ini, kata Babar.
Menurut sejumlah pejabat kesehatan, rumah-rumah sakit diinstruksikan untuk mendirikan pusat tanggap darurat gelombang panas sehingga mereka yang terdampak suhu panas dapat segera diobati.
Dokter mengatakan heatstroke adalah penyakit serius yang terjadi ketika suhu tubuh meningkat dengan cepat karena panas terik, sehingga berpotensi menyebabkan beberapa orang jatuh pingsan. Serangan panas yang parah dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.
Beberapa daerah di Pakistan juga mengalami pemadaman listrik selama berjam-jam.
“Kami mengalami pemadaman listrik selama berjam-jam pada hari Senin,” kata Ibrar Abbasi, yang tinggal di pinggiran Islamabad.
Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa perubahan iklim, yang dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil, penggundulan hutan, dan praktik pertanian tertentu, akan menyebabkan cuaca ekstrem yang lebih sering dan berkepanjangan, termasuk suhu yang lebih panas.
Babar mengatakan gelombang panas hebat lainnya akan melanda negara itu pada bulan Juni, ketika suhu kemungkinan akan mencapai 45 derajat Celsius. Dia mengatakan masyarakat harus minum banyak air dan menghindari perjalanan yang tidak perlu. Para peternak harus mengambil tindakan untuk melindungi hewan mereka selama cuaca panas ekstrem, katanya.
Namun, banyak orang, terutama buruh dan pekerja konstruksi di negara miskin tersebut, bertanya bagaimana mereka bisa tetap tinggal di dalam rumah karena keluarga mereka akan menderita jika mereka tidak bekerja.
“Saya merasa tidak enak badan karena panas yang menyengat, tapi saya harus bekerja,” kata Ghulam Farid, pemilik toko kelontong kecil di Sheikhupra, sebuah kota di provinsi Punjab.
Para pekerja konstruksi terlihat duduk di dekat jalan di pinggiran ibu kota, Islamabad, berharap mendapatkan pekerjaan. Di antara mereka adalah Mohammad Khursheed, 52 tahun, yang mengatakan dia memperhatikan perubahan pola musim.
“Saya merasakan panasnya meski di pagi hari, tapi kata orang suhunya akan semakin meningkat,” ujarnya. [ab/ns]
Suhu Capai 44,4 Derajat, India Tutup Sekolah

Badan Meteorologi India mengeluarkan peringatan tentang "kondisi panas yang ekstrem" pada minggu ini. Suhu di pinggiran kota Najafgarh, Delhi, pada Senin (20/5) mencapai rekor sebesar 47,4 derajat Celsius, menjadi yang tertinggi di seluruh negara.
Badan Meteorologi India mengeluarkan peringatan tentang "keadaan panas yang ekstrem" pada minggu ini. Suhu di pinggiran Kota Najafgarh, Delhi pada Senin (20/5) mencapai rekor sebesar 47,4 derajat Celsius, paling tinggi di seluruh negara.
Pihak berwenang di negara bagian lain – termasuk Haryana, Madhya Pradesh, Punjab dan Rajasthan – juga memerintahkan penutupan sekolah, demikian yang dilaporkan Indian Today.
India tidak asing dengan suhu musim panas yang menyengat.
Namun penelitian ilmiah selama bertahun-tahun menemukan bahwa perubahan iklim menyebabkan gelombang panas menjadi lebih lama, lebih sering, dan lebih intens.
Departemen Meteorologi India memperingatkan dampak panas terhadap kesehatan terutama bagi bayi, orang lanjut usia, dan penderita penyakit kronis.
Pada Mei 2022, suhu di sebagian wilayah Delhi mencapai 49,2 derajat Celcius, media India melaporkan pada saat itu. [ah/rs]
Jokowi: Kekeringan Dapat Perlambat Pertumbuhan Ekonomi

Presiden Joko Widodo resmi secara resmi membuka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) World Water Forum (WWF) ke-10, yang diselenggarakan di Bali, Senin (20/5).
Dalam pidatonya, Jokowi menekankan peran air yang sangat sentral bagi kehidupan manusia. Menurutnya, kekeringan akan berdampak pada melambatnya perekonomian di masa yang akan datang dan menimbulkan berbagai permasalahan serius lainnya.
“Bank Dunia memperkirakan kekurangan air dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi sampai 6 persen hingga tahun 2050. Kelangkaan air juga dapat memicu perang serta bisa menjadi sumber bencana,” ungkapnya.
Sebagai tuan rumah penyelenggara WWF, Jokowi membeberkan sejumlah upaya pemerintahannya selama ini untuk senantiasa memperkuat sarana dan prasarana infrastruktur air di dalam negeri, diantaranya dengan membangun 42 bendungan, 1,18 juta hektare jaringan irigasi, 2.156 kilometer pengendali banjir dan pengaman pantai, serta merehabilitasi 4,3 juta hektare jaringan irigasi.
“Air juga kami manfaatkan untuk membangun PLTS Terapung Waduk Cirata sebagai PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara,” jelasnya.
Lebih lanjut, Jokowi menegaskan bahwa forum tersebut sangat strategis untuk merevitalisasi aksi nyata dan komitmen bersama dalam mewujudkan manajemen sumber daya air yang terintegrasi. Untuk itu, kata Jokowi, Indonesia mendorong tiga hal untuk dilakukan secara konsisten, yakni meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusivitas, memberdayakan hydro-diplomacy yang konkret dan inovatif, serta memperkuat kepemimpinan politik dalam kerja sama internasional terkait air.
Indonesia juga mengusulkan empat inisiatif baru dalam forum ini, yakni penetapan World Lake Day, pendirian Center of Excellence di Asia Pasifik untuk ketahanan air dan iklim, tata kelola air berkelanjutan di negara pulau kecil, dan penggalangan proyek-proyek air. Inisiatif-inisiatif tersebut menunjukkan komitmen Indonesia dalam memimpin upaya global dalam tata kelola air yang berkelanjutan.
“Air bukan sekedar produk alam, tapi merupakan produk kolaborasi yang mempersatukan kita sehingga butuh upaya bersama untuk menjaganya,” tandasnya.
Presiden WWF Ajak Semua Pihak Menjadi “Pejuang Air”
Presiden World Water Council (WWC) atau Dewan Air Dunia Loïc Fauchon mengajak semua pihak untuk menjadi “pejuang air”. Seruan yang disampaikannya dalam pembukaan WWF ini tentu beralasan. Menurutnya, saat ini tatanan dunia sedang rusak, sumber daya alamnya juga berada dalam bahaya yang besar, sehingga berdampak bagi sebagian besar penduduk dunia yang saat ini sedang menderita.
Keadaan ini, ujarnya sebagai akibat dari kurangnya kesadaran masyarakat global untuk memperbaiki permasalahan yang ada.
“Kita semua ingin memperbaiki situasi ini dan ketidakadilan yang diakibatkannya. Selama forum WWF ini, mari kita wujudkan impian kita, mari kita turun ke dasar air melalui tindakan kita, mari kita bekerja sama untuk menyembuhkannya dari semua penyakit yang kita sebabkan. Kami bekerja untuk masyarakat dan kami bekerja untuk alam, untuk melestarikan dan meningkatkan keanekaragaman hayati serta merevitalisasi ekosistem yang mengelilingi dan mendukung kami,” ungkap Fauchon.
Fauchon mengibaratkan air sebagai sebuah politik, dan di masa depan menurutnya, air juga bisa menjadi suatu bentuk diplomasi atau hydro-diplomacy antara negara satu dengan negara lainnya. Maka dari itu, ke depan suatu negara harus dapat mengidentifikasi permasalahan apa yang menghambat atau mengganggu ketersediaan air.
Dalam kesempatan ini, Fauchon mengatakan dirinya nanti akan memperkenalkan koalisi “Money for Water” pada konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendatang dan mengajak seluruh negara ikut bergabung. Koalisi tersebut nantinya diharapkan dapat membantu negara-negara miskin untuk mengatasi permasalahan air.
“Bergabunglah dengan koalisi Uang untuk Air kami untuk membantu memecahkan masalah pendanaan ini,” serunya.
Terakhir, Fauchon menyerukan kepada seluruh pihak untuk senantiasa menciptakan kerja sama yang menyeluruh untuk dapat memperkuat tata kelola air sedunia, karena masa sentralisme sudah berakhir.
Sementara itu, lewat tayangan video singkat yang diputar dalam KTT itu, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengungkapkan bahwa saat ini air berada dalam sebuah ancaman persaingan yang tidak perlu. Konsumsi air yang tidak bijaksana serta polusi parah mewarnai kehidupan umat manusia, imbuh Guterres.
Dalam kesempatan ini Guterres menekankan adanya krisis iklim juga telah mengakibatkan berbagai permasalahan dalam tata kelola air dunia, seperti suhu air yang meningkat ke titik tertinggi baru yang mematikan, gletser yang mencair, ketinggian permukaan air laut yang meningkat, dan aliran sungai yang semakin menyusut.
“Kita perlu menempatkan air sebagai pusat dari seluruh upaya kita dalam bidang iklim, keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Mari kita bekerja dan mari kita mengambil tindakan untuk air,” pungkasnya. [gi/ab]
- Associated Press
Penetapan Kadal Langka Sebagai Spesies Terancam Punah Bisa Perlambat Pengeboran Migas AS

Pejabat federal Amerika Serikat (AS) bidang satwa liar pada Jumat (17/5) menetapkan kadal langka di bagian tenggara New Mexico dan Texas Barat sebagai spesies yang terancam punah.
Mereka juga menyebut pengembangan energi di masa depan, penambangan pasir dan perubahan iklim, sebagai ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup spesies reptil yang hidup di salah satu cekungan minyak dan gas alam yang paling menguntungkan di dunia.
“Kami telah menetapkan bahwa kadal semak-semak bukit pasir berada dalam bahaya kepunahan di seluruh wilayah jelajahnya,” kata Dinas Perikanan dan Margasatwa AS. Dinas itu menyimpulkan bahwa kadal tersebut sudah "punah secara fungsional" di 47 persen wilayah jelajahnya.
Menurut para ahli biologi, sebagian besar habitat kadal berwarna coklat muda berduri berukuran 6,5 sentimeter, yang tersisa telah terfragmentasi, sehingga menghalangi spesies tersebut untuk menemukan pasangan selain yang sudah tinggal di dekatnya.
“Bahkan jika tidak ada perluasan lebih lanjut dari industri pertambangan minyak dan gas atau pasir, jejak yang ada dari operasi ini akan terus memberikan dampak negatif terhadap kadal bukit pasir di masa depan,” kata badan tersebut dalam keputusan akhirnya, yang diterbitkan di Daftar Federal.
Keputusan tersebut mengakhiri perselisihan hukum dan peraturan selama dua dekade antara pemerintah AS, aktivis lingkungan hidup, dan industri minyak dan gas (migas). Para pemerhati lingkungan menyambut baik langkah tersebut, sedangkan para pemimpin industri mengecam tindakan tersebut sebagai ancaman terhadap produksi bahan bakar fosil di masa depan.
Keputusan ini memberikan “nyawa untuk bertahan hidup” bagi spesies unik yang “satu-satunya kesalahannya adalah menempati habitat yang selama ini ingin dihilangkan oleh industri bahan bakar fosil,” kata Bryan Bird, direktur Pembela Margasatwa Southwest.
“Kadal semak belukar bukit pasir menghabiskan waktu terlalu lama mendekam di kotak Pandora yang penuh dengan politik dan administrasi, bahkan ketika populasinya terjun bebas menuju kepunahan,” kata Bird dalam sebuah pernyataan.
Asosiasi Minyak Cekungan Permian (Permian Basin Petroleum Association/PEPA) dan Asosiasi Minyak dan Gas New Mexico (New Mexico Oil & Gas Association/NMOGA) menyatakan kekecewaannya. Kedua asoasiai itu mengatakan bahwa penetapan itu tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan yang tersedia dan mengabaikan upaya konservasi yang telah lama disponsori negara di lahan seluas ratusan ribu hektar dan komitmen jutaan dolar di kedua negara bagian tersebut.
“Penetapan itu tidak akan memberikan manfaat tambahan bagi spesies dan habitatnya, tetapi dapat merugikan mereka yang tinggal dan bekerja di wilayah tersebut,” Presiden PBPA Ben Shepperd dan Presiden dan CEO NMOGA Missi Currier mengatakan dalam pernyataan bersama.
Shepperd menambahkan bahwa mereka memandang tindakan pemerintah federal itu melampaui batas yang dapat merugikan masyarakat.
Para ilmuwan mengatakan kadal ini hanya ditemukan di Cekungan Permian, wilayah terkecil kedua di antara kadal di Amerika Utara. Reptil ini hidup di bukit pasir dan di antara pohon ek, tempat mereka memakan serangga dan laba-laba, dan bersembunyi di pasir untuk perlindungan dari suhu ekstrem.
Dinas Perikanan dan Margasatwa mengatakan dalam keputusan pada Jumat bahwa perjanjian tersebut “telah memberikan, dan terus memberikan, banyak manfaat konservasi” bagi kadal. Namun “berdasarkan informasi yang kami ulas dalam penilaian kami, kami menyimpulkan bahwa risiko kepunahan bagi kadal bukit pasir tetap tinggi meskipun ada upaya ini."
Antara lain, jaringan jalan akan terus membatasi pergerakan dan memfasilitasi tingkat kematian langsung kadal semak belukar di bukit pasir akibat lalu lintas, tambahnya. Di sisi lain, pembangunan industri “akan terus memberikan dampak buruk terhadap habitat di sekitarnya dan melemahkan struktur formasi bukit pasir. " [ft]
Pejabat: Hujan Lebat di Afghanistan Tengah, 50 Tewas

Seorang pejabat mengatakan, Sabtu (18/5), setidaknya 50 orang tewas menyusul guyuran hujan lebat dan banjir di Afghanistan Tengah.
Mawlawi Abdul Hai Zaeem, kepala departemen informasi untuk Provinsi Ghor tengah, mengatakan kepada Reuters, bahwa belum ada informasi mengenai berapa banyak orang yang terluka akibat hujan lebat yang mulai mengguyur pada Jumat (17/5). Hujan juga memutus banyak jalan utama ke wilayah tersebut.
Zaem menambahkan bahwa 2.000 rumah hancur total; 4.000 rusak sebagian, dan lebih dari 2.000 toko terendam banjir di Kota Feroz-Koh, ibu kota provinsi tersebut
Pekan lalu, banjir bandang yang disebabkan oleh hujan lebat menghancurkan desa-desa di Afghanistan utara, menewaskan 315 orang dan melukai lebih dari 1.600 orang, kata pihak berwenang pada Minggu.
Pada Rabu (15/5), sebuah helikopter yang digunakan oleh angkatan udara Afghanistan jatuh karena "masalah teknis" saat berupaya untuk mengevakuasi jenazah orang-orang yang jatuh ke sungai di provinsi Ghor. Kementerian Pertahanan Afghanistan mengatakan kecelakaan itu menewaskan satu orang dan melukai 12 orang.
Afghanistan rentan terhadap bencana alam dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggapnya sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. [ft/ah]
Korban Tewas Banjir di Brazil Capai 126 Orang; Hujan Deras Berlanjut

Hujan kembali mengguyur negara bagian Rio Grande do Sul pada Jumat (10/5), ketika jumlah korban tewas akibat banjir bersejarah di negara bagian paling selatan Brazil mencapai 126 orang. Menurut otoritas setempat, jumlah korban tewas itu naik dari 113 orang pada hari sebelumnya.
Pertahanan sipil Brazil mengatakan badai dan banjir yang melanda negara bagian itu, yang dihuni sekitar 10,9 juta orang, juga telah menyebabkan hampir 340.000 orang mengungsi, sedangkan 141 orang lainnya masih belum ditemukan.
Hujan deras telah menyebabkan debit air beberapa sungai dan danau di wilayah tersebut mencapai titik tertingginya. Selain itu, banjir menutup jalan-jalan dan mengganggu logistik, sehingga memicu kekurangan barang-barang penting di wilayah tertentu.
Hampir dua juta orang telah terkena dampaknya sejauh ini, kata pertahanan sipil dalam laporan terbaru mereka pada Jumat (10/5) malam.
Dinas ramalan cuaca MetSul mengatakan bahwa sebagian besar kota di Rio Grande do Sul akan mengalami hujan pada Jumat. MetSul menambahkan bahwa ada risiko tinggi terjadinya badai. Mereka harus bertahan hingga Senin, tambah dinas itu dalam sebuah pernyataan.
Negara bagian tersebut berada pada titik pertemuan geografis antara atmosfer tropis dan kutub, yang telah menciptakan pola cuaca dengan periode hujan lebat dan kekeringan lainnya.
Para ilmuwan setempat yakin pola itu semakin intensif akibat perubahan iklim.
Di Canoas, salah satu kota yang terkena dampak paling parah di dekat ibu kota negara bagian Porto Alegre, lebih dari 6.000 orang tinggal di gimnasium milik perguruan tinggi yang diubah menjadi tempat penampungan.
Di Canoas, salah satu kota yang terkena dampak paling parah di dekat ibu kota negara bagian Porto Alegre, lebih dari 6.000 orang tinggal di gimnasium perguruan tinggi yang diubah menjadi tempat berlindung. [ft]
- Associated Press
Petani Polandia Protes Massal Tolak ‘Kesepakatan Hijau’ Uni Eropa

Petani Polandia dan penentang pemerintah Polandia yang pro-Uni Eropa berkumpul di pusat kota Warsawa pada hari Jumat (10/5) untuk memprotes kebijakan iklim Uni Eropa (UE).
Unjuk rasa itu diselenggarakan oleh serikat pekerja yang mewakili kepentingan petani, yang sangat menentang kebijakan iklim UE, dan oleh partai oposisi nasional yang konservatif, Partai Hukum dan Keadilan.
Para pengunjuk rasa, banyak yang membawa bendera putih merah Polandia, berkumpul di Castle Square di pusat bersejarah ibu kota Polandia. Mereka melakukan demonstrasi ke kantor perwakilan UE di Warsawa dan kemudian ke parlemen Polandia.
Para pengunjuk rasa dipersatukan oleh penolakan mereka terhadap Kesepakatan Hijau UE, sebuah rencana yang bertujuan untuk membuat kebijakan pertanian lebih ramah iklim, dan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Polandia Donald Tusk yang pro-UE.
Demonstrasi ini terjadi ketika partai-partai politik Polandia sedang berkampanye menjelang pemilihan Parlemen Eropa.
Partai oposisi sayap kanan Polandia, Partai Hukum dan Keadilan, yang berkuasa dari tahun 2015 hingga akhir tahun lalu, berupaya mendapatkan kembali momentum politik setelah kehilangan kekuasaan tahun lalu. [lt/uh]
Pemukim Rawa Bersejarah Irak: ‘Kami Takut Kehilangan Air’

Di perbatasan Irak dan Iran, terdapat rawa-rawa berusia ribuan tahun, yang bahkan disebutkan dalam alkitab. Ratusan ribu warga tinggal di kawasan ini sebagai peternak kerbau air. Musim panas, di tengah perubahan iklim, kini memunculkan kekhawatiran bagi mereka.
Seiring musim panas yang semakin dekat, pemukim di sekitar rawa bersejarah di Irak seperti Mahdi Hussein, memiliki kekhawatiran yang berulang. Hal pertama yang dia lakukan setiap bangun tidur di pagi hari, adalah mengecek ketinggian air di rawa tersebut.
Turunnya ketinggian akan menjadi pertanda yang tidak bagus bagi kerbau yang telah dia pelihara dari hari ke hari.
Rawa-rawa ini, yang membentang hingga ke perbatasan dengan Iran, disebut-sebut sebagai Taman Eden di dalam Alkitab, dan dinobatkan sebagai situs warisan dunia UNESCO pada 2016.
Hussein mengatakan, pada tahun-tahun sebelumnya, penurunan muka air telah berdampak pada kehilangan ternak dalam jumlah signifikan.
“Lima atau enam tahun yang lalu, ternak kerbau biasa beranak pinak di rawa-rawa dan kami tidak perlu membeli pakan untuk mereka,” kata Hussein kepada Reuters.
“Namun empat tahun yang lalu, rawa-rawa mengering dan kami kehilangan ternak dan kami harus memberi makan dalam jumlah banyak, kami mengalami kekurangan ternak yang sangat banyak karena perpindahan dan keringnya rawa,” tambah dia.
Pakar lahan basah setempat, Jassim al-Asadi mengatakan bahwa perubahan tinggi muka air mengkhawatirkan dan membutuhkan pengelolaan yang berhati-hati.
“Persentase genangan di rawa-rawa ini diperkirakan antara 40 hingga 45 persen. Bisakah kita mempertahankan persentase ini? Bisakah kita mempertahankan tinggi muka air ini? Saya meragukan itu, dan saya khawatir musim panas nanti akan menjadi musim panas yang berbahaya, kecuali ada rencana pasti untuk mengelola sistem pengairan di rawa-rawa ini,” kata dia.
“Maksud saya adalah memastikan jumlah aliran air yang cukup dari sungai Eufrat untuk rawa-rawa ini, begitu juga dari sungai Tigris, melalui pengatur aliran Battira,” tambah al-Asadi.
Selama perang melawan Iran pada 1980-1988, Saddam Husein menuduh para pemukim di sekitar rawa-rawa ini, yakni suku Arab Rawa, sebagai pengkhianat. Dia kemudian mengeringkan rawa itu, yang sebelumnya membentang seluas lebih dari 9.583 kilometer persegi, untuk menyeret keluar para pemberontak.
Banyak pemukim rawa yang melarikan diri, namun setelah kejatuhan Saddam pada 2003, sebagian dari rawa-rawa ini dialiri air kembali dan sekitar 250 ribu warga suku Arab Rawa, pelan-pelan kembali ke kawasan itu.
Kawasan ini telah menjadi rumah bagi Arab Rawa selama ribuan tahun, dan air adalah unsur penting untuk melestarikan jalan hidup mereka. Bagi kebanyakan mereka, hidup di rawa-rawa itu keras dan berputar di sekitar kegiatan mencari ikan serta beternak kerbau.
Bagi warga setempat seperti Bashir Muabar, rencananya untuk menyambut musim panas nanti masih belum pasti.
“Musim panas ini, saya masih belum tahu apakah akan tinggal di sini atau tidak, hanya Allah yang tahu. Saya memeriksa ketinggian air, kalau saya lihat jumlah airnya turun, saya tidak akan tinggal disini,” kata dia.
“Saya akan pergi ke kota dan mengambil air, dan bekerja di peternakan di pusat kota lalu membeli air, karena tahun lalu, kami dilanda kematian ternak. Kerbau-kerbau ini membutuhkan air, tetapi tidak ada ketika itu. Kalau mereka minum air yang asin, mereka akan mati, begitu juga dengan ikan-ikan di rawa. Kami lebih khawatir tahun ini. Kami menjadi sangat takut kekurangan air,” tandas dia. [ns/uh/jm]
Forum