Isu Iklim
BMKG Pastikan Cuaca Panas yang Melanda Indonesia Bukan “Heatwave”

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan cuaca panas yang melanda Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir bukan gelombang panas atau "heatwave". Meski begitu, aktivis lingkungan memperingatkan bahwa fenomena ini menunjukkan krisis iklim yang sudah semakin memburuk.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa cuaca panas yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah gelombang panas atau heatwave.
Ia menjelaskan bahwa secara karakteristik dan berdasarkan indikator statistik pengamatan suhu yang ada, fenomena cuaca panas tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai gelombang panas.
“Yang terjadi adalah kondisi cuaca dengan suhu yang relatif tinggi (panas terik). Siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun, sehingga potensi suhu panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya,” ungkap Dwikorita kepada VOA.
BMKG, katanya, mencatat peningkatan suhu yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air, di antaranya adalah Jayapura di Papua (35.6 derajat celcius); Surabaya di Jawa Timur (35.4 derajat celcius); Palangkaraya di Kalimantan Tengah (35,3 derajat celcius); Pekanbaru-Melawi di Kalimantan Barat; Sabang di Aceh; dan DKI Jakarta (34.4 derajat celcius).
Dalam kesempatan ini, Dwikorita menuturkan peningkatan suhu yang terjadi di Indonesia ini tidak sama dengan yang terjadi di beberapa negara lain seperti Myanmar, Thailand, India, Bangladesh, Nepal dan China.
Dwikorawati menambahkan berdasarkan laporan rekapitulasi temperatur lembaga Global Deterministic Prediction Sistem, Environment, and Climate Change Canada beberapa hari terakhir, suhu udara di beberapa negara tersebut mencapai titik maksimal 41,9 Celsius – 44,6 Celsius.
Menurutnya, cuaca panas yang terjadi di Tanah Air ini diprediksi masih akan terjadi sampai dengan akhir musim kemarau, yaitu Oktober dengan periode puncak musim kemarau yang diproyeksikan terjadi di Agustus hingga September.
“Faktor alam yang menjadi penyebab kondisi ini di antaranya adalah karena posisi semu matahari dan minimnya tutupan awan,” katanya.
Krisis Iklim Semakin Parah
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, mengatakan pihaknya belum bisa mengatakan bahwa Indonesia saat ini dilanda heatwave. Namun menurutnya yang terjadi pada saat ini merupakan sebuah anomali cuaca yaitu pada siang hari, masyarakat merasakan panas yang sangat terik, sedangkan pada sore hari hujan turun sangat deras.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa krisis iklim sudah semakin memburuk dari waktu ke waktu, yang ditandai dengan prediksi cuaca saat ini seringkali meleset atau tidak tepat. Ia mencontohkan pada April tahun ini yang seharusnya musim hujan sudah berakhir, tetapi hujan masih tetap mengguyur cukup deras.
“Biasanya kalau dulu kita bisa memprediksi musim hujan itu konstan, misalnya, September-Maret kita akan merasakan hujan. Habis itu April sampai September akan merasakan panas, dan suhu panas biasanya di bulan Juli-Agustus, titik puncaknya. Tetapi kalau sekarang kita di April sudah merasakan panas yang luar biasa, sementara seharusnya masih masuk masa peralihan dari musim hujan ke musim panas,” jelasnya.
Lebih jauh, Hadi mengatakan memburuknya krisis iklim tersebut menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memerangi masalah tersebut. Hal ini katanya terlihat dari beberapa regulasi pemerintah yang masih saja menggunakan energi kotor seperti energi fosil dalam mayoritas penggunaannya di dalam negeri.
Terkait transisi energi, pemerintah malah menurunkan target untuk bauran energi terbarukan menjadi 17 persen pada 2025 dari sebelumnya di level 23 persen. Bahkan, kata Hadi, jika dilihat dari 5-7 tahun terakhir peningkatan bauran energi terbarukan tidak pernah naik secara signifikan. Ia mencontohkan, pada periode 2022-2023 bauran energi terbarukan ini malah turun dari 12,5 persen menjadi 11,4 persen.
Selain itu, di dalam RUPTL 2021-2030, Pemerintah masih berencana untuk membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebesar 13,8 gigawatt (GW).
“Jadi upaya untuk mitigasi krisis iklim itu seperti tidak pernah sejalan dengan langkah implementasinya yang dijalankan pemerintah. Malah mereka mengeluarkan BLT EL Nino, ya tapi itu untuk apa kalau misalnya kita dikasih uang terus, tetapi tanpa ada langkah nyata. Ini seperti istilahnya hanya bakar uang saja untuk menyelesaikan masalah yang bukan root cause-nya, bukan akar masalahnya,” jelasnya.
Pemerintah, kata Hadi harus benar-benar memperhatikan masalah tersebut. Dampak krisis iklim sudah nyata terjadi pada saat ini seperti terjadinya bencana hidrometeorologis, dan kenaikan muka air laut yang mana wilayah pesisir di utara Jawa sudah mulai merasakan dampaknya.
“Jadi kalau ada scientist (ilmuwan-red) yang bilang Jakarta mungkin 50 persen akan tenggelam di tahun 2030-2050. Sebenarnya ini sudah di depan mata bukan prediksi di 2030-2050 lagi, tapi sekarang sebenarnya sudah tenggelam di beberapa titik di Jakarta Utara,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Fanny Tri Jambore mengatakan sebenarnya secara global, 2023 sudah dinyatakan sebagai tahun terpanas bumi. Namun menurutnya untuk di Indonesia sendiri, 2016 masih tercatat sebagai tahun terpanasnya.
Meski begitu, Fanny mengungkapkan bahwa semua negara harus ikut andil dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca agar krisis iklim tidak semakin memburuk dari waktu ke waktu.
Senada dengan Hadi, Fanny melihat bahwa pemerintah Indonesia belum serius berupaya dalam menyelesaikan permasalahan ini. Apalagi, pada 2023, Indonesia berada pada urutan ke-9 di dalam daftar negara penghasil emisi gas rumah kaca.
“Akar masalah yang kemudian belum dengan serius diselesaikan oleh pemerintah. Kita masih menggunakan berbagai bahan bakar fosil, kita masih mengekstraksi bahan bakar fosil. Bahkan di 2023 kemarin Indonesia masuk ke dalam daftar negara penghasil emisi nomor 9 di seluruh dunia,” ungkap Fanny.
Jika hal ini terus dibiarkan, katanya bisa mengancam kestabilan pangan nasional. Dengan cuaca yang tidak bisa diprediksi dengan tepat maka akan mengakibatkan gagal panen.
“Ketidakstabilan pangan itu akan mengakibatkan krisis dan bisa mengakibatkan konflik, Jadi efek dari pemanasan global dan perubahan iklim bukan hanya sekedar cuaca di sekitar kita, tetapi merembet ke semua sendi-sendi kehidupan kita,” pungkasnya. [gi/ft]
- Henry Ridgwell
Perubahan Iklim akan Kurangi Pendapatan Dunia Hingga 20%

Pendapatan rata-rata penduduk di seluruh dunia akan turun seperlimanya karena perubahan iklim pada pertengahan abad ini, menurut laporan baru dari Postdam Institute for Climate Impact Research.
Di Filipina minggu ini sekolah ditutup dan para siswa dan guru diperintahkan untuk tinggal di rumah di tengah-tengah suhu naik mendekati 40 derajat Celsius.
Sementara banyak bagian dunia didera cuaca ekstrem, sebuah penelitian baru memperingatkan bahwa dampak global dari perubahan iklim akan menelan biaya $38 triliun pada 2050.
Itu berarti pengurangan pada pendapatan rata-rata dunia sebesar 19 persen. Penyusun laporan itu Maxmilian Kotz mengatakan, “Temuan kami adalah dalam 25 sampai 30 tahun ke depan, dampak pada ekonomi konsisten lintas berbagai skenario emisi, terlepas apakah emisi yang kita masuki tinggi atau rendah.”
Perubahan iklim khususnya suhu tinggi terbukti berdampak pada produktivitas pekerja, kata Kotz.
“Dan itu kemudian akan dimanifestasikan lintas industri-industri yang berbeda, meskipun khususnya dampaknya kuat kalau pekerja bekerja di udara terbuka, jadi dalam konteks seperti sektor produksi. Kemudian kita juga tahu dampak pada produktivitas pertanian sangat kuat, juga akibat suhu tinggi,” jelasnya.
Penelitian ini meninjau data iklim dan ekonomi dari empat puluh tahun terakhir meliputi lebih dari 1.600 kawasan di dunia dan digunakan untuk menilai dampak masa depan. Ironisnya, kawasan yang paling sedikit mengakibatkan emisi global kemungkinan akan terpukul paling buruk.
“Kawasan di Global Selatan adalah yang paling rentan dan paling kuat terdampak oleh perubahan iklim pada masa depan. Dan alasan bagi hal itu adalah kawasan-kawasan ini sudah panas,” imbuh Kotz.
Laporan ini menyimpulkan bahwa mengatasi perubahan iklim akan jauh lebih murah dibandingkan dengan menanggapi kerusakan ekonominya. Katanya biaya mengurangi emisi gas rumah kaca hanya seperenam dari dampak perubahan iklim pada 2050 sebesar $38 triliun. [jm/ka]
- Julie Taboh
NASA dan SpaceX Bekerja Sama Pelajari Lingkungan Bumi

NASA dan SpaceX bekerja sama untuk mempelajari kesehatan Bumi dengan cara yang belum pernah dilakukan.
Roket SpaceX, Falcon 9, baru saja lepas landas dari Cape Canaveral, Florida. Di punggungnya terdapat satelit pengamatan Bumi terbaru NASA yang disebut “PACE.” Itu adalah singkatan dari Plankton, Aerosol, Cloud, ocean Ecosystem.
Mempelajari udara dan air menjadi misi satelit tersebut, sesuatu yang belum pernah dilakukan.
Jeremy Werdell, ilmuwan Proyek PACE di Goddard Space Flight Center (GSFC) NASA di Greenbelt, Maryland, berbicara dengan VOA melalui Zoom. “Misi NASA PACE adalah investasi besar NASA berikutnya dalam studi gabungan tentang laut dan langit kita,” jelasnya.
Werdell menambahkan bahwa penelitian itu “dirancang khusus untuk mencari alam semesta mikroskopis, yang seringkali tidak tampak, yang memanifestasikan diri di atmosfer sebagai aerosol atmosfer. Wujudnya, kata Werdell, adalah partikel seperti serbuk sari, semprotan air laut, polusi, atau abu vulkanik.”
Penelitian juga dilakukan di samudra. Tujuannya, melacak fitoplankton, organisme kecil yang menurut tim ilmuwan itu, menghasilkan sekitar 50 persen oksigen yang kita hirup.
“Dengan PACE kita bisa terjun ke komunitas. Seperti apa komunitas fitoplankton yang ada di sana, semua jenis fitoplankton yang bermanfaat, dan bagaimana mereka berubah dalam ruang dan waktu, sekaligus juga distribusi fitoplankton yang berbahaya,” imbuhnya.
Pengamatan PACE akan membantu tim ilmuwan membentuk pemahaman yang lebih mendalam mengenai dampak perubahan iklim terhadap planet bumi dan memandu pengambilan kebijakan untuk membantu memitigasi dampak negatifnya.
PACE juga diharapkan bisa membantu memajukan perkembangan teknologi baru. “Berbagai instrumen yang tersedia di observatorium tersebut begitu revolusioner sehingga ada banyak sekali penemuan yang bisa diwujudkan. Volumenya, dan kekayaan konten informasinya juga bisa membantu sains kita menciptakan kebangkitan dalam cara data dikelola dalam komunitas sains, pembelajaran mesin, dan kecerdasan buatan,” komentarnya.
PACE dirancang untuk bertahan di antariksa selama tiga tahun. Tetapi tim ilmuwan berharap PACE mampu bertahan setidaknya satu dekade untuk membantu kita memantau planet tempat tinggal kita. [ka/lt]
Dampak Perubahan Iklim terhadap Penangkapan Tiram
Tiram yang banyak dikonsumsi di AS diperoleh di berbagai wilayah pesisir, dari Pantai Barat hingga Pantai Timur, dan juga di sekitar Teluk Meksiko di bagian tenggara. Tapi salah satu pusat penangkapan tiram belakangan berkurang tajam hasil tangkapannya, dan faktor cuaca dan iklim berada di baliknya.
- Lisa Schlein
Miliaran Pekerja Terpapar Bahaya Kesehatan akibat Perubahan Iklim

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melaporkan 70 persen lebih pekerja di seluruh dunia atau 2,4 miliar lebih pekerja dari jumlah tenaga kerja global sebanyak 3,4 miliar, terpapar panas yang berlebihan dan bahaya kesehatan terkait perubahan iklim lainnya.
Laporan ILO baru yang dikeluarkan Senin (24/4) memperingatkan keselamatan kerja dan perlindungan kesehatan yang ada, dan kesulitan untuk mengimbangi risikonya. Laporan itumenyerukan kepada pemerintah-pemerintah di dunia agar memberlakukan kebijakan untuk melindungi pekerja dari "campuran" bahaya kesehatan yang serius karena perubahan iklim.
“Pekerja sering dilupakan ketika kita berbicara tentang perubahan iklim dan dampak kesehatan yang sangat parah mulai dari kematian hingga jutaan orang sakit karena bahaya yang diperburuk oleh perubahan iklim, di samping jutaan yang juga menderita penyakit kronis,” kata Manal Azzi, Spesialis Senior ILO tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Dia mengatakan kepada wartawan di Jenewa bahwa banyak kondisi kesehatan berbahaya pada pekerja dikaitkan dengan perubahan iklim, termasuk penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan, gagal ginjal, dan kondisi kesehatan mental “seperti depresi, kecemasan, dan masalah lain yang terkait dengan paparan yang mereka hadapi."
Laporan ini berfokus pada beberapa bahaya berdasarkan keparahan dan prevalensinya secara global dan lintas daerah. Laporan ini mengevaluasi dampak pada pekerja dari bahaya yang dipicu iklim seperti panas yang berlebihan, radiasi sinar matahari, polusi udara dan peristiwa cuaca ekstrem, termasuk banjir, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan.
"Antara tahun 2000 dan 2020, ada peningkatan 34,7 persen dalam jumlah pekerja yang terpapar panas berlebihan," kata Azzi. “Ini berdampak merugikan pada kesehatan pekerja, belum lagi pada sistem kesehatan secara keseluruhan.”
Dia mencatat bahwa 22 juta pekerja menderita penyakit dan cedera terkait paparan panas berlebihan dan 26 juta orang hidup dengan penyakit kronis yang disebabkan oleh lamanya terpapar panas yang berlebihan.
"Hampir 20.000 pekerja meninggal setiap tahun karena cedera di tempat kerja terkait dengan kenaikan suhu dan ... lebih dari dua juta mengalami disabilitas akibat panas," kata Azizi. Ia mengatakan jumlah kematian yang dilaporkan mungkin di bawah angka sesungguhnya.
Menurut laporan itu, 1,6 miliar pekerja terpapar radiasi sinar matahari, dengan hampir 19.000 kematian tahunan terkait pekerjaan akibat kanker kulit nonmelanoma. Laporan itu juga mengatakan 1,6 miliar pekerja juga terpapar polusi udara di tempat kerja, menyebabkan hingga 860.000 kematian terkait pekerjaan di antara pekerja luar ruangan setiap tahun.
Laporan ini menemukan lebih dari 870 juta pekerja pertanian “cenderung terpapar pestisida, dengan lebih dari 300.000 kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida setiap tahun.”
Data baru menunjukkan bahwa 15.000 orang meninggal setiap tahun karena paparan penyakit parasit dan vektor yang ditularkan ke tempat kerja.
"Ini termasuk banyak penyakit seperti demam berdarah, rabies, dan berbagai penyakit yang meningkat di daerah di mana kita tidak pernah melihatnya sebelumnya," kata Azzi.
“Malaria meningkat, dan terjadi di negara -negara di mana belum pernah terjadi sebelumnya karena meningkatnya suhu, kelembaban, variasi dalam pola curah hujan dan hal itu berdampak pada prevalensi penyakit yang kita hadapi ini,” katanya.
ILO mengatakan undang -undang dan peraturan mengenai pekerjaan, keselamatan, dan kesehatan (Occupation, Safety and Health/OSH) harus diperbarui untuk mempertimbangkan meningkatnya bahaya kesehatan yang terkait dengan perubahan iklim. Sementara itu, para pejabat ILO mengatakan banyak tindakan yang masuk akal seharusnya bisa dan harus diambil untuk melindungi kesejahteraan dan kehidupan pekerja.
"Jelas, langkah -langkah kunci dan dasar - ini bukan ilmu rumit untuk tempat kerja dan terutama untuk panas yaitu hidrasi dan terkait suhu, membatasi waktu kerja dan mengambil istirahat yang lama," kata Azzi.
“Ada negara -negara yang bersuhu tingkat tinggi yang yang pekerjanya sudah berhenti bekerja antara pukul 10:00 pagi dan 3:00 sore pada hari kerja tertentu. Kita memiliki langkah-langkah, misalnya, untuk membatasi pestisida dan kita tahu bahwa dampak pestisida terakumulasi ketika disemprotkan pada saat-saat terpanas pada hari itu. Maka mereka membatasimua dengan melakukan penyemprotan ke malam yang dingin atau dini hari,” katanya.
Balint Nafradi, pejabat teknis ILO tentang OSH mengatakan data menemukan wilayah-wilayah yang menjadi perhatian terbesar yang menjadi daerah baru di mana panas sebelumnya tidak pernah menjadi masalah besar tetapi kemudian menjadi masalah karena perubahan iklim.
“Ketika menyangkut panas, yaitu di Eropa utara dan Eropa tengah. Ketika menyangkut gelombang panas, di Amerika Selatan, dan untuk radiasi sinar matahari, itu sebagian besar terjadi di Australia dan Afrika,” katanya.
Kepala Divisi OSH ILO, Manal Azzi mengatakan, “Pesan utama yang ingin kita sampaikan sekarang adalah bahaya-bahaya ini semuanya saling terkait, jadi kita tidak bisa berurusan dengan salah satu bahaya dan melupakan yang lainnya. Kita perlu memiliki alat yang tepat untuk mengkaji dan mengukur apa solusi terbaik untuk tempat yang berbeda.”
Dia mengamati bahwa perundingan bersama sangat penting dalam memastikan hak -hak pekerja dalam menghadapi, mencegah, dan melindungi mereka dari bahaya-bahaya di tempat kerja di masa lalu.
"Tapi kita sekarang harus bergerak dan meningkatkannya secara global karena paparan dan skala dampak (bahaya terkait iklim) sepenuhnya baru. [my/lt]
- Rio Tuasikal
Terumbu Karang Florida Semakin Tertekan Perubahan Iklim
Sebagai salah satu terumbu karang terbesar di dunia, gugusan terumbu karang Florida Keys di Amerika Serikat memiliki peran penting dalam keragaman biota laut. Namun menghangatnya suhu laut membuat ekosistem unik ini semakin rusak.
Dampak Perang terhadap Perubahan Iklim
Perang punya dampak lingkungan jangka panjang, menurut peneliti sejumlah negara yang mengkalkulasi emisi rumah kaca dan penggunaan bahan bakar dalam aktivitas militer. Komunitas internasional didesak untuk membuat aturan yang lebih rinci menanggapi dampak perang terhadap perubahan iklim.
Forum