Presiden Donald Trump kepada para wartawan mengatakan bahwa ia tidak memiliki jaminan bahwa gencatan senjata antara Israel-Hamas di Gaza akan bertahan, sehari sebelum ia akan bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
“Saya tidak memiliki jaminan bahwa gencatan senjata akan bertahan. Saya menyaksikan orang-orang disiksa secara brutal. Saya tidak pernah menyaksikan hal seperti itu sebelumnya. Saya tidak punya jaminan bahwa gencatan senjata akan bertahan,” kata Trump.
Kedua pemimpin bertemu pada hari Selasa saat perdana menteri Israel menghadapi tekanan dari saingan koalisi sayap kanannya untuk mengakhiri gencatan senjata sementara dengan militan Hamas di Gaza. Tekanan lainnya adalah dari warga Israel yang lelah berperang yang menginginkan pemulangan para sandera yang masih ada dan diakhirinya konflik yang telah berlangsung selama 15 bulan ini.
Sementara Netanyahu bertemu dengan Presiden Donald Trump dan utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff di Gedung Putih para demonstran Israel, Selasa berkumpul di luar konsulat AS di Tel Aviv untuk menuntut pemulangan para sandera yang masih ditahan di Gaza.
Dalia Cusnir adalah keluarga dari dua warga Israel yang disandera Hamas, ''Saya sangat berharap. Saya tahu bahwa Presiden Trump dan Steve Witkoff ingin membantu kami. Mereka ingin membuat kesepakatan. Mereka ingin melihat semua saudara dan saudari kita bebas dan merdeka. Dan saya tahu bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mulai melakukan hal yang benar dan dia bisa melakukannya.”
Trump sangat berhati-hati mengenai prospek jangka panjang dari gencatan senjata Israel-Hamas, bahkan ketika menerima pujian karena menekan Hamas dan Israel untuk melakukan perjanjian sandera dan gencatan senjata yang mulai berlaku sehari sebelum ia kembali menjabat di Gedung Putih bulan lalu.
Pembicaraan kedua pemimpin ini juga membahas kesepakatan normalisasi hubungan Israel-Arab Saudi yang telah lama diinginkan dan kekhawatiran mengenai program nuklir Iran, namun penyelesaian tahap kedua dari kesepakatan sandera menjadi agenda utama.
Kedatangan Netanyahu di Washington adalah kunjungan pertama pemimpin asing pada masa jabatan kedua Trump. Kunjungan itu terjadi ketika dukungan rakyat terhadap perdana menteri tersebut sedang menurun. Netanyahu sedang memberikan kesaksian selama berminggu-minggu dalam persidangan korupsi yang sedang berlangsung yang berpusat pada tuduhan bahwa ia bertukar bantuan dengan tokoh-tokoh media dan orang-orang kaya. Dia mengecam tuduhan tersebut sebagai mengada-ada.
Ketika Benjamin Netanyahu bertemu dengan Presiden AS Donald Trump pada hari Selasa, perdana menteri Israel ini sebelumnya diperkirakan akan berupaya mengubah hubungan yang terkadang tegang saat masa pemerintahan mantan Presiden Biden.
Namun, Netanyahu juga bisa berada di bawah tekanan dari seorang pemimpin Amerika yang tujuan kebijakannya untuk Timur Tengah mungkin tidak selalu selaras dengan kepentingan Netanyahu.
Pertemuan Trump dan Netanyahu bertepatan dengan dimulainya kembali perundingan tidak langsung pada minggu ini antara Israel dan Hamas pada tahap kedua yang penting dari kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Kedua pemimpin mengadakan konferensi pers dan kemudian makan malam bersama.
Kawasan ini berada pada titik kritis, dengan gencatan senjata Gaza yang rapuh, perjanjian gencatan senjata serupa antara Israel-Hezbollah di Lebanon yang hampir berakhir dalam beberapa minggu ke depan, serta kekhawatiran akan ambisi nuklir Iran yang terus berlanjut meskipun kondisinya telah melemah.
Menambah keresahan regional adalah saran Trump bahwa warga Gaza harus dipindahkan ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania, yang menggemakan keinginan sayap kanan Israel dan bertentangan dengan komitmen Biden yang menentang pemindahan massal warga Palestina.
Negara-negara Arab telah menolak gagasan tersebut.
Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan pada hari Selasa (4/2) menyuarakan penolakan keras negaranya terhadap saran Presiden AS Donald Trump untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza ke negara tetangga, Mesir dan Yordania.
Berbicara dalam konferensi pers bersama dengan mitranya dari Mesir, Badr Abdelatty, Fidan juga menyatakan keprihatinannya mengenai kemungkinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu “memulai kembali perang” di Gaza setelah pembebasan sandera Israel.
“Kami ingin mengumumkan kepada dunia bahwa ide-ide yang diajukan mengenai pengiriman warga Palestina ke pengasingan di Mesir dan Yordania adalah sia-sia, bahwa kami akan menentang mereka sampai akhir dan bahwa kami sepakat dengan Mesir dalam masalah ini,” kata Fidan.
Namun, Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz, ketika ditanya apakah Trump serius, tampak membela presiden, dengan mengatakan bahwa ia melihat Gaza yang hancur akibat perang sebagai “sebuah lokasi untuk dirubuhkan" dan percaya bahwa akan membutuhkan waktu 10-15 tahun untuk membangunnya kembali dan tidak manusiawi untuk memaksa orang tinggal di tanah yang tidak layak huni.
“Saya pikir kita dan banyak orang, melihat rentang waktu yang sangat tidak realistis. Kita berbicara tentang 10-15 tahun,” ujar Waltz.
Pejabat tersebut kepada wartawan pada hari Selasa, mengatakan tidak akan memaksakan sebuah resolusi tetapi menginginkan mitra Arab dan Israel untuk membantu menyusun “solusi kreatif” untuk tantangan tersebut. [my/ab/lt]
Forum