Taipei pada Selasa (10/12) mengatakan bahwa China mengerahkan puluhan kapal dalam aksi maritim terbesar di sekitar Taiwan dalam beberapa tahun terakhir, menyusul kemarahan Beijing atas kunjungan Presiden Lai Ching-te ke Amerika Serikat.
Pasukan Taiwan berada dalam kondisi bersiaga tingkat tinggi untuk menghadapi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Beijing yang menggelar latihan perang sebagai respons atas lawatan Lai di Amerika Serikat dan berbicara melalui telepon dengan Ketua DPR dari Partai Republik, Mike Johnson.
Kementerian Pertahanan Taiwan menyatakan bahwa jumlah kapal China di perairan sekitar pulau itu melebihi pengerahan pasukan Beijing saat Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi saat itu berkunjung ke Taipei pada 2022. Hal tersebut menjadikan latihan perang kali ini terbesar yang pernah dilakukan.
Dalam serangkaian latihan itu, Beijing memobilisasi rudal balistik, jet tempur, dan kapal yang menurut analis sebagai simulasi blokade dan invasi terakhir ke Taiwan, yang juga mencerminkan sejauh mana kemajuan militer China sejak krisis Selat Taiwan pada pertengahan 1990-an.
Hampir 90 kapal Angkatan Laut dan Garda Pantai China saat ini berada di perairan sepanjang rantai pulau yang menghubungkan Okinawa, Taiwan, dan Filipina, kata seorang pejabat keamanan senior Taiwan kepada AFP.
Kementerian Pertahanan Taiwan sebelumnya mengatakan bahwa mereka juga mendeteksi kehadiran 47 pesawat China di dekat pulau itu dalam 24 jam hingga pukul 06.00 waktu setempat.
Angka tersebut adalah jumlah pesawat tertinggi yang terdeteksi dalam satu hari sejak rekor 153 pesawat pada 15 Oktober. Rekor itu tercatat setelah China menggelar latihan militer besar-besaran sebagai respons terhadap pidato Hari Nasional Lai beberapa hari sebelumnya.
"Memang dapat dikatakan bahwa skala kekuatan maritim ini melampaui empat latihan sejak 2022," kata juru bicara kementerian pertahanan Sun Li-fang kepada wartawan.
Sun mengatakan Beijing mengerahkan pasukan dari tiga komando regional China yang berbeda pada latihan kali ini.
PLA atau media pemerintah China tidak memberikan informasi terkait peningkatan aktivitas militer di Laut China Timur, Selat Taiwan, atau Laut China Selatan tersebut.
Namun, juru bicara Kementerian Luar Negeri Beijing mengatakan pada Selasa (10/12) bahwa China akan "dengan tegas mempertahankan" kedaulatannya.
Tidak adanya pengumuman dari Beijing merupakan hal yang tidak biasa dan, jika latihan sedang berlangsung, bisa jadi merupakan "strategi yang disengaja untuk menabur kebingungan dan memberikan tekanan psikologis," kata Duan Dang, analis keamanan maritim yang berbasis di Vietnam.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin mengatakan pada Senin (9/12) bahwa China adalah "satu-satunya negara di dunia yang memiliki niat dan, kemampuan untuk mengubah tatanan internasional berbasis aturan."
"Kami ingin melihat kawasan ini, area ini tetap terbuka untuk kebebasan navigasi dan kemampuan untuk terbang di langit dan jalur udara internasional kapan pun kami mau," kata Austin dalam pidatonya di atas USS George Washington, sebuah kapal induk yang ditempatkan di Jepang.
"Kami akan terus bekerja dengan sekutu dan mitra kami untuk memastikan bahwa kami dapat melakukan hal itu,” tukasnya.
Washington adalah pendukung utama dan pemasok senjata terbesar Taiwan, tetapi tetap mempertahankan "ambiguitas strategis" terkait pengiriman pasukan darat untuk mempertahankan pulau tersebut.
Perselisihan antara Taiwan dan China bermula pada 1949, ketika pasukan nasionalis Chiang Kai-shek dikalahkan oleh pejuang komunis Mao Zedong dan melarikan diri ke pulau tersebut. [ah/rs]
Forum