Tautan-tautan Akses

Saat Kongo Bergelut dengan Ebola, Guinea Jaga Kewaspadaannya


ARSIP – Sebuah papan iklan mendesak tindakan pencegahan untuk menanggulangi penyebaran Ebola yang terpampang di sebuah pasar di ibukota Guinea, Conakry, 3 Desember 2014 (foto: Dominic Chavez/Bank Dunia)
ARSIP – Sebuah papan iklan mendesak tindakan pencegahan untuk menanggulangi penyebaran Ebola yang terpampang di sebuah pasar di ibukota Guinea, Conakry, 3 Desember 2014 (foto: Dominic Chavez/Bank Dunia)

Saat hujan di pagi hari baru saja reda, Gourma Mamadou berbelanja di ibukota yang padat, pasar terbuka Kaloum. Anak muda itu mengatakan ia sadar sepenuhnya terkiat wabah Ebola yang tengah bergejolak sekitar 4.000 kilometer di tenggara Republik Demokratik Kongo, dimana World Health Organization (WHO) melaporkan wabah itu telah merenggut 28 jiwa sejak bulan April.

Wabah itu mungkin terjadi di tempat yang jauh, namun kekhawatiran terkait Ebola juga muncul di daerah setempat.

Madamou mengatakan sebagian besar warga Guinea yang ia tahu tidak menyebutkan Ebola, seolah-olah dengan menyebutkan kata itu akan menimbulkan musibah yang mengerikan. Virus itu melanda Guinea, Liberia, dan Sierra Leone dari tahun 2014 hingga 2016, yang merenggut 11.000 korban jiwa, termasuk 2.500 orang di negara ini.

Masyarakat “mengamati dengan seksama,” ujar pria ini, yang mengatakan berbagai tindakan pencegahan seperti mencuci tangan dan tindakan lainnya menjadi semakin sering dilakukan dengan adanya wabah Ebola. “Kadang-kadang sulit sekali. Penyakit ini begitu mewabah, namun karena sekarang penyakit ini telah berhasil diatasi, kami tidak menginginkan penyakit itu timbul kembali di Guinea.”

Ada sisi baiknya juga dengan terpaparnya Guinea pada virus tersebut: mereka mendapatkan lebih banyak informasi. Saat-saat terakhir tersebarnya wabah penyakit di Afrika Barat, hampir 6.000 orang divaksinasi dengan vaksin eksperimental, V920. Laporan yang diterbitkan pada bulan Desember 2016 di jurnal kedokteran The Lancet mengatakan vaksinasi memperkuat temuan internal bahwa vaksin tersebut “menawarkan perlindungan substansial.”

Vaksin yang sama, yang belum dilisensikan di negara manapun, saat ini digunakan di bagian barat laut Republik Demokratik Kongo. Perusahaan farmasi Merck mengirimkan kurang lebih 8.600 dosis ke provinsi Equateur.

Dr. Sakoba Keita, yang mengawasi tindakan penanggulangan Guinea terhadap wabah Ebola dan memberi arahan kepada National Health Security Center di negara itu, memuji vaksin tersebut.

“Untuk kami, vaksin tersebut sangat efektif,” ujarnya, dengan mengatakan vaksin tersebut berhasil melindungi 95 persen dari mereka yang divaksinasi dan “sangat membantu untuk menghentikan rantai penularan virus Ebola di Guinea. Ini alasannya mengapa vaksin tersebut berada di garda depan dari mekanisme tindakan penanggulanan kami.”

Keita, yang lebih dikenal sebagai “Dr. Ebola,” memimpin usaha Guinea untuk mencegah munculnya kembali penyakit itu. Ia menyatakan negeri berpenduduk 13 juta orang tersebut mendapat pelajaran berat dari pengalamannya menghadapi wabah Ebola.

Sama seperti negara-negara tetangganya, Liberia dan Sierra Leone, Guinea belum memiliki banya pengalaman dengan virus mematikan itu. Wabah penyakit tersebut, yang terlacak pada seorang anak lelaki yang terinfeksi oleh kelelawar di hutan Guinea di bulan Desember 2013, tidak teridentifikasi hingga bulan Maret 2014.

Saat itu, seperti juga sekarang, masyarakat internasional juga membantu. World Health Organization (WHO) bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk mengkoordinasikan tindakan penanggulangan. Kelompok-kelompok bantuan seperti Medecins Sans Frontieres (Doktor Tanpa Batas) menyediakan tim-tim media untuk mendukung para pekerja kesehatan lokal dala mengobati para pasien.

Amerika Serikat adalah satu dari beberapa pemerintah asing yang bergabung dengan upaya tersebut untuk menghentikan penyakit ini, mengirimkan para pekerja kesehatan, para peneliti dan bantuan untuk membantu kampanye kesadaran publik, melacak penyakit dan mengobati pasien.

Republik Demokratik Kongo adalah negara yang paling berpengalaman dalam menanggulangi penyakit tersebut, yang awalnya muncul pada tahun 1976 di kawasan dekat Sungai Ebola. Saat Ebola muncul di Guinea, Republik Demokratik Kongo mengirimkan para pakarnya ke sana.

Jadi, saat wabah Ebola ke-sembilan muncul di Republik Demokratik Kongo beberapa bulan yang lalu, Guinea – atas permintaan WHO – mengirimkan tenaga medisnya ke sana sebagai bentuk solidaritas.

Dengan mempertimbangkan munculnya wabah Ebola secara berulang di Republik Demokratik Kongo, Keita mengatakan penting untuk tetap waspada seandainya Ebola muncul kembali di negara itu.

Keita menyatakan Guinea sekarang lebih siap dibandingkan sebelumnya sebelum munculnya wabah Ebola. Para pekerja kesehatan telah belajar untuk mengenali penyakit tersebut dan gejala-gejalanya. Selain itu masyarakat sekarang juga lebih sadar. Dan RS Donka di Conakry – fasilitas kesehatan terbesar di negara itu, dimana MSF mengoperasikan pusat pengobatan Ebola – saat ini semakin diperluas untuk dapat memenuhi kebutuhan yang ada.

“Saat kami belajar berbagai hal baru tentang penyakit itu,” ujar Keita, “kami bersiap sehingga kami akan siap untuk menanggulanginya dengan cepat apabila kami harus menghadapi wabah yang baru.” [ww]

XS
SM
MD
LG