Ada langkah hukum yang kurang tepat, yang telah diambil pemerintah dalam penanganan pandemi virus corona. Hingga saat ini, pemerintah tidak membuat payung hukum utama yang melindungi semua kebijakan terkait pandemi di berbagai sektor.
Pendapat itu disampaikan ahli hukum tata negara, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar. Dia menyampaikannya dalam diskusi daring "PSBB, Policy Setengah Basa-Basi?". Diskusi ini diselenggarakan FH UGM, Rabu (20/5) malam dan mendapat respon sangat besar dari warganet. Ada lebih dari 11.500 penonton siaran langsung di kanal YouTube resmi FH UGM. Mereka juga beradu pendapat sepanjang diskusi, yang terbelah antara pembela dan pengkritik pemerintah.
Zainal menyebut, salah satu bentuk ketiadaan payung itu berdampak pada pilihan kebijakan pemerintah. Pandemi virus corona adalah kondisi darurat kesehatan, tetapi Perppu No 1 tahun 2020 yang dikeluarkan untuk meresponnya, justru bicara tentang ekonomi.
“Yang dilakukan adalah tiba-tiba mengatakan darurat kesehatan dan kemudian mengeluarkan Perppu 1 2020, itu malah soal ekonomi. Lebih banyak soal ekonomi, penanganan Covid-19 dalam kaitannya dengan kesehatan perbankan dan lain-lainnya. Lalu kemudian tidak ada lagi, yang ada kemudian Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan karantina kesehatan. Harusnya ada satu dulu payung besar, bicara soal keadaan bahaya,” kata Zainal.
Zainal menjelaskan, dampak tidak adanya payung hukum utama dalam penanganan pandemi adalah kurangnya koordinasi. Saat ini, pandemi sudah masuk kriteria keadaan bahaya. Namun penanganannya masih didasarkan pada acuan hukum yang membingungkan. Presiden mengeluarkan Perppu, kemudian aturan pelaksanaan di bawahnya disusun masing-masing menteri. Setiap menteri hanya mengatur sesuai wilayah kewenangannya, dan mengakibatkan kebijakannya berbeda-beda di setiap sektor.
Apa yang terjadi saat ini menjadi buah dari kurang tanggapnya pemerintah mengambil langkah. Karena konsentrasi di bidang ekonomi, masyarakat sering menyalahartikan langkah Presiden Jokowi yang terlalu berpihak pada sektor itu. Muncul pula wacana pertentangan antara ekonomi dan kesehatan, yang sebenarnya tidak perlu apabila pemerintah memiliki payung hukum besar.
Tidak adanya payung hukum utama yang menyeluruh itu juga berdampak bagi pemerintah sendiri. Hingga saat ini, tidak ada pedoman hukum yang melindungi secara keseluruhan tindakan-tindakan yang diambil pemerintah yang berpotensi melanggar hak asasi. Zainal memberi contoh, beribadah di tempat ibadah setiap agama dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Jika pemerintah ingin melakukan pembatasan aktivitas itu, setidaknya harus diatur melalui undang-undang.
Pemerintah juga memerlukan landasan hukum lebih pasti jika ingin mengambil langkah lebih tegas, misalnya untuk mengatasi konflik sosial di masa pandemi. Undang-Undang ini bisa dibuat secara cepat dengan persetujuan DPR, dengan menggunakan alasan kondisi darurat.
Karena tidak adanya payung hukum itu, tindakan yang diambil daerah dalam pelaksanaan PSBB juga berbeda-beda. Zainal memberi contoh, ada daerah yang menggunakan kendaraan pemadam kebakaran dan menyiram toko-toko yang buka. Di daerah lain, tindakan yang diambil aparat penegak hukum bisa berbeda.
“Saya setuju pelarangan beribadah di tempat ibadah, saya setuju larangan membuka toko sementara waktu. Tetapi caranya memberi sanksi tidak bisa kita biarkan masing-masing daerah mau melakukan dengan cara apa. Mau dipukulkah, ditangkapikah, sanksi administrasikah, atau mau disiramkan air? Tidak bisa berbeda-beda begitu, seharusnya ada payung besarnya,” lanjut Zainal.
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti mengkritisi komunikasi pemerintah yang tidak jelas.
“Tidak ada komando yang jelas begitu, komando yang jelas itu maksud saya "komunikasi politik”nya ini . Yang, itu tadi, ini sebenarnya pemerintah mau begini atau begitu, begini atau begitu. Jadi ada kebingungan, kepanikan, dan kekacauan,” kata Bivitri.
Bivitri memberi contoh ketidakjelasan itu misalnya mengenai aturan terkait ojek daring, apakah bisa membawa penumpang atau tidak. Kemudian kepastian apakah narapidana kasus korupsi akan turut dibebaskan atau tidak sebagai respons pandemi. Lalu yang belum selesai sampai saat ini terkait aturan mudik dan kebijakan bagi mereka yang berusia di bawah 45 tahun untuk beraktivitas.
Dalam berbagai kesempatan, sering muncul perbedaan pernyataan dari menteri, Kepala BNPB, dan Presiden Jokowi sendiri. Saling koreksi pernyataan itu membingungkan masyarakat, yang akhirnya tidak tahu harus mengikuti keputusan yang mana. Tagar Indonesiaterserah (#Indonesiaterserah) yang belakangan muncul, menurut Bivitri sebenarnya adalah respon karena situasi semacam itu.
Wacana normal baru juga mengemuka, diikuti pernyataan sejumlah pihak tentang rencana pelonggaran PSBB. Namun kemudian Presiden Jokowi tegas menyatakan belum ada rencana pelonggaran semacam itu. Sejumlah pejabat juga memberi contoh kebijakan negara-negara lain yang sudah kembali ke arah kehidupan normal. Bivitri mengingatkan, wacana itu tidak tepat karena setiap negara memiliki kondisi yang berbeda.
Ketidakjelasan kebijakan pemerintah menimbulkan respon masyarakat. Melihat apa yang saat ini terjadi di pusat-pusat kerumunan, menurut Bivitri tidak layak sepenuhnya menyalahkan rakyat.
“Saya kira tidak adil kalau kemudian kita sepenuhnya menyalahkan masyarakat, yang sudah mulai berdesak-desakan di pasar, berdesak-desakan di bandara dan seterusnya. Saya kira itu disebabkan karena sebenarnya ada akar masalahnya, karena peraturan yang berubah-ubah, tidak konsisten, dan juga komunikasi politiknya yang tidak tegas, tidak transparan,” lanjut Bivitri.
Secara teori, kata Bivitri, perilaku masyarakat di hadapan hukum tidak hanya tergantung pada sanksi yang mengancamkan. Faktor lain juga sangat menentukan, seperti konsistensi peraturan dan komunikasinya.
Pemerintah, kata Bivitri, harus mendasarkan setiap kebijakan pada data yang nyata di lapangan. Sejumlah pakar, kutipnya, belakangan sering mengeluh karena pendapat mereka tidak didengar oleh pemerintah. Krisis ini juga membuka tabir sejumlah pejabat yang ternyata tidak dapat bekerja sesuai kapasitas yang diharapkan. Di sisi lain, birokrasi berjalan seperti biasa, seolah-olah tidak sedang berada di tengah pandemi.
DPR yang seharusnya konsen mengawasi kinerja pemerintah, justru sibuk dengan agenda sendiri untuk mengesahkan sejumlah undang-undang. Padahal, peran DPR sangat penting, misalnya untuk meminta transparansi data kepada pemerintah terkait pandemi.
Bivitri meminta pemerintah membuat kajian khusus terkait pelaksanaan PSBB. [ns/ab]