Tautan-tautan Akses

Pengamat: 100 Hari Menjabat, Kinerja Prabowo-Gibran Belum Maksimal


FILE - Presiden Indonesia Prabowo Subianto (kiri), dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam upacara pengambilan sumpah di gedung DPR di Jakarta, 20 Oktober 2024. (Tatan Syuflana/AP)
FILE - Presiden Indonesia Prabowo Subianto (kiri), dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam upacara pengambilan sumpah di gedung DPR di Jakarta, 20 Oktober 2024. (Tatan Syuflana/AP)

Meskipun berbagai survei mengungkapkan tingkat kepuasan masyarakat cukup tinggi terhadap kinerja Prabowo-Gibran dalam 100 hari pemerintahan, sejumlah pengamat menilai kinerja pemimpin baru Indonesia itu masih belum maksimal, dan banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.

Ekonom di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan kebijakan ekonomi Prabowo-Gibran sejauh ini belum menyentuh akar permasalahan.

Menurut Riefky, Prabowo-Gibran belum menghasilkan kebijakan yang bisa menyelesaikan masalah penurunan daya beli masyarakat, terutama kalangan kelas menengah, rentan miskin dan miskin. Ia mengatakan, kebijakan yang berlaku saat ini membuat kalangan masyarakat atas semakin kaya.

“Jadi ada dua isu utama adalah produktivitas sebagian masyarakat di Indonesia turun, dan kesenjangan yang meningkat. Artinya adalah memang kebijakan perekonomian inklusif belum terjadi, ini bukan hanya zaman Pak Prabowo saja, tapi dari zaman Pak Jokowi sudah mulai terjadi, tapi memang baru terlihat dampaknya sekarang ini,” ungkap Riefky ketika berbincang dengan VOA.

Riefky mengatakan pemerintah perlu membuat kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat, termasuk ymenciptakan lapangan kerja yang bernilai tambah tinggi.

“Jadi yang pemerintah perlu lakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar bisa tumbuh sampai delapan persen adalah dengan peningkatan produktivitas. Caranya gimana? Caranya adalah menciptakan lapangan kerja yang bernilai tambah tinggi. Sekarang itu, bukan hanya tidak adanya lapangan kerja yang bernilai tambah tinggi, bahkan yang sudah ada terus menurun, kita lihat PHK massal terjadi di berbagai sektor seperti tekstil, manufaktur, teknologi. Ini semua menyebabkan kesempatan masyarakat untuk mendapatkan kerja sekarang semakin menurun,” jelasnya.

Seorang pekerja membawa potret Presiden baru Indonesia Prabowo Subianto dan Wakil Presiden baru Gibran Rakabuming Raka di SD Pondok Labu 14 Pagi, di Jakarta, 22 Oktober 2024. (Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS)
Seorang pekerja membawa potret Presiden baru Indonesia Prabowo Subianto dan Wakil Presiden baru Gibran Rakabuming Raka di SD Pondok Labu 14 Pagi, di Jakarta, 22 Oktober 2024. (Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS)

Ia menilai, pemerintah saat ini masih fokus pada program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menurutnya belum menyasar aspek untuk meningkatkan produktivitas masyarakat atau penciptaan lapangan kerja yang optimal.

Seperti Riefky, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menjabarkan rapor merah tim ekonomi Prabowo-Gibran dalam 100 hari pertama mereka menjabat..

“Indikator ekonomi seperti tren meningkatnya imbal hasil surat utang pemerintah dengan performa yang memburuk dibanding negara lain di kawasan. Performa IHSG yang turun 5,82 persen dalam tiga bulan terakhir, PHK di sektor padat karya, dan pelemahan daya beli yang berlanjut jadi rapor merah tim ekonomi Prabowo,” ungkap Bhima.

Pengamat: 100 Hari Menjabat, Kinerja Prabowo-Gibran Belum Maksimal
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:12 0:00

Bhima juga menilai para menteri di bidang ekonomi di Kabinet Merah Putih juga tidak memiliki persiapan matang dalam menghadapi kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di masa pemerintahan keduanya.

“Padahal tantangan proteksionisme Trump harus direspons melalui langkah menarik, seperti relokasi pabrik dari Amerika Serikat maupun China, Tapi mengurus realisasi investasi Apple saja sampai sekarang belum berhasil. . Koordinasi antar kementerian di 100 hari pertama buruk,” imbuhnya.

Bhima juga menyoroti sektor energi dan lingkungan hidup. Ia mengatakan. menteri ESDM belum secara tegas merilis PLTU mana saja yang akan dimatikan pada tahun ini. Padahal, katanya, Prabowo sudah berkomitmen untuk mempensiunkan PLTU di Forum G20 di Brazil.

“Antara masalah energi, pangan dan lingkungan hidup ada kegagalan membaca situasi. Swasembada energi seharusnya tidak bertolak belakang dengan konservasi hutan. Kalau hutan makin hilang misalnya demi co-firing PLTU (campuran cacahan kayu), Indonesia bakal dikecam dunia internasional dan menurunkan dukungan pembiayaan global untuk konservasi hutan sekaligus transisi energi. Jelas instruksi Prabowo tidak berhasil diturunkan menjadi program implementatif yang berkualitas” tuturnya.

Sementara itu, Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional menilai, kebijakan pemerintah di bidang lingkungan dan energi sejauh ini akan semakin memperburuk krisis iklim.

“100 hari kerja Prabowo-Gibran di (bidang) lingkungan justru akan berdampak buruk ratusan tahun kedepan, jika memang tetap diimplementasikan. Saya mengambil rencana dan kebijakan yang muncul yaitu mengubah 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi misalnya,” ungkapnya ketika berbincang dengan VOA.

Uli juga menyoroti kebijakan transisi energi Prabowo-Gibran yang dinilainya masih menawarkan solusi palsu. Salah satunya, kata Uli, masih melakukan hilirisasi nikel dan sumber daya alam ekstraktif lainnya untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik.

Uli juga menyayangkan pemerintah masih bertumpu kepada tanaman monokultur seperti sawit, tebu, dan aren sebagai bagian dari upaya membangun swasembada energi, ketimbang memaksimalkan potensi energi terbarukan yang dimiliki oleh Indonesia.

“Bio diesel masih dipilih menjadi model transisi energi sekaligus untuk membangun swasembada energi. Yang kita tahu, biodiesel masih sepenuhnya bertumpu pada sawit, tahun ini B40 dan akan dikejar sampai B100. Terus kemudian bio etanol yang diklaim sebagai model transisi energi untuk juga untuk mendukung swasembada energi. Kita tahu bioetanol itu dibangun dengan menjadikan tebu sebagai material utama, tebu ini ketika dibangun dalam skala yang besar dan monokultur, dia akan sama saja seperti jenis tanaman monokultur lainnya dan kita bisa lihat sendiri misalnya potret di Merauke dimana hutan alam milik masyarakat adat, hutan adatnya itu diubah menjadi monokultur kebun tebu untuk menunjang bioetanol,” jelasnya.

“Jadi, poinnya adalah transisi energi dalam programnya Prabowo-Gibran berikut dengan swasembada energinya masih diletakkan dalam kerangka bisnis, pembangkitan energi dalam skala yang besar, dan ketika energi itu masih diletakkan dalam kerangka bisnis, maka tidak akan pernah ada keadilan di sana, baik keadilan terhadap lingkungan maupun masyarakat," pungkasnya. [gi/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG