Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani mengatakan peningkatan target investasi tersebut dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah, yakni sebesar 8 persen.
Adapun target investasi yang dibidik oleh pemerintah pada tahun 2025 adalah Rp1.905 triliun.
“(Target) total investasi dari tahun 2025 sampai 2029 kurang lebih Rp13.032 triliun. Dan tentunya harapannya bahwa investasi yang masuk ke Indonesia ini bisa juga menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas, dan di saat yang bersamaan ini akan memberikan kontribusi sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi terutama dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada tahun 2029 seperti yang dicanangkan oleh Kementerian Bappenas,” ungkap Rosan usai Rapat Terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan Jakarta, pada Kamis (2/1).
Rosan menyadari bahwa target ini bukanlah hal yang mudah. Menurutnya dibutuhkan kerja sama dan koordinasi yang baik untuk meningkatkan investasi tersebut dengan 18 kementerian atau lembaga terkait.
Saat ini, katanya, kontribusi investasi sudah mencapai 24-25 persen dari produk domestik bruto (PDB). Ini artinya konsumsi domestik masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi tanah air -- yang menurut Rosan angkanya mencapai 54 persen. Pemerintah, ujarnya, berharap kontribusi dari investasi bisa meningkat lebih tinggi dalam lima tahun ke depan, terutama dari sisi hilirisasi.
Komitmen investasi dari China dan AS
Dalam kesempatan tersebut, Rosan juga melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai komitmen investasi yang didapat dari China yang mencapai US$7,46 miliar dan diperoleh dari empat perusahaan.
“Investasi yang masuk juga dari empat itu, di bidang fiberglass, PET Resin, solar panel, dan juga di bidang perikanan untuk membangun sistem terintegrasi perikanan di Maluku Utara, dan Papua dari perusahaan China yang melakukan joint venture dengan perusahaan Indonesia,” jelasnya.
Rosan juga mengungkapkan pada kuartal pertama tahun ini, akan masuk investasi dari Amerika Serikat dengan jumlah cukup siginifikan. Namun, pihaknya enggan untuk menjelaskan lebih lanjut.
Pemerintah ke depan juga berencana memperluas cakupan jenis investasi yang akan menanamkan modalnya di tanah air. Selama ini, katanya, jenis investasi yang masuk ke Indonesia kebanyakan di bidang industri. Rosan mengatakan, ia sedang membidik investor dari bidang perusahaan pengelola aset dan dari negara-negara Timur Tengah.
“Kita belum menyentuh banyak investor di bidang investment management atau portofolio. Ini juga yang akan digarap, contohnya seperti perusahaan investasi (dari Amerika Serikat) Blackrock saja yang aset under management-nya saja $11 triliun, itu enam kali GDP kita. Itu, banyak investment besar ini yang belum digarap. Itu juga yang kita ingin lebih digarap lagi sehingga kita mempunyai investor tidak hanya yang memang ahli di industri, tetapi juga investor portofolio yang di mana tren di dunia investor portofolio sangat aktif melakukan banyak investasi di banyak negara,” paparnya.
Perbaikan penghambat investasi
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan tidak mudah untuk mencapai target investasi yang dipatok oleh pemerintah, mengingat lompatan targetnya yang cukup signifikan. Meski begitu, ia setuju bahwa dibutuhkan investasi yang besar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
“Berarti harus ada ekstra effort untuk menarik investasi yang tidak hanya bisa dengan cara yang sudah-sudah. Ini yang how to-nya yang kemudian menjadi pertanyaan, strateginya apa, menyasar kepada sektor apa saja, karena daya tarik investasi termasuk juga akan lari ke sektor mana ini bergantung kepada prioritas pemerintah seperti apa,” ungkap Faisal ketika berbincang dengan VOA.
Selanjutnya, menurut Faisal yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah efektivitas dan efisiensi dari investasi yang masuk terhadap pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan investasi yang masuk harus menimbulkan multiplier effect maksimal kepada masyarakat. Pasalnya, rasio tingkat efisiensi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi atau incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia masih cukup tinggi.
“Jadi kita itu ICOR-nya tinggi disekitaran 6-7 persen, ini jelas lebih tinggi dibandingkan negara lain. Artinya negara lain kalau mau mendorong pertumbuhan ekonomi satu persen itu butuh investasi yang lebih sedikit, kita butuh investasi yang lebih banyak. Itu yang jadi PR dan salah satu penyebabnya adalah struktur investasi yang masuk selama ini itu, adalah investasi yang hasil output-nya itu lebih jangka panjang seperti bangunan, bukan permesinan,” jelasnya.
Ia mencontohkan negara-negara seperti China, Vietnam dan Malaysia, di mana proporsi investasi di sektor manufaktur seperti permesinan untuk industri jauh lebih tinggi dibandingkan investasi bangunan. Maka dari itu, Faisal mengatakan, pemerintah harus mendorong industri ke sektor manufaktur agar bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
“Sektornya memang industri, jadi hilirisasi misalkan yang sudah ada pertambangan diperluas menjadi pertanian, pertaniannya juga macam-macam, misalkan perkebunan, perikanan,” tambahnya.
Selain itu, ujar Faisal, para investor tersebut perlu diyakinkan dengan kebijakan yang jelas,insentif baru, dan perbaikan birokrasi dalam lima tahun ke depan
“Hambatan investasi yang selama ini menjadi kendala di Indonesia yang harus diatasi, yang selama ini kita tahu dari sisi birokrasi lambat, yang itu menyebabkan kenapa misalkan ketika ada relokasi industri ke kawasan Asia Tenggara yang banyak menikmati misalkan negara tetangga seperti Vietnam karena perizinannya lebih cepat. Yang seperti itu mendasar dan sudah lama masih menjadi PR di kita,” tegasnya.
Faisal juga mengingatkan bahwa pemerintah juga perlu memperhatikan berbagai aspek penting lainnya yang sering terlupakan ketika mengejar target ambisius, yakni memperhatikan aspek lingkungan, dan sosial.
“Selama ini di Indonesia ada tiga besar bidang investasi yakni industri logam dasar, pertambangan, kimia/farmasi. Di industri logam dasar yang hilirisasi nikel kita tahu banyak catatan problem dari sisi lingkungan dan masyarakat serta governance-nya. Itu seringkali di-overlooked karena mengejar target nilai investasinya. Jangan sampai itu terulang juga ketika ingin menggalakkan investasi pada sektor-sektor andalan yang baru. Kalau misalkan hilirisasi di sektor pertanian, itu jangan sampai terulang kembali, karena mungkin targetnya bisa tercapai tetapi meng-create permasalahan yang lain,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum