Kepala staf Angkatan bersenjata Myanmar Mya Tun Oo, mengatakan dalam jumpa pers di ibukota Naypyitaw, populasi yang bertambah dan meningkatnya jumlah tokoh keagamaan dan masjid di negara bagian Rakhine merupakan bukti bahwa tuduhan-tuduhan terjadinya genosida dan persekusi agama tidak benar.
Ia menegaskan penyidikan resmi tidak menemukan bukti-bukti meyakinkan mengenai terjadinya pemerkosaan atau kekejaman lain terhadap warga sipil, tetapi tuduhan bahwa tentara membakar ribuan rumah penduduk masih diselidiki.
Briefing selama dua jam itu, yang antara lain mencakup presentasi PowerPoint dan klip video, merupakan acara yang sangat ekstensif yang diselenggarakan tentara dalam upaya menangkal gelombang tuduhan pelanggaran.
Mya Tun Oo membahas kasus-kasus spesifik yang diangkat para penyidik HAM, dan mengatakan bahwa pemerintah tidak menemukan keterangan langsung atau yang dapat diverifikasi yang mengukuhkan tuduhan-tuduhan itu. Para pengecam mengatakan pemerintah tidak dapat melakukan penyidikan yang kredibel dan seharusnya mengizinkan penyidikan independen internasional.
Pemerintah melarang akses media independen ke wilayah Rohingya sejak tindakan militer dimulai bulan Oktober setelah pemberontak membunuh sembilan orang polisi penjaga perbatasan dengan Bangladesh. Kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa foto-foto satelit mendukung tuduhan mereka mengenai pembakaran masal rumah penduduk, yang menurut pemerintah dilakukan oleh pemberontak.
Badan PBB Urusan HAM awal bulan ini mengeluarkan laporan terinci berdasar wawancara dengan warga Rohingya yang lari ke Bangladesh, yang mengatakan terjadinya pemerkosaan luas oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap perempuan Rohingya, dan berbagai kekejaman lainnya.
Hari Senin, setelah mengunjungi para pengungsi Rohingya di Bangladesh, utusan khusus PBB untuk urusan HAM di Myanmar menyerukan agar pemerintah segera mengakhiri diskriminasi terhadap warga Rohingya, mencegah terjadinya pelanggaran serius lebih lanjut, dan melakukan penyidikan segera, seksama, independen, dan tidak memihak.
"Kekerasan yang disaksikan para keluarga pengungsi jauh lebih luas daripada yang saya duga semula,” kata Yanghee Lee.
Pemerintah negara-negara Barat juga telah menyatakan keprihatinan mengenai perlakuan terhadap warga Rohingya.
Warga Rohingya yang jumlahnya sekitar satu juta dan hidup di Myanmar yang mayoritas warganya beragama Buddha menghadapi diskriminasi resmi dan sosial. Sebagian besar dari mereka itu dianggap sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Banyak yang lari dari rumah mereka ketika terjadi bentrokan antar warga tahun 2012, dan lebih dari 100 ribu sekarang tinggal di kamp-kamp pengungsi. [ds]