Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan salah satu syarat untuk memensiundinikan PLTU batu bara adalah jika ada yang mendanai program tersebut dengan bunga rendah. Pasalnya, dana yang dibutuhkan untuk melakukan hal itu tidak sedikit.
“Jadi kalau ditanya Menteri ESDM atau negara mau tidak mempensiunkan (PLTU batu bara)? Mau. Catatannya kasih cuan-nya, kasih uangnya, enggak boleh bunga mahal, pinjaman jangka panjang, dengan harga sampai ke rakyat yang murah,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, di Jakarta, Senin (3/2).
Sebagai wujud komitmen untuk menekan emisi gas rumah kaca, pemerintah saat ini sedang dalam proses untuk ‘menyuntik mati’ PLTU Cirebon 1 dengan pinjaman dari Asian Development Bank (ADB). Pembangkit dengan kapasitas 660 megawatt (MW) tersebut ditargetkan pensiun dini pada tahun 2035 atau tujuh tahun lebih cepat dari rencana awal yakni 2042.
Dalam kesempatan ini, Bahlil mengakui anggaran yang tinggi menjadi salah satu hambatan pemerintah untuk menghentikan PLTU batu bara yang ada di tanah air.
Karena itu, pihaknya berharap akan ada lembaga keuangan lain yang mau mendanai program ini.
“Kita mau memensiunkan dini dengan dua syarat. Pertama, ada yang membiayai, kedua secara ekonomi tidak membebankan negara, tidak terlalu membebankan PLN, tidak membebankan rakyat. Kalau ada yang membiayai murah begini alhamdulillah, bila perlu kita pensiunkan semua. Yang penting ada yang membiayai, jangan paksa negara dan kita (pemerintah) memensiunkan, habis itu cuma omon-omon, uangnya tidak ada. Mau suruh kita ambil uang dari mana?,” tegasnya.
Dalam paparan Bahlil disebutkan bahwa pemerintah menyiapkan empat pembangkit energi baru terbarukan (EBT) untuk menggantikan PLTU Cirebon 1, yaitu pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 346 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ditambah Battery Energy Storage System (BESS) atau sistem penyimpanan energi baterai sebesar 700 megawatt (MW), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) sebesar 1.000 MW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebesar 12 MW.
Sementara itu, peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengungkapkan memang pemerintah harus mencari sumber pendanaan lain, karena pensiun dini PLTU batu bara tidak mungkin didanai dengan anggaran negara.
Namun, menurutnya, hal tidak kalah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan disinsentif kepada PLTU batu bara dan perusahaan batu bara yang selama ini tidak pernah dilakukan, salah satunya adalah penerapan pajak karbon. Selain itu, kata Dila, pemerintah juga bisa menarik pungutan produksi dari perusahaan batu bara yang keuntungannya diketahui sangat tinggi.
“Jadi kenapa kita perlu menerapkan disinsentif ini? Karena selain kita mau menutup, jangan sampai kita tetap membiarkan batu bara dipenuhi dengan kemudahan. Tetap dipersulit juga, karena memang eksternalitas negatif perlu dihitung. Jadi terapkanlah itu sehingga kita bisa mendorong energi terbarukannya untuk bisa terlihat juga, bahwa ini semakin menguntungkan,” ungkap Dila ketika berbincang dengan VOA.
Lebih jauh, Dila mengatakan dengan berbagai pernyataan pemerintah yang tidak konsisten terkait transisi menuju energi bersih, maka penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan diproyeksikan akan cenderung stagnan di level 14 persen. Hal ini sangat disayangkan mengingat berbagai potensi energi terbarukan yang berlimpah di tanah air, lanjutnya.
“Pak Presiden bilang kita (Indonesia) akan mencapai 75 gigawatt energi terbarukan di 2040, dan menutup PLTU di 2040 dan itu juga ditegaskan Pak Hashim di COP ke-29. Tetapi setelah itu Menteri ESDM bilang tidak ada masalah dengan batu bara, bahkan Pak Menteri juga mendukung pengusaha batu bara untuk tidak takut akan gempuran pengusaha energi terbarukan. Lalu ada statement juga dari Menteri Kehutanan yang akan membabat hutan demi tercapainya swasembada energi dan pangan,” jelasnya.
Dila meyakini pernyataan dari pemerintah tersebut akan menimbulkan ketidakpercayaan investor atau lembaga pembiayaan internasional untuk mendanai berbagai program yang merupakan bagian dari transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan.
“Mixed signal ini yang nantinya juga akan menghambat. Karena (lembaga) keuangan mana yang mau datang (untuk membiayai) kalau (pemerintah) tidak konsisten kebijakannya dan tidak ada political will di Indonesia. Jadi bagaimana iklim investasi sangat, sangat diperlukan untuk melakukan transisi energi, tidak
hanya untuk menutup PLTU, tapi juga menarik (investasi di bidang) energi terbarukan. Jangan sampai ‘OK, kita menutup PLTU’ tetapi energi terbarukannya masih di 14 persen, dengan kebijakan yang tidak konsisten itu,” pungkasnya. [gi/uh]
Forum