Tautan-tautan Akses

Melawat ke Alabama, Biden Kembali Fokus soal Hak Suara dalam Pemilu


Presiden AS Joe Biden berbicara di dekat jembatan Edmund Pettus di kota Selma, negara bagian Alabama, hari Minggu (5/3).
Presiden AS Joe Biden berbicara di dekat jembatan Edmund Pettus di kota Selma, negara bagian Alabama, hari Minggu (5/3).

Presiden Joe Biden akan memberikan penghormatan kepada para pahlawan “Minggu Berdarah,” dan bergabung dengan ribuan orang dalam peringatan tahunan saat penting dalam gerakan hak-hak sipil yang mengarah pada pengesahan undang-undang hak suara hampir 60 tahun lalu.

Lawatan ke Selma, Alabama, hari Minggu (5/3) menjadi kesempatan bagi Biden untuk berbicara langsung dengan generasi aktivis hak-hak sipil saat ini. Banyak yang merasa sedih karena Biden tidak dapat memenuhi janji kampanyenya untuk meningkatkan hak suara dan sangat ingin agar pemerintahannya tetap menyoroti isu ini.

Menurut pejabat-pejabat Gedung Putih, Biden menggunakan sambutannya untuk menggarisbawahi pentingnya memperingati “Bloody Sunday” agar tidak menghapus sejarah, dan mengatakan perjuangan untuk hak suara tetap merupakan sesuatu yang integral dengan perjuangan mencapai keadilan ekonomi dan hak-hak sipil bagi warga kulit hitam Amerika.

Peringatan tahun ini juga berlangsung saat kota bersejarah dengan sekitar 18.000 penduduk itu masih berupaya pulih dari terpaan tornado 2 Januari lalu yang menghancurkan atau merusak properti di dalam dan sekitar Selma.

Poor People’s Campaign Tulis Surat

Sebelum kunjungan Biden, Pendeta William Barber II, salah satu ketua Poor People’s Campaign – bersama enam aktivis lainnya – menulis surat kepada Biden dan para anggota Kongres, yang mengungkapkan rasa frustrasi mereka dengan kurangnya kemajuan dalam undang-undang hak suara. Mereka juga mendesak para politisi yang datang ke Selma untuk tidak menodai ingatan pada mendian aktivis hak-hak sipil John Lewis, Hosea Williams dan lainnya dengan omong kosong.

“Kami mengatakan kepada Presiden Biden, mari kita bingkai isu hak suara di Amerika sebagai masalah moral, dan tunjukkan bagaimana pengaruhnya pada semua pihak,” ujar Barber dalam sebuah wawancara.

“Saat hak pilih disahkan setelah Selma, hal itu tidak hanya membantu warga kulit hitam. Tetapi juga membantu Amerika. Kami membutuhkan presiden yang dapat membingkai ulang hal ini. Saat Anda memblokir hak pilih, Anda tidak hanya menyakiti warga kulit hitam tetapi juga Amerika sendiri.”

“Minggu Berdarah” di Selma

Suatu peristiwa yang senantiasa dikenang dalam gerakan hak-hak sipil terjadi pada 7 Maret 1965 di Selma, dan beberapa minggu berikutnya. Sekitar 600 demonstran damai yang dipimpin John Lewis dan Hosea Williams berkumpul hari itu, hanya beberapa minggu setelah penembakan fatal seorang pemuda kulit hitam, Jimmie Lee Jackson oleh polisi Alabama.

Lewis, yang kemudian menjabat di DPR mewakili negara bagian Georgia, dan lainnya dipukuli secara brutal oleh polisi Alabama dan para wakil sherrif ketika berupaya menyebrangi Jembatan Edmund Pettus Selma, awal perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 54 mil ke ibu kota negara bagian di Montgomery. Ini merupakan upaya mereka untuk mendaftarkan pemilih kulit hitam di Selatan.

Foto-foto kekerasan polisi itu memicu kemarahan di seluruh Amerika. Beberapa hari kemudian pemimpin hak-hak sipil Martin Luther King Jr., memimpin apa yang kemudian dikenal sebagai pawai “Turnaround Tuesday” di mana para demonstran damai mendekati barisan polisi di jembatan itu dan berdoa, sebelum berbalik.

Delapan hari setelah “Bloody Sunday” itu Presiden Lyndon B. Johnson memperkenalkan Voting Rights Act 1965. Ia menyebut peristiwa di Selam itu sebagai salah satu momen langka dalam sejarah Amerika di mana “sejarah dan takdir bertemu dalam satu waktu.”

Pada 21 Maret King memulai pawai ketiga, di bawah perlindungan pemerintah federal, yang diikuti ribuan orang. Lima bulan kemudian Johnson menandatangani Voting Rights Act atau UU Hak Suara menjadi undang-undang. [em/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG