Band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, Sukatani menjadi sorotan setelah mereka meminta maaf kepada Kapolri dan Institusi Polri melalui video yang diunggah di media sosial pada Kamis 20 Februari. Kedua personel band tersebut, Muhammad Syifa Al Lutfi dan Novi Citra, juga menarik lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” dari semua platform musik.
Lagu “Bayar Bayar Bayar” menggambarkan pengalaman seseorang yang harus selalu membayar ketika berurusan dengan polisi, yang menimbulkan perspektif negatif terhadap citra kepolisian.
Setelah Sukatani meminta maaf kepada Polri terkait lagu tersebut dan menarik lagu itu dari berbagai media, lagu ini justru kian sering dinyanyikan berbagai kelompok masyarakat termasuk ketika aksi unjuk rasa “Indonesia gelap” yang dilakukan koalisi masyarakat sipil beberapa waktu lalu.
Hampir bersamaan dengan munculnya kasus ini, Novi Citra Indriyati, vokalis Sukatani diberhentikan dari posisinya sebagai guru honorer di SDIT Mutiara Hati, Purwareja, Klampok, Banjarnegara, Jateng. Kepala Sekola SDIT Mutiara Hati Eti Endarwati menyatakan, Novi diberhentikan sebagai guru honorer di sekolahnya pada 6 Februari 2025. Novi yang menjadi guru honorer sejak 2020 ini diberhentikan dengan alasan telah melanggar kode etik guru.
Jumlah anggota kepolisian Daerah Jawa Tengah yang diperiksa dalam kasus dugaan intervensi terhadap band Sukatani bertambah menjadi enam orang. Hingga Minggu (23/2) siang, pemeriksaan yang dilakukan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri terhadap enam polisi itu masih berlangsung.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan lagu merupakan bagian dari bentuk eskpresi seni yang dijamin oleh konstitusi dan merupakan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hak fundamental itu, katanya, juga ditegaskan \dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
“Sebagai constitusional rights sebenarnya setiap orang, setiap warga negara kita itu berhak untuk mengekspresikan apa yang perlu kita rasa untuk kita ekspresikan termasuk di dalamnya kalau konteks seni ada film, ada musik, teater dan yang lain-lain. Mestinya ekspresi seni itu bisa dalam bentuk kritik terhadap negara, institusi karena masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan kritik kepada negara sebagai penyeimbang demokrasi yang ada di negara kita,” tegas Anis kepada VOA, Minggu (23/2).
Lembaganya, kata Anis, sangat menyesalkan penarikan kembali lagu yang diangap merendahkan salah satu institusi negara atau Polri. Harusnya lagu itu, kata Anis, dianggap sebagai kritik terhadap negara dan tidak perlu ditarik dari semua platform musik.
“Soal legalitas diatur dalam undang-undang, batasan yang mana. Kemudian proporsionalitas dan yang terakhir kepentingan umum. Jadi lagu ini kalau kita dengarkan tidak ada kan kepentingan umum yang terancam. Misalnya dari lagu itu yang dianggap tidak sesuai dengan realitas, itu juga mana?,” katanya.
Pemerintah dalam, hal ini Polri, tambah Anis harusnya tidak reaktif ketika masyarakat menggunakan haknya untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi.
Mantan Ketua MK mahfud MD juga bereaksi. Melalui akunnya di X, ia berpendapat Sukatani tidak perlu minta maaf dan menarik lagunya. Menciptakan lagu adalah hak asasi manusia, katanya.
Muhamad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan apa yang disampaikan band Sukatani adalah realita dan fakta yang terjadi di masyarakat atau keresahan yang selalu dikeluhkan Masyarakat yang dituliskan dalam sebuah lagu. Menurut Isnur, apa yang menimpa band Sukatani adalah hal yang juga sering terjadi.
“Dalam artian ini kan sama seperti kemarin ketika seorang pelukis yang mau menampilkan karya-karya nya dibatalkan atau diskusi kami beberapa tempat ditolak.Ini adalah bentuk yang disebut dengan pembungkaman, bentuk ancaman dan represi kepada masyarakat,” ujar Isnur.
Isnur menilai permintaan maaf dan penarikan lagu yang dilakukan band Sukatani akibat tekanan yang dilakukan oleh polisi merupakan pelanggaran konstitusi, UU berkesenian, UU kemajuan kebudayaan, UU HAM dan bahkan peraturan Kapolri terkait pedoman implementasi HAM.
Terkait dengan Propam Polri yang memeriksa anggotanya terkait kasus band Sukatani, Isnur mengatakan seharusnya untuk mengetahui peristiwa yang terjadi secara menyeluruh, Propam terlebih dahulu memeriksa dan mendengar korban. Dia mengkhawatirkan polisi yang diperiksa tidak membuka secara keseluruhan apa yang mereka lakukan.
Menanggapi kecaman terkait band Sukatani, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan, Polri tidak anti kritik. Ia memastikan akan menerima dan terbuka terhadap segala bentuk saran dan masukan. Sigit juga menegaskan tidak pernah melarang atau membungkam siapapun yang menyalurkan hak kebebasan berekspresi. Ia bahkan mengatakan, kasus ini dijadikan refleksi untuk membangun Polri yang lebih baik.
Lebih jauh Sigit menawarkan band Sukatani untuk menjadi duta Polri dalam rangka melakukan perbaikan institusi, dan mencegah perilaku menyimpang di jajarannya.
"Nanti kalau Band Sukatani berkenan akan kami jadikan juri atau Band Duta untuk Polri terus membangun kritik demi koreksi dan perbaikan terhadap institusi dan juga konsep evaluasi secara berkelanjutan terhadap perilaku oknum Polri yang masih menyimpang," ujar Sigit dalam keterangannya, Minggu (23/2/). [fw/ab]
Forum