Sudah 50 tahun, PT Freeport Indonesia beroperasi di Timika, Papua. Dalam kurun waktu itu, banyak persoalan lingkungan dan sosial muncul dan tidak terselesaikan terkait operasinya. Karena itu, masyarakat Papua minta dilibatkan dalam pembicaraan mengenai masa depan industri tambang di kawasan itu.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua dengan tegas menilai, telah terjadi perubahan kondisi fisik lingkungan yang mempengaruhi masyarakat Papua, terutama suku Amungme dan suku Kamoro. Kehidupan sosial masyarakat kedua suku itu memburuk karena keberadaan PT Freeport.
Salah satunya adalah karena aktivitas pembuangan limbah tambang di tanah adat Amungme ke kawasan tanah adat suku Komoro. Pembuangan limbah ini mengusik mata pencaharian warga setempat sebagai nelayan sejak puluhan tahun lalu.
Aiesh Rumbekwan, Direktur Walhi Papua mengatakan, tidak ada kejelasan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas kondisi ini. Yang juga tidak jelas adalah apakah kontrak karya yang sudah dibuat antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport menyebutkan pihak mana yang harus bertanggung jawab jika ada masalah hukum, HAM dan lingkungan.
“Karena itu, kami menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia memperbaiki berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di tanah ulayat adat suku Amungme dan Kamoro. Dan juga, sebelum melanjutkan pembuatan kontrak baru, perlu dengan sungguh-sungguh menyelesaikan permasalahan masa depan kehidupan masyarakat adat kedua suku yang ada,” jawab Aiesh Rumbekwan.
Decky Rumaropen dari Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua mengatakan, jika memang ada kontrak karya (KK) ataupun IUPK ke depan, pemerintah wajib memposisikan masyarakat adat pemilik hak ulayat dengan jelas dan tegas dalam dokumen tersebut.
Yang paling penting adalah adanya pasal yang menjamin terpenuhinya tuntutan hidup masyarakat Amungme dan Kamoro pada masa depan setelah terimbas dampak operasi penambangan. Untuk saat ini, pemerintah juga diminta bersikap tegas dalam mengatasi persoalan pengganguran menyusul penghentian sementara operasi penambangan.
“Posisi hukum mereka harus jelas dulu. Selama ini, posisi hukum suku-suku ini hanya berdasarkan MOU saja. Misalnya, jika pemerintah memang maunya ada IUPK, itu di dalamnya ada pasal yang menyatakan, proyek tambang ini bertanggung jawab terhadap masyarakat, terutama penduduk lokal penerima dampak proyek tambang. Jadi jika ada kontrak baru, kontrak itu antara suku asli, pemerintah dan pengusaha. Harus ada ketiga pihak itu. Masyarakat harus masuk ke dalam,” kata Decky Rumaropen.
Pendapat senada disampaikan Sekretaris Dewan Adat Papua, John NR Gobay. Dia bahkan menekankan perlunya tindakan segera untuk mengatasi hilangnya mata pencaharian akibat tidak beroperasinya PT Freeport Indonesia. Gobay menilai, persoalan ini tidak sederhana. Masih banyak persoalan yang berlangsung sebelum ini, yang juga harus diselesaikan.
Kepada VOA, Gobay juga menyatakan, pertanyaan besar bagi masyarakat asli Papua selain soal lingkungan, adalah seberapa besar masyarakat lokal bisa ikut mengelola pertambangan itu. Keterlibatan tersebut merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap masyarakat adat. Terkait apakah PT Freeport harus keluar dari Papua atau tidak, Gobay memandang keputusan itu tidak bisa dibuat tergesa-gesa.
“Ini bukan kebun keladi, kan. Ini juga bukan sawah atau ladang, yang kemudian kita bisa dengan mudah bicara dia harus keluar dan dia harus tutup. Bicara Freeport itu kita tidak bicara sesederhana soal lahan sawah. Kita bicara hal yang lebih besar. Kita bicara soal kepentingan banyak negara. Jadi, mari sikapi secara baik. Yang bijaksana adalah operasional tetap berjalan sambil perundingan yang melibatkan masyarakat juga tetap berjalan,” kata John NR Gobay.
Gobay mengingatkan, para pekerja yang terkena PHK saat ini adalah juga warga negara Indonesia. Pemerintah harus memikirkan mereka, seiring dengan pembicaraan masa depan PT Freeport Indonesia dan operasionalnya di tanah Papua. [ns/ab]