Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD memastikan Pemilu 2024 akan tetap berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya. Sesuai konstitusi, Mahfud mengatakan tidak akan ada masa perpanjangan jabatan bagi presiden dan wakil presiden. Ia menegaskan bahwa pemilu akan tetap diadakan setiap lima tahun sekali.
“Nah sekarang mari kita uji. Tanggal 21 Oktober 2024, masa jabatan Presiden Jokowi dan kabinetnya sudah habis. Kalau pemilu ditunda, akan terjadi kekosongan pemerintahan,” kata Mahfud di Yogyakarta, Rabu (8/3).
Ada pendapat yang menyatakan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat membuat keputusan untuk mengatasi kondisi tersebut. Namun Mahfud menegaskan hal itu tidak dimungkinkan, karena kewenangan MPR saat ini berbeda dengan kewenangannya di masa lalu.
“MPR sekarang ini tidak punya wewenang apapun untuk menentukan pemerintah,” ujarnya.
Konstitusi memang menyebutkan bahwa presiden dapat diberhentikan jika melanggar hukum pidana dan diputuskan oleh pengadilan atau karena berhalangan tetap. Namun kondisi saat ini tidak menunjukkan semua hal tersebut terjadi. Jika presiden baru nantinya tidak terpilih sebelum 20 Oktober 2024, kekosongan pemerintahan tidak bisa diatasi. Dalam hal tersebut, konstitusi mengatur ada tiga pihak yang bisa mengisi jabatannya secara bersama, yaitu menteri dalam negeri, menteri pertahanan dan menteri luar negeri.
“Tapi, pada saat masa jabatan presiden habis, masa jabatan ketiga menteri ini pun habis. Enggak bisa. Terus mau pakai apa?” kata Mahfud.
Amandemen konstitusi menjadi satu-satunya jalan jika sampai kekosongan pemerintahan terjadi. Namun, hal tersebut hanya dapat terlaksana jika ada dukungan dari parlemen, di mana sejauh ini mayoritas partai politik tetap menginginkan pemilu untuk diadakan tepat waktu. Jika amandemen tidak berjalan, Mahfud menyebut situasi negara akan menjadi kacau, karena tidak ada pemerintahan yang mengendalikan negara.
Karena itulah, pemerintah bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memastikan pemilu tetap akan berlangsung 14 Februari 2024. Pemerintah telah menyepakati rencana KPU untuk mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) untuk menunda pemilu.
“Pemilu 2024 itu adalah agenda konstitusional. Kalender konstitusional yang tidak bisa ditunda atau dimundurkan dengan jalan hukum biasa,” lanjutnya.
“Kita harus lakukan perlawanan hukum ini secara sungguh-sungguh, karena itu akan membahayakan kehidupan bangsa dan negara, di mana agenda atau kalender konstitusi bisa dibatalkan dan diatur oleh pengadilan,” tambah Mahfud.
Memori Banding Segera
Ketua KPU Hasyim Asy’ari memastikan langkah banding terhadap putusan tersebut akan segera dilakukan.
“KPU akan banding, satu dua hari ini didaftarkan memori banding itu,” ujarnya di Yogyakarta, Rabu (8/3).
“Maka, sebagai ekspresi bahwa KPU tidak setuju dengan substansi putusan tersebut, mekanisme hukumnya KPU harus melakukan upaya hukum banding. KPU sebagai pihak tergugat, sejak ada putusan ini KPU menyatakan akan banding,” tegasnya lagi.
Hasyim meminta semua pihak untuk yakin bahwa KPU sudah bersungguh-sungguh dalam menghadapi gugatan Partai Prima sejak awal. Dia mengingatkan, begitu tidak lolos verifikasi, Partai Prima sudah membawa persoalan ini ke Bawaslu. Setelah itu, KPU menghadapi Partai Prima di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebanyak dua kali.
Usai semua upaya itu gagal, Partai Prima membawa persoalan tersebut ke pengadilan negeri. KPU kini bahkan dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait situasi terakhir.
“Kalau KPU dituduh tidak sungguh-sungguh, saya berharap teman-teman yang mau mengadukan itu membaca dulu putusannya. Apa pembelasan KPU. Apa jawaban KPU. Apa eksepsi KPU. Enggak pernah KPU main-main. Kami pasti sungguh-sungguh,” bebernya.
Riak Kecil Dunia Politik
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Abdul Gaffar Karim, mengatakan langkah Partai Prima tidak memiliki pengaruh signifikan bagi Pemilu.
“Ini saya kira sebagai sebuah riak kecil saja dalam politik, yang dengan mudah diatasi oleh KPU RI dengan banding misalnya. Tapi sebenarnya, secara politik hukum, ini sama sekali tidak ada signifikansi apa apa,” ujarnya.
Gaffar bahkan menyebut, upaya Partai Prima sebagai tindakan yang sekadar turut meramaikan situasi politik.
Dia juga mengingatkan, banyak ahli hukum telah mengkritik jalur peradilan yang ditempuh terkait sengketa Pemilu. Gaffar meyakini, persoalan ini akan selesai dengan mudah.
Seperti diberitakan, polemik di sektor kepemiluan muncul setelah hakim PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima pada 2 Maret 2023 lalu. Majelis hakim dalam kasus tersebut memutuskan tujuh poin putusan, di mana salah satunya adalah menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan tersebut diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari.
Hal yang penting untuk diperhatikan ke depan, menurut Gaffar, adalah perlu adanya desain yang lebih terstruktur di tingkat nasional, jika terjadi situasi yang mengganggu seperti yang terjadi saat ini. Jika ada partai politik yang karena satu dan lain hal dinyatakan tidak lolos verifikasi, maka harus dibuat mekanisme terkait apa saja yang sebenarnya bisa dipersoalkan dalam tahapan pemilu.
“Ini kan ibaratnya pertandingan, misalnya pertandingan sepak bola yang sudah ada jadwalnya. Lalu ada satu tim yang karena satu dan lain hal di internal mereka, tidak bisa mengikuti prosesnya, lalu menggugat seluruh desain, itu kan mengganggu,” ujarnya.
“Menurut saya, ke depan perlu ada kriteria yang jelas, apa yang bisa digugat dalam pemilu,” tambah Gaffar lagi. [ns/rs]
Forum