JAKARTA —
Sepanjang tahun 2013, Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA mencatat sekitar 370 konflik agraria terjadi di Indonesia dengan wilayah mencapai sekitar 1,3 juta hektar dan melibatkan sekitar 140 ribu kepala keluarga.
Dari konflik tersebut menurut Sekjen KPA, Iwan Nurdin, dalam diskusi di Jakarta Jumat, jumlah korban tewas 21 orang, 30 orang tertembak, 130 orang menjadi korban penganiayaan, serta 29 orang ditahan aparat keamanan. Dibanding tahun 2012, menurutnya, angka-angka tersebut meningkat. Ia menegaskan konflik agraria masih saja terjadi di tanah air karena tidak adanya keberpihakan pemerintah kepada rakyat memperoleh hak-hak untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“70 persen daratan kita itu diklaim oleh Undang-Undang 41 tahun 1999 sebagai kawasan hutan, kalau 70 persen daratan disebut kawasan hutan sementara ada 33 ribu paling sedikit di dalam kawasan hutan mereka itu kehilangan hak konstitusinya, tanahnya tidak bisa disertifikatkan, benda dan orang di dalam kawasan hutan itu disebut illegal. Lalu ada izin dari Jakarta nantinya kasih izin pinjam pakai untuk tambang dan sebagainya. Gimana tuh, ketika orang tiba-tiba tanya loh rakyat punya hak apa di atasnya, rakyat nggak punya hak apa-apa akhirnya di mata hukum. Karena kebijakan hukum yang semacam ini, 33 ribu desa itu secepatnya harusnya segera dilegalkan hak-hak di atas tanahnya, bukan soal rumah dan pekarangannya saja tetapi wilayah kelolanya, diregistrasi dan dilindungi hak-hak tersebut, ” kata Iwan.
Iwan Nurdin menambahkan rakyat terutama yang berada di desa bahkan di pedalaman kesulitan melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak didukung pemerintah. Menurutnya pemerintah lebih mengutamakan memberi hak guna usaha (HGU) kepada pengusaha dibanding kepada rakyatnya. Ia menambahkan program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI adalah contoh keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha. Melalui MP3EI, ditambahkannya, pengusaha skala besar mendapat berbagai proyek sementara rakyat akan merasakan dampak negatif dari proses implementasi MP3EI. Selain akan kehilangan tanah, ditegaskannya, dampak lain adalah usaha pertanian masyarakat akan hilang dan masyarakat akan menjadi buruh bangunan.
“Prioritas pengadaan tanah kita itu lebih diutamakan kepada ekspansi perusahaan skala besar karena akibat ketidakpercayaan yang sangat dominan. Pemerintah kita nggak mau kasih HGU untuk badan usaha milik petani, badan usaha milik rakyat, kreditnya nggak mau, pemerintah nggak mau melindungi itu, padahal di negara-negara lain kebun dan tanah prioritasnya untuk rakyat, juga soal tambang, dan MP3EI itu memfasilitasi jenis pembangunan yang semacam itu. Dia (pemerintah) khawatir bahwa infrastruktur jalan-jalan itu lubang-lubang bukan karena rakyat susah membawa barang-barangnya, batu bara, CPO nya susah lewatnya. Dia (pemerintah) nggak khawatir kalau sampai diujung kecamatan atau desa paling ujung Indonesia jualan buah-buahan impor, bukan itu yang dipikirkan, izin-izin jauh lebih mudah diberikan kepada perusahaan-perusahaan ketimbang melindungi hak-hak rakyat yang ada di atas sumber daya alam tersebut,”papar Iwan lebih lanjut.
Pada kesempatan sama, Koordinator KontraS, Haris Azhar mengatakan seharusnya pemerintah segera melakukan pemulihan dari dampak negatif yang selama ini terjadi akibat pembangunan berbagai proyek, dan bukan terus menerus melakukan ekspansi.
“Dalam catatan KontraS, kami mendeteksi sengketa yang mengandung kekerasan setiap tahun ada sekitar 35-an kasus, ini semua terjadi karena ada perubahan politik dan juga soal legislasinya di nasional maupun tingkatan local. Dalam lima tahun dan sudah dimulai tahun ini akan ada Rp 1.900 trilyun pembangunan infrastruktur. Itu semua akan bersengketa dengan tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat. Benturan makin banyak karena negara mau menghadirkan pembangunan, jembatan dan lain-lain semuanya, yang harus dilakukan pemulihan. Seharusnya pemerintah bukan bikin kebijakan ekspansif,” kata Haris.
Menurut catatan KPA pemerintah masih lemah dalam hal upaya menekan ego sektoral bidang agraria karena tidak sinergisnya koordinasi antar kementerian dan lembaga negara terkait.
Sementara KontraS mencatat perlu diperkuat peran negara melalui pendekatan perspektif HAM terhadap aparatur negara yang bekerja untuk melindungi warga sipil. Selain itu Kontras menegaskan kekerasan harus dihindari dalam membangun bisnis di Indonesia yang selama ini sering digunakan para pengusaha, diantaranya menggunakan premanisme dalam menghadapi masyarakat.
Dari konflik tersebut menurut Sekjen KPA, Iwan Nurdin, dalam diskusi di Jakarta Jumat, jumlah korban tewas 21 orang, 30 orang tertembak, 130 orang menjadi korban penganiayaan, serta 29 orang ditahan aparat keamanan. Dibanding tahun 2012, menurutnya, angka-angka tersebut meningkat. Ia menegaskan konflik agraria masih saja terjadi di tanah air karena tidak adanya keberpihakan pemerintah kepada rakyat memperoleh hak-hak untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“70 persen daratan kita itu diklaim oleh Undang-Undang 41 tahun 1999 sebagai kawasan hutan, kalau 70 persen daratan disebut kawasan hutan sementara ada 33 ribu paling sedikit di dalam kawasan hutan mereka itu kehilangan hak konstitusinya, tanahnya tidak bisa disertifikatkan, benda dan orang di dalam kawasan hutan itu disebut illegal. Lalu ada izin dari Jakarta nantinya kasih izin pinjam pakai untuk tambang dan sebagainya. Gimana tuh, ketika orang tiba-tiba tanya loh rakyat punya hak apa di atasnya, rakyat nggak punya hak apa-apa akhirnya di mata hukum. Karena kebijakan hukum yang semacam ini, 33 ribu desa itu secepatnya harusnya segera dilegalkan hak-hak di atas tanahnya, bukan soal rumah dan pekarangannya saja tetapi wilayah kelolanya, diregistrasi dan dilindungi hak-hak tersebut, ” kata Iwan.
Iwan Nurdin menambahkan rakyat terutama yang berada di desa bahkan di pedalaman kesulitan melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak didukung pemerintah. Menurutnya pemerintah lebih mengutamakan memberi hak guna usaha (HGU) kepada pengusaha dibanding kepada rakyatnya. Ia menambahkan program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI adalah contoh keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha. Melalui MP3EI, ditambahkannya, pengusaha skala besar mendapat berbagai proyek sementara rakyat akan merasakan dampak negatif dari proses implementasi MP3EI. Selain akan kehilangan tanah, ditegaskannya, dampak lain adalah usaha pertanian masyarakat akan hilang dan masyarakat akan menjadi buruh bangunan.
“Prioritas pengadaan tanah kita itu lebih diutamakan kepada ekspansi perusahaan skala besar karena akibat ketidakpercayaan yang sangat dominan. Pemerintah kita nggak mau kasih HGU untuk badan usaha milik petani, badan usaha milik rakyat, kreditnya nggak mau, pemerintah nggak mau melindungi itu, padahal di negara-negara lain kebun dan tanah prioritasnya untuk rakyat, juga soal tambang, dan MP3EI itu memfasilitasi jenis pembangunan yang semacam itu. Dia (pemerintah) khawatir bahwa infrastruktur jalan-jalan itu lubang-lubang bukan karena rakyat susah membawa barang-barangnya, batu bara, CPO nya susah lewatnya. Dia (pemerintah) nggak khawatir kalau sampai diujung kecamatan atau desa paling ujung Indonesia jualan buah-buahan impor, bukan itu yang dipikirkan, izin-izin jauh lebih mudah diberikan kepada perusahaan-perusahaan ketimbang melindungi hak-hak rakyat yang ada di atas sumber daya alam tersebut,”papar Iwan lebih lanjut.
Pada kesempatan sama, Koordinator KontraS, Haris Azhar mengatakan seharusnya pemerintah segera melakukan pemulihan dari dampak negatif yang selama ini terjadi akibat pembangunan berbagai proyek, dan bukan terus menerus melakukan ekspansi.
“Dalam catatan KontraS, kami mendeteksi sengketa yang mengandung kekerasan setiap tahun ada sekitar 35-an kasus, ini semua terjadi karena ada perubahan politik dan juga soal legislasinya di nasional maupun tingkatan local. Dalam lima tahun dan sudah dimulai tahun ini akan ada Rp 1.900 trilyun pembangunan infrastruktur. Itu semua akan bersengketa dengan tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat. Benturan makin banyak karena negara mau menghadirkan pembangunan, jembatan dan lain-lain semuanya, yang harus dilakukan pemulihan. Seharusnya pemerintah bukan bikin kebijakan ekspansif,” kata Haris.
Menurut catatan KPA pemerintah masih lemah dalam hal upaya menekan ego sektoral bidang agraria karena tidak sinergisnya koordinasi antar kementerian dan lembaga negara terkait.
Sementara KontraS mencatat perlu diperkuat peran negara melalui pendekatan perspektif HAM terhadap aparatur negara yang bekerja untuk melindungi warga sipil. Selain itu Kontras menegaskan kekerasan harus dihindari dalam membangun bisnis di Indonesia yang selama ini sering digunakan para pengusaha, diantaranya menggunakan premanisme dalam menghadapi masyarakat.