Isu Iklim
Kesepakatan Iklim COP29 $300 Miliar Picu Kemarahan dan Harapan
Negara-negara berkembang dan terbelakang memperdebatkan target baru pendanaan ramah lingkungan dan secara konsisten menyerukan pendanaan iklim dalam bentuk hibah publik.
Kemarahan dan frustrasi dari negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak iklim, kemungkinan akan berlanjut setelah pertemuan puncak perubahan iklim di Azerbaijan, COP29 berakhir.
Negara-negara yang ikut dalam KTT itu menawarkan target keuangan dunia sebesar $300 miliar untuk membantu negara-negara miskin mengatasi perubahan iklim, sebuah kesepakatan yang oleh banyak negara-negara penerimanya dikecam sebagai hal yang sangat tidak memadai.
Negara-negara maju, yang secara historis merupakan penghasil emisi yang bertanggung jawab atas pemanasan global, pada hari Minggu sepakat menjanjikan $300 miliar per tahun, hingga tahun 2035 bagi negara-negara berkembang untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim. Angka itu kurang dari seperempat jumlah $1,3 triliun yang dibutuhkan setiap tahun untuk mengurangi emisi dan membangun ketahanan di negara-negara rentan.
Dana $300 miliar itu juga merupakan peningkatan sebesar $200 miliar per tahun dari perjanjian yang ditetapkan sejak tahun 2009 dan akan berakhir masa berlakunya.
Kekecewaan dan kemarahan besar dari negara-negara berkembang dan terbelakang diungkapkan pada sidang penutupan, di mana beberapa perwakilan nasional menyebut penerapan paket pendanaan baru itu “menghina.”
“Kami sangat kecewa,” kata perunding India Chandni Raina, yang menyebut angka tersebut “sangat buruk.”
Peserta dari Kuba, Pedro Luis Pedroso, menggambarkan kesepakatan itu sebagai “kolonialisme lingkungan hidup,” dan menyatakan bahwa jika memperhitungkan inflasi saat ini, pendanaan yang dijanjikan adalah lebih rendah dari $100 miliar yang disepakati pada tahun 2009.
Perunding Bolivia menyebut kesepakatan itu “menghina” negara-negara berkembang.
Beberapa perwakilan negara Barat lebih optimistis.
“COP29 akan dikenang sebagai era baru pendanaan iklim,” kata perunding iklim utama UE, Wopke Hoekstra, sambil menyebut jumlah target itu “ambisius” dan “dapat dicapai.”
Beberapa pakar mengatakan kepada VOA, struktur dan komposisi kesepakatan bernilai $300 miliar itu lebih penting daripada angka keuangan sebenarnya. Kesepakatan akhir itu memungkinkan sumber dana negara dan swasta digunakan untuk mendukung upaya-upaya persiapan iklim di negara-negara berkembang.
Para perunding dari negara-negara berkembang menyatakan keprihatinan mereka bahwa sumber-sumber pendanaan swasta bisa datang dalam bentuk pinjaman yang lebih banyak. Fakta ini bisa membuat utang negara-negara miskin makin menumpuk. Mereka lebih menyukai pendanaan dalam bentuk hibah.
Negara-negara berkembang dan terbelakang memperdebatkan target baru pendanaan ramah lingkungan dan secara konsisten menyerukan pendanaan iklim dalam bentuk hibah publik. Perundingan yang penuh ketegangan selama seminggu terakhir itu ditambah dua hari dan mencakup setidaknya satu episode, di mana para perunding dari negara-negara kepulauan kecil dan beberapa negara termiskin di dunia, keluar dari ruang pertemuan dengan negara-negara kaya, sebagai bentuk protes. Mereka menegaskan bahwa suara dan pandangan mereka tidak didengar. [ps/ab]
See all News Updates of the Day
Hutan Amazon Brasil Alami Kebakaran Terbanyak dalam 17 Tahun
Terdapat 140.328 kebakaran yang terdeteksi oleh pencitraan satelit sepanjang tahun lalu, menurut Institut Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa (INPE) Brasil
Hutan hujan Amazon Brasil mencatat jumlah kebakaran tertinggi dalam 17 tahun terakhir pada 2024, menurut data pemerintah yang dipublikasikan pada Rabu (1/1), setelah bioma yang luas itu mengalami kekeringan panjang selama berbulan-bulan.
Bioma adalah wilayah geografis yang luas yang memiliki kondisi lingkungan tertentu dan dihuni oleh komunitas flora dan fauna yang khas.
Terdapat 140.328 kebakaran yang terdeteksi oleh pencitraan satelit sepanjang tahun lalu, menurut Institut Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa (INPE) Brasil.
Jumlah itu 42 persen lebih banyak daripada 98.634 kebakaran yang tercatat pada 2023 - dan yang terbanyak sejak tahun 2007, ketika 186.463 kebakaran hutan tercatat pada saat itu.
Meskipun jumlah kebakaran tinggi, ada indikasi bahwa total area yang mengalami deforestasi bisa menjadi yang terendah dalam beberapa tahun.
Pada awal November, INPE mengatakan deforestasi di wilayah tersebut dalam periode 12 bulan hingga Agustus 2024 telah turun lebih dari 30 persen, dari tahun ke tahun, dan berada pada jumlah terendah dalam sembilan tahun.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva telah menjadikan pelestarian Amazon sebagai prioritas bagi pemerintahannya, yang pada November tahun ini akan menjadi tuan rumah konferensi iklim COP30 PBB di Kota Belem, Amazon.
Pemantau iklim Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus Uni Eropa, mengatakan bulan lalu bahwa kekeringan parah telah memicu kebakaran hutan di seluruh Amerika Selatan pada 2024.
Gumpalan asap tebal terkadang menyelimuti kota-kota besar termasuk Brasilia, Rio de Janeiro, dan Sao Paulo tahun lalu, dengan polusi yang menyesakkan yang bertahan selama beberapa pekan.
Kekeringan telah melanda wilayah Amazon sejak pertengahan 2023, didorong oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dan fenomena pemanasan El Nino.
Situasi tersebut membantu menciptakan kondisi untuk kebakaran besar, tetapi para ahli mengatakan bahwa sebagian besar kebakaran sengaja dilakukan oleh petani untuk membuka lahan untuk pertanian.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa penggundulan hutan yang terus berlanjut akan menempatkan Amazon berada di jalur menuju titik di mana dia akan mengeluarkan lebih banyak karbon daripada yang diserapnya, yang mempercepat perubahan iklim. [ns/uh]
Rencana Energi Trump akan Hadapi Banyak Tantangan
Pendekatan yang berbeda terhadap energi merupakan inti dari janji Presiden terpilih Donald Trump untuk menurunkan biaya hidup masyarakat Amerika. Namunrencana Trump ini tidak akan mudah direalisasikan mengingat ketergantungan global yang kompleks terhadap pasokan minyak dan gas.
Trump yang akan dilantik pada 20 Januari menjanjikan biaya energi yang lebih rendah dalam kampanye kepresidenannya Agustus lalu.
“Upaya kita untuk menurunkan biaya hidup akan menjadi upaya habis-habisan untuk mengakhiri perang Biden-Harris terhadap energi Amerika. Kita akan mengebor, kita akan mengebor," kata Trump.
Trump berencana meningkatkan pasokan minyak dengan mempercepat izin pengeboran dan meningkatkan eksplorasi minyak di lepas pantai Amerika Serikat.
Beberapa analis mengatakan langkah tersebut akan mendapat penolakan dari perusahaan-perusahaan minyak.
James Coleman, pakar hukum energi dan infrastruktur di Universitas Minnesota, menjelaskan alasannya.
“Kita tidak memiliki cara untuk memaksa negara-negara, untuk memaksa perusahaan-perusahaan melakukan pengeboran minyak lebih banyak. Dan sering kali para investor memiliki kekhawatiran mereka sendiri soal 'Jika produksi minyak terlalu banyak, harga minyak mungkin akan turun,'" tutur Coleman.
Trump juga mengusulkan perluasan ekspor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG).
Menteri Energi Qatar Saad Sherida al-Kaabi, mengatakan sebelumnya bulan ini bahwa dia tidak khawatir dengan janji Trump untuk mencabut pembatasan ekspor LNG.
“LNG tambahan, kompetisi tambahan, kami sambut baik. Bahkan jika Anda mencabut batasan ekspor LNG dan mengatakan kita akan mengekspor 300 juta ton lagi dari Amerika atau 500 juta ton dari Amerika. Semua proyek ini dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang mempertimbangkan kelayakan komersial dari proyek-proyek tersebut," kata al-Kaabi.
Christ Wright, pilihan Trump untuk Departemen Energi, tidak mempercayai bahwa dunia saat ini sedang menghadapi krisis iklim. Dalam sebuah dialog sebelumnya tahun ini, Wright, yang juga kepala eksekutif (CEO) perusahaan jasa lapangan minyak, diserang anggota Kongres dari Partai Demokrat Sean Casten terkait pernyataannya tentang perubahan iklim.
“Anda berkata, 'Tidak ada krisis iklim. Kita juga tidak berada di tengah-tengah transisi energi. Manusia dan kehidupan yang kompleks tidak mungkin terjadi tanpa karbon dioksida. Gagasan mengenai polusi karbon sungguh keterlaluan.' Anda setuju Anda mengatakan semua itu?" kata Casten.
Menurut Coleman dari Universitas Minnesota, banyak rencana energi Trump tidak dapat terwujud tanpa kerja sama dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen-produsen minyak lainnya.
“Kita mengekspor banyak produk energi ke Kanada dan Meksiko. Jika ada tarif balasan dari negara-negara tersebut, itu dapat berdampak negatif pada produsen-produsen kita. Jadi saya kira sebagian besar industri energi berharap ini hanya semacam gertakan," kata Coleman.
Berbeda sekali dengan pemerintahan Biden yang memprioritaskan energi terbarukan dan memerangi perubahan iklim, Trump juga diperkirakan akan memotong kredit pajak untuk kendaraan listrik. [ab/uh]
China Berencana Bangun Bendungan PLTA Terbesar di Tibet
Bendungan PLTA itu diperkirakan akan mempengaruhi kehidupan jutaan orang di hilir sungai di India dan Bangladesh.
China telah menyetujui pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terbesar di dunia. Hal itu menandai dimulainya proyek ambisius di tepi timur dataran tinggi Tibet yang dapat berdampak pada jutaan orang di hilir India dan Bangladesh.
Menurut perkiraan yang diberikan oleh Power Construction Corp of China pada 2020, bendungan yang akan berlokasi di bagian hilir Sungai Yarlung Zangbo tersebut, dapat menghasilkan 300 miliar kilowatt-jam (kWh) listrik setiap tahunnya.
Kapasitas PLTA itu lebih dari tiga kali lipat kapasitas bendungan Tiga Ngarai (Three Gorges Dam) di China tengah, yang saat ini merupakan bendungan terbesar di dunia dengan kapasitas pembangkitan sebesar 88,2 miliar kWh.
Proyek tersebut akan memainkan peran utama dalam memenuhi tujuan puncak karbon dan netralitas karbon di China, menstimulasi industri terkait seperti teknik, dan menciptakan lapangan kerja di Tibet, kata kantor berita resmi Xinhua, Rabu (25/12).
Salah satu bagian dari air terjun Yarlung Zangbo memiliki ketinggian dramatis sekitar 2.000 meter dalam jarak pendek 50 kilometer, menawarkan potensi pembangkit listrik tenaga air yang sangat besar dan tantangan teknis yang unik.
Pengeluaran untuk pembangunan bendungan, termasuk biaya teknik, juga diperkirakan melebihi biaya pembangunan bendungan Tiga Ngarai, yang menelan biaya 254,2 miliar yuan, atau sekitar Rp 564,7 triliun. Angka itu termasuk pemukiman kembali 1,4 juta orang yang terpaksa mengungsi dan jumlah ini empat kali lipat dari perkiraan awal sebesar $7,8 miliar (setara Rp 126 triliun).
Pihak berwenang belum memberi perkiraan berapa banyak orang yang akan tergusur oleh proyek Tibet dan bagaimana hal itu akan berdampak pada ekosistem lokal, salah satu ekosistem terkaya dan paling beragam di dataran tinggi tersebut.
Namun menurut para pejabat China, proyek pembangkit listrik tenaga air di Tibet, tidak akan berdampak besar terhadap lingkungan atau pasokan air di hilir. Menurut China, proyek itu memiliki lebih dari sepertiga potensi pembangkit listrik tenaga air di China,
Meskipun demikian, India dan Bangladesh telah menyampaikan kekhawatirannya mengenai bendungan tersebut, karena proyek tersebut berpotensi mengubah tidak hanya ekologi lokal tetapi juga aliran dan arah aliran sungai di hilir.
Yarlung Zangbo menjadi sungai Brahmaputra saat meninggalkan Tibet dan mengalir ke selatan menuju negara bagian Arunachal Pradesh dan Assam di India dan akhirnya ke Bangladesh.
China telah memulai pembangkit listrik tenaga air di hulu Yarlung Zangbo, yang mengalir dari barat ke timur Tibet. Negara itu merencanakan lebih banyak proyek di hulu. [ft/es]
- Rio Tuasikal
Sawit Indonesia Dicermati Pasca Penundaan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa
Usai penundaan pemberlakuan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) hingga akhir 2025, organisasi lingkungan mengkhawatirkan berlanjutnya penggundulan hutan di Indonesia. Mereka pun mendorong perbaikan tata kelola sawit di Indonesia, mengikuti standar Uni Eropa.
Penggunaan Batu Bara Capai Rekor Baru pada 2024
Penggunaan batu bara bergantung pada China, yang selama seperempat abad terakhir telah mengonsumsi batu bara 30 persen lebih banyak dibandingkan gabungan negara-negara lain di dunia.
Badan Energi Internasional (International Energy Agency /IEA) mengatakan pada Rabu (18/12) bahwa penggunaan batu bara dunia akan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada 2024, tahun yang pasti akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah.
Meskipun ada seruan untuk menghentikan pembakaran bahan bakar fosil paling kotor yang menyebabkan perubahan iklim, badan pengawas energi tersebut memperkirakan permintaan batu bara global akan mencapai rekor tertinggi selama tiga tahun berturut-turut.
Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global harus dikurangi secara drastis untuk membatasi pemanasan global guna menghindari dampak bencana terhadap Bumi dan umat manusia.
Sebelumnya pada Desember, pemantau iklim Uni Eropa Copernicus mengatakan 2024 “pasti” akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat – melampaui rekor yang dicetak tahun lalu.
Diterbitkan pada Rabu, laporan “Batu bara 2024” IEA memperkirakan penggunaan batu bara dunia akan mencapai puncak pada 2027 setelah mencapai 8,77 miliar ton pada tahun ini.
Namun hal ini bergantung pada China, yang selama seperempat abad terakhir telah mengonsumsi batu bara 30 persen lebih banyak dibandingkan gabungan negara-negara lain di dunia, kata IEA.
Meningkatnya permintaan listrik di China merupakan pendorong paling signifikan di balik peningkatan tersebut, dengan lebih dari sepertiga batu bara yang dibakar di seluruh dunia dikarbonisasi di pembangkit-pembangkit listrik di negara tersebut.
Permintaan China Tembus Rekor Baru
Meskipun Beijing telah berupaya melakukan diversifikasi sumber listriknya, termasuk perluasan besar-besaran penggunaan tenaga surya dan angin, IEA mengatakan permintaan batu bara China pada tahun masih akan mencapai 4,9 miliar ton – yang merupakan rekor baru.
Meningkatnya permintaan batu bara di China, serta di negara-negara berkembang seperti India dan Indonesia, mengimbangi penurunan yang terus terjadi di negara-negara maju.
Namun penurunan tersebut melambat di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Penggunaan batu bara di kedua wilayah itu diperkirakan akan menurun masing-masing sebesar 12 dan lima persen, dibandingkan dengan 23 dan 17 persen pada 2023.
Dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dalam waktu dekat banyak ilmuwan khawatir bahwa kepemimpinan Trump yang kedua akan melemahkan komitmen iklim negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Trump berulang kali menyebut perubahan iklim adalah "hoaks."
Penambangan batu bara juga mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mencapai produksi sebesar sembilan miliar ton untuk pertama kalinya, kata IEA. Produsen utama batu bara dunia, yaitu China, India dan Indonesia semuanya mencatat rekor produksi baru. [ft/rs]
Forum