Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan industri minuman alkohol menjadi bidang usaha yang tertutup untuk investasi. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2021 yang telah ditandatanganinya dan berlaku sejak diundangkan pada 25 Mei 2021.
Perpres ini merupakan revisi dari Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja.
“Bahwa dalam rangka pembatasan pelaksanaan Penanaman Modal serta pengendalian dan pengawasan minuman yang mengandung alkohol, perlu dilakukan perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2O21 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal,” demikian bunyi salah satu pertimbangan yang dikutip VOA, di Jakarta, Selasa (8/6).
Dalam pasal 2 ayat (2) huruf b Perpres Nomor 49 Tahun 2021 disebutkan bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal adalah Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol (KBLI 11010), Industri Minuman Mengandung Alkohol: Anggur (KBLI 11020), dan Industri Minuman Mengandung Malt (KBLr 1 1031).
Sebelumnya, dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 disebutkan bahwa penanaman modal pada ketiga sektor ini masih diperbolehkan apabila investasi dilakukan di empat provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua. Namun, peraturan ini menuai ktirik dari berbagai pihak terutama organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Jokowi pun pada Maret lalu mengatakan akan mencabut aturan tersebut karena mempertimbangkan sejumlah usulan dari berbagai pihak.
“Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," kata Jokowi lewat tayangan video YouTube Sekretariat Presiden, di Jakarta, Selasa (2/3).
Kepercayaan Investor
Dihubungi oleh VOA, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI), Ipung Nimpun, mengatakan revisi Perpres terkait investasi untuk industri minuman beralkohol tersebut bisa menimbulkan preseden yang kurang baik di mata investor. Menurutnya, perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak konsisten dengan peraturan yang dibuat.
Dia mengatakan seharusnya pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk masukan dari para pakar, sebelum mengeluarkan sebuah peraturan.
“Itu menurut saya bisa jadi preseden yang kurang bagus dimata investor domestik dan internasional karena kalau ada investor yang mau investasi, itu berpikir jangan-jangan nanti setelah saya investasi besar, tahu-tahu peraturannya dicabut,” ujar Ipung.
Ipung menilai Perpres Nomor 10 Tahun 2021 ini sebenarnya bisa mengembangkan industri minuman beralkohol tradisional seperti arak Bali dan Cap Tikus yang merupakan minuman beralkohol tradisionaldari Minahasa. Dengan aturan itu, industry minumam beralkohol tradisional bisa mendapatkan kepastian berusaha dan kepastian hukum.
Lanjutnya, dengan membuka keran investasi di industri tersebut justru akan menguntungkan bagi Indonesia seperti misalnya membuka lapangan kerja yang lebih luas bagi masyarakat.
“Misalnya, dari Eropa yang biasa mengekspor minuman beralkohol masuk ke Indonesia, karena di sini kan belum ada produk sekelas itu, sehingga perlu ada impor," kata Ipung.
Menurutnya, jika investor melihat adanya peluang ekonomi dalam hal ini, maka mereka dapat berinvestasi dengan membuat pabrik alkohol, misalnya untuk diproduksi dan dipasarkan di Tanah Air, atau bahkan di kawasan Asia.
"Itu akan menguntungkan Indonesia dari sisi investasi, seperti rekrutmen tenaga kerja, misalnya. Sekarang memang repotnya itu kalau ditarik ke ranah di luar bisnis, misalnya, ranah agama tertentu, ya memang susah kalau suatu industri itu dikait-kaitkan dengan yang diluar ranahnya,” pungkasnya. [gi/ft]