Harga emas diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi lagi tahun ini, meski ada penurunan permintaan fisik, kata konsultan Metals Focus, akibat prospek penurunan suku bunga di tengah ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China, serta konflik di Ukraina dan Timur Tengah.
Dalam laporan tahunannya yang dirilis pada Kamis (6/6), Metals Focus memperkirakan permintaan emas akan turun 2 persen menjadi 4.639 metrik ton tahun ini, dengan produksi perhiasan yang lebih sedikit, investasi fisik bersih yang menurun, dan berkurangnya minat bank sentral.
Permintaan terhadap safe haven (aset aman) yang didorong oleh ketidakpastian geopolitik dan ekonomi, serta pembelian oleh bank sentral yang terus-menerus, berkontribusi pada kenaikan harga emas secara signifikan dari Maret hingga Mei, sehingga harga pasarnya mencapai rekor sebesar $2.449,89 (setara Rp 39 juta) per troy ounce pada 20 Mei.
“Meski ada risiko penurunan harga dalam waktu dekat, kami yakin bahwa harganya akan mencapai rekor baru sebelum akhir tahun, dan rata-ratanya mencapai $2.250 (Rp 36 juta) untuk satu tahun penuh, mencetak rekor rata-rata tahunan baru,” kata Metals Focus.
Selain itu, sentimen positif terhadap emas didorong oleh kekhawatiran atas utang pemerintah AS, antisipasi penurunan suku bunga, meningkatnya ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi.
Dari segi analisis fundamental, permintaan dari bank sentral tetap jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum 2022, ketika pihak bank mempercepat pembelian untuk mendiversifikasi cadangan mata uang asing, yang menyokong naiknya harga emas.
“Koreksi (harga) jangka pendek mungkin terjadi, karena para pemain taktis mengambil untung, atau mungkin dipicu likuidasi dalam ekuitas,” kata Metals Focus.
“Namun penurunannya harus dibatasi, karena masih ada investor yang menunggu peluang untuk memasuki pasar.”
Sementara itu, menurut Metals Focus, pasokan emas mungkin akan naik 3 persen menjadi 5.083 ton tahun ini, dengan produksi tambang dan daur ulang yang lebih tinggi. (br/jm)
Forum