Kawasan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat mulai mengenal batik pada sekitar tahun 1800. Para penyebar agama dari Pantai Utara Jawa Tengah, seperti Lasem dan Rembang, datang ke sana untuk mendirikan pesantren. Berawal dari santri belajar membatik, Ciwaringin tahun demi tahun berkembang menjadi pusat batik Cirebon.
Ketika pewarna sintetis mulai digunakan dan sistem produksi menggunakan cap diterapkan, ciri khas batik tulis Ciwaringin hilang. Pada sisi lain, lingkungan mengalami kerusakan akibat limbah industri batik. Muncul kesadaran kembali pada tradisi batik tulis dengan pewarna alami seperti ratusan tahun lalu. Rintisan awal didukung melalui program tanggung jawab sosial perusahaan semen, seperti dipaparkan Misnen, pembimbing perajin batik Ciwaringin.
“Kita mengadakan pelatihan, waktu itu kita punya rumah budaya untuk belajar membatik di Indocement. Kemudian kita perkenalkan ekonomi produksi bersih yang termasuk juga IPAL-nya, kemudian ada warna alami. Kemudian tahun 2013 sampai 2018 dengan UGM untuk membuat batik tulis pewarna alam,” kata Misnen.
Misnen memaparkan pengalamannya menghadiri peresmian Institut Pewarnaan Alami Indonesia/Indonesia Natural Dye Institute (INDI), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (10/12). Selain peneliti yang tergabung dalam INDI, hadir sejumlah pihak terkait industri batik dan pewarna alami.
Bukan Proses Mudah
Misnen menambahkan, kembali ke bahan pewarna alami memerlukan upaya luar biasa. Mapan dengan produksi batik warna sintetis, perajin di Ciwaringin ragu-ragu menerima ajakan ke proses ramah lingkungan. Tampilan batik alami yang mudah pudar, pasar yang belum terpetakan dengan baik, termasuk mengakrabi kembali teknik manual atau batik tulis, menjadi tantangan tersendiri.
Seiring waktu, kata Misnen, melihat dampak bagi lingkungan sekitar dan harga jual produk berlipat, tren ini dapat diterima. Kini, 90 persen pembatik Ciwaringin kembali memproduksi batik tulis khusus dengan pewarna alami. Pada Desember 2017, Ciwaringin mendeklarasikan diri sebagai pusat batik pewarna alami. Pada Maret 2019, mereka menerima sertifikat eco label dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sejauh ini, daun yang sudah dimanfaatkan sebagai pewarna batik adalah mangga, indigo (nila), jambu dan ketapang. Mahoni, nangka, tegeran, merbau, tingi dan jolawe diambil kulit batang kayunya. Sedangkan rambutan, manggis, jengkol, tepes dan kelapa dimanfaatkan kulit buahnya.
“Benar-benar limbah yang dimanfaatkan kembali. Dan sumbernya bisa dari bagian daun, kulit batang dan kulit buah, bahkan jengkol dan rambutan ketika musimnya. Yang paling banyak memang mahoni dan indigo sama mangga. Hasil kajian kita pernah mengeksplorasi sekitar 23 jenis tanaman di sana yang bisa dipakai,” kata Misnen.
Daerah yang juga tergerak adalah Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Sleman, Pustopo berbicara mengenai tata kelola batik ramah lingkungan yang mereka upayakan. Langkah ini tidak terlepas dari dampak buruk industri batik pewarna sintetis di kawasan tersebut.
“Batik Sleman dengan warna sintetis jumlahnya kita identifikasi 50 kelompok. Kalau satu kelompok ada 20 orang, sudah berapa? Kalau dia memproduksi setiap hari dengan sintentis, kemudian limbahnya dibuang begitu saja, minimal sumur miliknya sendiri akan tercemar. Dan lebih tragis, perajin batik itu kecenderungannya mendekati daerah aliran sungai. Bagaimana kalau itu dibuang ke aliran sungai?,” tandas Pustopo.
Pustopo menceritakan, pernah ada keluh kesah mengenai aliran sungai di suatu area yang berwarna-warni mengikuti jenis limbah batik yang dibuang. Padahal, Sleman berada di kaki Gunung Merapi, dimana sungai-sungainya mengalir melewati Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul di hilir. Kondisi semacam itu tentu akan menimbulkan protes dari masyarakat di kawasan lebih rendah.
“Karena itulah kita membuat regulasi, tata kelola batik. Wajib menggunakan green batik. Boleh memproduksi dengan warna sintesis, tetapi minimal separuh harus green batik,” ujar Pustopo.
Pengembangan Skala Industri
Ai Sugiura dari kantor UNESCO Jakarta, memberi apresiasi positif terhadap pengembangan batik ramah lingkungan. Menurut Sugiura, model yang digunakan sebagai panduan dalam pembuatan keputusan adalah apa yang disebut sebagai ekonomi sirkular.
“Dalam model ini, pengelolaan limbah, desain produk hulu, dan pengembangan layanan dibuat dengan upaya memperpanjang masa guna produk, mengurangi penggunaan sumber daya alam, dan pada sisi lain menciptakan lapangan kerja dan mendukung upaya pengurangan kemiskinan,” kata Sugiura.
Skema ini memiliki keuntungan, kata Sugiura, yaitu meminimalkan polusi, limbah dan penggunaan bahan baku; menjamin kelestarian lingkungan dan menaikkan daya saing; serta membuka pasar baru, kesempatan kerja dan menciptakan manfaat sosial.
Dari sisi teknologi, Politeknik ATMI, Solo turut mengambil peran, seperti disampaikan Aryono Setiaji. Menurutnya, diperlukan rekayasa mesin baru untuk mendukung penggunaan pewarna alami. Mesin untuk pewarnaan sintetis, tidak bisa dipakai untuk warna alami karena karakter keduanya berbeda.
“Kami sebagai perekayasa memang betul-betul harus berkolaborasi. Jadi memang itu kolaborasi yang harus intens, supaya kita bisa mengkreasikan mesin baru yang cocok dan kemudian siap untuk dikomersialisasikan. Untuk realisasi prototyping mesin pertama ini kami targetkan antara 6 sampai 8 bulan,” ujar Aryono.
Produsen busana H&M dari Swedia telah sepakat untuk terlibat dalam pengembangan pewarnaan alami ini. Menurut Aryono, pemegang merk itu telah memahami bahwa masa depan bisnis busana dengan pewarna alami cukup baik. Tantangan ke depan, lanjut Aryono, justru mengubah pola pikir konsumen, agar bisa menerima produk ramah lingkungan meskipun harganya lebih tinggi.
Bukan Tren Baru
Penggunaan pewarna alami sebenarnya adalah langkah kembali ke tradisi masyarakat Indonesia pada masa lalu. Di Indonesia saja, setidaknya ada lebih dari 200 jenis kain tradisional dengan teknik pewarnaan alami. Hal itu disampaikan Sukmono Fajar Turido dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ada banyak faktor dimana tradisi pewarnaan alami itu mengalami penurunan. Salah satunya adalah hilangnya tanaman tradisional, ketika hutan menjadi perkebunan di berbagai wilayah. Selain itu, pola pewarisan kekayaan tekstil tradisional juga dilakukan dengan kurang maksimal.
“Kalau kita melihat ibu-ibu duduk di teras rumah adat, bersenandung menggendong bayi sambil menenun kain, kita anggap itu mengisi waktu luang, tidak bekerja. Tetapi dalam konteks kebudayaan, mereka profesional. Justru saat menenun itu, mereka mewariskan nilai-nilai. Jadi, sudut pandang kita harus berubah,” kata Fajar.
Antropolog UGM, PM Laksono memaparkan bagaimana warna memiliki peran besar dalam masyarakat tradisional. Dalam berbagai upacara adat misalnya, makanan disajikan dalam satu warna untuk mewakili filosofi tertentu. Dalam masyarakat Jawa, setidaknya dikenal lima warna atau Pancawarna, yaitu hitam, merah, kuning, putih, dan satu warna campuran dari empat warna tersebut.
“Keempat warna itu adalah gambaran hati nurani manusia,” ujar PM Laksono.
Karena berasal dari bahan alami, masyarakat tradisional percaya bahwa warna datang dari matahari melalui proses fotosintesis. Para ahli warna, yang mampu memunculkan warna-warni dari bahan alam, memiliki posisi sosial cukup tinggi.
“Para penemu warna zaman dahulu itu sering disamakan dengan orang yang sakti, alkemis. Karena dia bisa secara ajaib memindahkan warna yang ada pada proses alami ke dalam substansi material, dalam kain, dan semacamnya. Ahli warna itu statusnya tinggi sekali,” tambahnya.
Namun, posisi itu mulai berubah pada pertengahan abad ke-19, ketika warna sintetis mulai digunakan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Maka, jika sekarang tren kembali ke warna alami digemari masyarakat, sebenarnya mereka kembali pada tradisi. Langkah itu, kata Laksono, menjadi bagian dari upaya masyarakat untuk hidup lebih selaras dengan alam. [ns/ka]