Georgia berencana mengadopsi RUU “Pengaruh Asing” pada Selasa, meskipun ada protes massal menentang UU yang dikritik karena mencerminkan undang-undang Rusia yang penuh tekanan.
Ribuan warga Georgia, terutama anak muda, melakukan demonstrasi di luar gedung parlemen selama tiga malam berturut-turut. Mereka juga telah berjanji untuk kembali beraksi, ketika anggota parlemen dijadwalkan hadir pada Selasa, untuk meloloskan undang-undang yang kontroversial ini.
Perdana Menteri Georgia, Irakli Kobakhidze berjanji pada Senin, untuk mendorong RUU ini dalam sidang ketiga.
“Besok, parlemen Georgia akan bertindak atas nama keinginan dari mayoritas rakyat dan mengesahkan undang-undang itu,” kata dia.
Dia memperingatkan bahwa jika pihak berwenang tidak mendukung RUU itu, Georgia akan kehilangan kedaulatannya, dan “dengan mudah akan berbagi takdir seperti Ukraina”, meskipun belum begitu jelas apa yang dia maksud dengan hal itu.
RUU ini memerintahkan organisasi nonpemerintah dan media yang menerima lebih dari 20 persen pendanaan dari luar negeri, untuk mendaftarkan diri sebagai lembaga “yang memperjuangkan kepentingan kekuatan asing”.
Rusia menggunakan aturan hukum sejenis untuk menindas perbedaan.
Demonstran diperkirakan akan menggelar aksi baru pada Selasa di ibu kota, Tbilisi.
“Mereka akan meloloskan undang-undang ini dan kita harus menunjukkan protes kita,” kata Levan Avalishvili, 57 tahun, yang meninggalkan area parlemen sebelum tengah malam pada Senin, dan berjanji bahwa dia akan kembali esok harinya.
Banyak yang khawatir akan terjadi kekerasan, dengan ketegangan yang meningkat dan polisi memukuli sekelompok demonstran yang ditahan menjelang fajar pada Senin.
Negara Kaukasus ini telah mengalami rangkaian demonstrasi selama lebih sebulan sejak partai Impian Georgia yang berkuasa, mengajukan kembali RUU dalam sebuah upaya yang mengejutkan, setahun setelah ditunda karena penolakan yang besar.
Pada penolak RUU ini khawatir bahwa aturan hukum ini akan membuat Tbilisi keluar dari jalurnya, dalam upaya bergabung dengan Uni Eropa dan sangat mengikis demokrasi di negara kecil tersebut.
Mereka juga menuduh bahwa partai yang berkuasa mencoba untuk menggerakkan negara di Laut Hitam itu lebih dekat ke Rusia.
Partai yang berkuasa sejak 2012 ini telah mempertahankan RUU tersebut dengan alasan kepentingan kedaulatan negara.
Bidzina Ivanishvili, miliarder yang mendukung upaya ini dan mengumpulkan kekayaannya di Rusia, telah menuduh organisasi nonpemerintah merencanakan sebuah revolusi dan menjadi boneka asing.
Dia telah dituduh berpihak kepada Rusia, dan tidak secara terbuka mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. [ns/uh]
Forum