Meskipun telah lebih dari 30 kali diajukan oleh beragam individu dan kelompok penggiat demokrasi, dan selalu kandas dengan berbagai pertimbangan hukum, empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tidak menyurutkan langkah untuk kembali menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7/Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait syarat persentase ambang batas presiden atau presidential threshold.
Di luar dugaan, Mahkamah Konstitusi (MK) kali ini mengabulkan gugatan itu dan menghapus ketentuan soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.
Pasal 222 yang berbunyi “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya,” dinilai bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menurut MK memberi hak kepada partai politik yang ikut bertarung dalam pemilu untuk mengajukan calon presiden dan wakil presidennya.
Dalam putusannya pada 2 Januari lalu, MK menilai aturan ambang batas yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu itu justru hanya bisa digunakan oleh partai besar atau koalisi partai yang memenuhi syarat. Hal yang jelas bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Pengamat: DPR Harus Gerak Cepat
Diwawancarai melalui telepon, pengamat politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli menilai putusan MK itu merupakan hadiah terindah bagi demokrasi pemilu Indonesia, dan sedianya ditindaklanjuti serius oleh DPR sebagai pembuat UU Pemilu, dengan membuka ruang demokrasi seluas-luasnya.
Partai-partai politik di DPR, lanjutnya, tidak boleh membuat aturan yang menyatakan bahwa yang berhak dicalonkan sebagai capres dan cawapres harus dari kader partai politik. Proses rekrutmen harus dibuka lebar oleh parpol agar pihak di luar partai seperti masyarakat sipil, birokrat atau siapapun bisa turut serta.
“Saya kira ini tergantung dari respons pembuat undang-undang, menjegal tidak ruang partisipasi, demokratisasi yang dikeluarkan oleh MK. Jadi kalau pembuat UU itu sejalan, tidak dalam konteks untuk menjegal ruang partisipasi maka harapannya putusan MK seperti itu,” ujarnya.
Meskipun demikian partai politik juga harus menyadari keterbatasan sumber kepemimpinan mereka di dalam partai, kata Lili. Ini dikarenakan tidak semua partai politik memiliki kader-kader yang mumpuni, apalagi jika disyaratkan harus memiliki popularitas dan elektabilitas. Sejumlah survei menunjukkan bahwa sosok yang bukan dari partai politik justru memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi.
Titi Anggraini: DPR Harus Segera Revisi UU Pemilu
Diwawancarai secara terpisah, pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan keputusan MK tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden sangat baik dan dapat mengubah arah demokrasi Indonesia ke depan. Pemilu presiden ke depan diyakini akan lebih inklusif, terbuka, kompetitif dan sehat, meskipun baru akan berlaku untuk pemilu presiden 2029, tambahnya.
“Jadi jangan sampai ada upaya untuk melakukan pemelintiran, menunda pemberlakuan keputusan MK apalagi kemudian mencoba tetap menerapkan ambang batas berupa perolehan suara atau kursi sebagai persyaratan pencalonan pengusulan presiden dan wakil presiden,” ujar Titi.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini bukan merupakan “obat” pemilu dan demokrasi, tambahnya, dan sedianya ditindaklanjuti dengan merevisi UU Pemilu yang mengakomodir substansi dalam putusan MK tentang penghapusan ambang batas minimal pencalonan presiden secara utuh, menyeluruh dan konsisten.
Partai Politik Sambut Gembira
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani menilai keputusan MK tersebut sebagai momen bersejarah yang membuka peluang lebih besar bagi munculnya kandidat presiden dari berbagai latar belakang. Langkah ini dinilai sangat penting untuk memastikan demokrasi tetap inklusif dan tidak didominasi oleh segelintir pihak.
Hal senada disampaikan juru bicara PDI-Perjuangan, Chico Hakim, yang mengatakan putusan MK itu baik untuk demokrasi karena akan mendorong ketersediaan pilihan dan memberi alternatif pilihan pada publik. Pekerjaan rumahnya saat ini adalah memastikan penjaringan yang efektif.
Setelah reses sejak 6 Desember lalu, DPR akan kembali memulai masa sidang baru pada 20 Januari ini. [fw/em]
Forum