Indonesia telah resmi menjadi anggota penuh BRICS kesepuluh sejak 6 Januari lalu. Saat ini Indonesia telah melakukan Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) dengan negara-negara anggota BRICS yaitu Rusia, Uni Emirat Arab (UEA) dan Iran.
BIT merupakan perjanjian Internasional yang dilakukan oleh dua negara dan mengikat keduanya. Isi perjanjian dalam BIT termasuk dalam ruang lingkup investasi yang mengikat secara hukum kepada kedua belah pihak melalui pengesahan atau ratifikasi.
Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Tirta Nugraha Mursitama mengatakan perjanjian investasi bilateral tidak saja akan mendorong investasi antar kedua negara, tetapi juga mengikat keduanya dengan akibat hukum jika salah satu pihak tidak melaksanakan isi perjanjian.
Fokus Investasi Asing Langsung
Lima negara anggota BRICS yang telah memiliki investasi langsung terbesar di Indonesia adalah China, India, Rusia, Uni Emirat Arab, dan Afrika Selatan. Selama periode 2021-2024, investasi China berfokus pada industri logam dasar, barang logam, mesin, bukan mesin. Nilai FDI China di Indonesia meningkat pada 2022 menjadi US$8,2 miliar, tetapi kemudian turun pada 2023 menjadi US$ 7,4 miliar.
Sementara itu FDI India di Indonesia dipusatkan pada sektor hotel dan restoran. Rusia pada sektor perumahan, kawasan industri, dan perkantoran. Uni Emirat Arab pada listrik gas, dan air. Afrika Selatan pada perumahan, kawasan industri, dan perkantoran.
Secara keseluruhan, lanjut Tirta, nilai FDI negara-negara anggota BRICS di Indonesia pada 2021 adalah US$3,2 miliar atau berarti 10,47 persen dari total FDI di Indonesia. Nilai FDI ini merangkak naik pada tahun 2022 menjadi US$8,42 miliar, dan turun sedikit pada tahun 2023 menjadi US$7,92 miliar. Sedangkan di kuartal pertama dan kedua 2024, nilainya FDI negara-negara anggota BRICS mencapai US$4,14 miliar atau 14,72 persen dari total FDI di Indonesia.
"Sebenarnya potensinya (FDI negara-negara anggota BRICS ke Indonesia) besar, baik dari segi diversifikasi negara BRICS yang belum menjadi sepuluh investor terbesar di Indonesia maupun proporsi total FDI anggota-anggota BRICS ke Indonesia," kata Tirta seraya menambahkan masih banyak sektor yang terbuka untuk melakukan FDI.
Namun ia berharap investasi yang ditanamkan berkualitas, bukan hanya bertujuan masuk pasar, tapi juga ada alih teknologi.
Manfaat Jadi Anggota BRICS
Lebih jauh Tirta, yang sebelumnya dikenal luas sebagai pakar hubungan internasional, mengatakan ada beberapa keuntungan dengan menjadi anggota BRICS.
"Akses teknologi sudah pasti. Negara-negara besar yang menjadi anggota BRICS adalah produsen teknologi… Artinya pembangunan industri kita, pembangunan teknologi di perusahaan maupun secara nasional penting kita bangun dengan keterlibatan kita di BRICS," ujarnya.
Keuntungan lainnya adalah peningkatan daya saing Indonesia di tingkat internasional untuk menarik banyak investasi asing lainnya. Sebagai anggota BRICS Indonesia bisa melakukan ekspansi pasar ke negara-negara anggota BRICS.
Indonesia, lanjut Tirta, juga dapat memperoleh pendanaan alternatif dari New Development Bank yang memang dibentuk di dalam BRICS untuk membantu inovasi pembangunan negara-negara anggota secara lebih inklusif dan berkelanjutan. Keuntungan lainnya adalah memberikan aternatif sumber investasi dan mengurangi ketergantungan dari negara-negara tertentu, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Meski demikian ada sejumlah tantangan yang juga harus menjadi perhatian, tambahnya, antara lain bagaimana mengurangi ketergantungan investasi dari China, dan sekaligus menemukan cara yang bernas untuk mengelola risiko geopolitik karena dapat dinilai Indonesia berpihak pada blok tertentu.
Pengamat: Geopolitik Dunia Berubah, Tapi Indonesia Tidak Boleh Naif
Kepala Pusat Studi Eropa dan Eurasia Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra dalam diskusi di Jakarta hari Rabu (22/1) menjelaskan situasi dunia – dalam konteks geopolitik dan sistemik global – berubah setelah pembentukan BRICS. Dunia saat ini adalah dunia yang terpecah belah, penuh ketegangan dan diwarnai oleh persaingan terbuka, bahkan perang.
Selain itu, dia menilai sekarang ini tidak ada lagi kepemimpinan di level global.
"BRICS itu tidak lagi sebagai kelompok ekonomi, sudah bergeser. BRICS saat ini harus dipahami dalam konteks pors tandingan dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Ketika ini didirikan, BRICS menjadi kelompok negara-negara elit lapis kedua. (BRICS) ini diisi oleh negara-negara besar," tuturnya.
Ditambahkannya, BRICS lebih jelas fomatnya dibandingkan dengan kelompok negara-negara kaya (G7) dengan Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Bahkan setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, BRICS lebih menjadi forum geopolitik, ujarnya.
Dalam konteks ini, lanjutnya, “Indonesia dihadapkan pada situasi untuk memilih: mengutamakan kepentingan sendiri dengan bergabung di salah satu pihak, atau bertindak sebagai salah satu pemimpin di blok negara-negara global south.” Sebutan negara-negara “global south” ini merujuk pada negara-negara dengan tingkat perekonomian lebih lemah dibanding yang ada di Amerika Utara dan Eropa. Umumnya adalah negara-negara yang terdapat di kawasan Amerika Latin, Asia, Afrika dan Oseania.
Meskipun demikian Radityo menilai Indonesia juga tidak boleh naif karena potensi kerugian Indonesia menjadi anggota BRICS sedikit lebih tinggi ketimbang potensi keuntungannya. Agenda dan kriteria perluasan keanggotaan BRICS tidak jelas karena umumnya adalah negara-negara yang non-demokratis, konservatif, dan anti-Barat.
Pengamat: Jangan Sampai Terjebak pada Pusaran Konflik
Pengamat Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran Irman Gumilang Lanti mengatakan agar Indonesia tidak terjebak dalam pusaran konflik antara aliansi BRICS – yang dipimpin Rusia-China – dengan OECD yang dikomandoi Amerika-Eropa, Indonesia harus dapat meyakinkan OECD bahwa Indonesia tetap kawan yang baik bagi Amerika dan Eropa.
“Jadi status Indonesia kalau masuk sebagai negara OECD, itu status investment rate-nya pasti akan naik dan lain sebagainya, karena OECD seperti WTO dianggap sebagai “brand smart” bagai sebuah perekonomian. Jadi kalau sebuah negara bisa menjadi anggota OECD itu negara itu sudah jaminan mutulah. Untuk investasi tidak ada gonjang ganjing, tidak akan ada apa karena OECD ini kan memperhatikan hal yang di luar dari aspek perekonomian artinya stabilitas ekonomi pasti akan terjaga,” ungkapnya.
Saat ini OECD masih mengkaji permohonan Indonesia untuk menjadi anggota, mengingat persyaratan yang harus dipenuhi lebih ketat dibanding untuk menjadi anggota BRICS mengingat perbedaan orientasi politik dan ekonomi. Tidak seperti OECD, BRICS tidak terlalu fokus pada isu HAM dan lingkungan hidup. [fw/em]
Forum