Meski suhu dingin menyergap Davos, Swiss, lokasi di mana Forum Ekonomi Dunia digelar baru-baru ini, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa berharap dapat menjalin hubungan yang hangat dengan AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
“Presiden Trump adalah negosiator ulung, begitu pun saya. Jadi, kami, bisa bekerja sama,” ujarnya.
Namun, tidak semua memiliki optimisme yang sama dengannya.
Para analis memperkirakan hubungan dekat Afrika Selatan dengan Rusia, sikap netralnya terhadap perang di Ukraina, dan gugatannya terhadap Israel ke Mahkamah Internasional atas perang di Gaza mungkin tidak diterima dengan baik oleh pemerintah AS yang baru.
“Bagi pemerintahan sebelumnya, efek dari hubungan antara Afrika Selatan dan Rusia, China, Iran, dan khususnya Mahkamah Internasional, dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu. Hal-hal itu dianggap membuat hubungan menjadi lebih sulit, tetapi tidak sampai menjadi isu besar yang memutuskan hubungan. Namun, di bawah pemerintahan Trump, semua itu akan diawasi ketat oleh Departemen Luar Negeri AS,” ungkap Brooks Spector, mantan diplomat AS yang tinggal di Johannesburg.
Afrika Selatan juga merupakan anggota aktif BRICS, kelompok negara-negara berkembang yang anggotanya termasuk Rusia dan China. Menlu AS Marco Rubio sebelumnya pernah mengkritik Afrika Selatan atas hubungan dekatnya dengan Beijing.
“Pemerintahan Trump-Vance memulai kebijakan luar negerinya dengan sangat jelas, yaitu ‘America First’. Jadi, jika Afrika Selatan mengejar kebijakan yang mengutamakan BRICS, maka ini akan bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS dan bisa membawa masalah,” jelas Bob Wekesa, direktur Pusat Studi Amerika Serikat untuk Afrika di Universitas Witwatersrand, Johannesburg, saat diwawancarai VOA melalui sambungan Zoom.
Beberapa anggota Kongres AS dari Partai Republik telah menyerukan peninjauan ulang hubungan negara itu dengan Afrika Selatan.
Sejumlah analis menyatakan AS mungkin akan mengambil tindakan tegas terhadap Afrika Selatan jika tidak sejalan dengan kebijakan luar negeri Washington, seperti mencabut manfaat perdagangan.
“Saya pikir, kesabaran AS akan semakin pendek. AS akan menjadi kurang toleran terhadap negara-negara yang, misalnya menerima banyak bantuan darinya, tapi memilih untuk menentangnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata Ray Hartley, direktur penelitian lembaga pemikir Yayasan Brenthurst di Afrika Selatan.
Menurut Hartley, ini bisa memperkuat pengaruh AS di Afrika. “…Atau sebaliknya, hal itu bisa membuat negara-negara tersebut melepaskan diri dari pengaruh AS dan mencari alternatif lain,” tambahnya.
Para analis juga memperkirakan AS kemungkinan akan melanjutkan proyek “Lobito Corridor”, jalur kereta api untuk mengangkut mineral penting dari Zambia dan Republik Demokratik Kongo ke pantai Atlantik Barat Afrika.
Langkah besar lainnya yang mungkin dilakukan AS adalah mengakui Somaliland, wilayah otonom di Somalia.
Namun, secara keseluruhan, Afrika bukan prioritas utama AS, kata Brooks Spector. “Terkait Afrika, kalau kita bicara jujur dan terang-terangan, posisi Afrika berada jauh di bawah daftar prioritas dan isu bagi pemerintahan Trump,” pungkasnya.
Rubio sendiri akan menuju Panama untuk perjalanan internasional pertamanya. [br/ka]
Forum