Empat patung singa dan dua ekor naga berwarna merah yang mengejar sebuah mutiara menyambut para pengendara ketika memasuki Kota Singkawang dari arah Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Bangunan bernuansa Tionghoa itu bernama Gerbang Cap Go Meh.
Kehadiran Gerbang Cap Go Meh tak lepas dari dominasi etnis Tionghoa di Kota Singkawang. Dalam bahasa Khek, Singkawang disebut dengan San Kew Jong yang memiliki arti gunung, muara sungai, dan laut. Dahulu, Kota Singkawang masuk ke dalam wilayah administrasi dari Kabupaten Sambas. Pada 21 Juni 2001, Kota Singkawang dimekarkan dari Kabupaten Sambas.
Kehadiran etnis Tionghoa tak serta-merta ada di Kota Singkawang.
Mengutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, rekam jejak kehadiran etnis Tionghoa di Kota Singkawang berawal sejak 1760 ketika Kerajaan Melayu Sambas mengundang orang-orang Tionghoa untuk membuka lahan pertambangan emas.
Sejak saat itu kedatangan orang-orang Tionghoa ke kawasan Singkawang terus terjadi sehingga menciptakan akulturasi Tionghoa, Dayak, dan Melayu atau biasa dikenal dengan Tidayu. Keharmonisan antar etnis di Kota Singkawang terus terjaga hingga saat ini.
“Tidayu” Aktif Jaga Keberagaman
Perwakilan dari Majelis Adat Budaya Tionghoa, Suhu Fab Bong, mengatakan keharmonisan Tidayu di Bumi Seribu Kelenteng —julukan dari Kota Singkawang — tercipta karena ketiga etnis yakni Tionghoa, Dayak, dan Melayu terus menjaga keberagaman dari para leluhur.
“Kalau di sini kami suku apa pun sering bekerja sama. Jadi, tidak ada konflik apa pun maka tercipta kota toleransi di Singkawang. Kami saling menjaga ketertiban dan keamanan untuk Kota Singkawang. Kami tidak ingin ada cekcok. Kalau pun ada cekcok tapi tidak diperbesar masalahnya. Jadi, kami tetap hidup dengan damai,” kata Fab Bong.
Fab Bong menjelaskan akulturasi Tionghoa, Dayak, dan Melayu bisa terlihat dari segi seni budaya. Misalnya, etnis Tionghoa menampilkan tatung pada Festival Cap Go Meh Singkawang. Etnis Dayak juga turut andil dalam menampilkan tatung dengan atribut khasnya.
“Etnis Dayak ikut meramaikan Cap Go Meh, mereka melakukan ritualnya sendiri. Kami juga melakukan ritualnya sendiri. Jadi, sama-sama itu untuk kerukunan beragama di Kota Singkawang, sehingga tidak ada tercipta konflik apa pun,” jelasnya.
“Jadi, saling menghormati. Pada saat ritual tatung atau Cap Go Meh itu ada pawai, tapi ketika waktu azan aktivitas yang kami lakukan itu berhenti termasuk gendang. Itu untuk menghormati agama lain. Itu toleransi,” Fab Bong melanjutkan.
Akulturasi Tidayu pada saat acara seni budaya masing-masing etnis menjadi salah satu kunci merawat keberagaman dan toleransi di Kota Singkawang.
“Budaya apa pun sama-sama menjaga dan melestarikan. Tidak hanya budaya kami. Tapi budaya lain juga kami sama-sama melestarikannya misalnya ikut andil. Kami sama-sama menjaga keamanan, ketertiban, dan kerukunan bermasyarakat,” ucap Fab Bong.
Kesadaran Masyarakat Sangat Tinggi
Budayawan dari Dayak Salako, Paulus Indung, mengatakan kesadaran masyarakat dalam menjalin hubungan antaretnis di Kota Singkawang cukup tinggi.
“Kami itu saling mendukung antar etnis Tionghoa, Dayak, Melayu, dan etnis lainnya yang ada di Kota Singkawang,” katanya kepada VOA.
Indung mengungkapkan akulturasi Tidayu di Kota Singkawang juga bisa terlihat dari partisipasi setiap etnis dalam perayaan hari-hari besar Dayak seperti upacara Ngabayotn dan Naik Dango.
“Kami tidak pernah fanatik ketika menggelar suatu kegiatan, misalnya gawai (upacara) Dayak semuanya harus pakaian Dayak. Oh tidak begitu. Masing-masing etnis bisa memakai identitasnya ketika di gawai Dayak. Itu sebagai menyatukan antar etnis dan agama,” ungkapnya.
Menurut Indung, agar keharmonisan Tidayu terus terjaga, maka kualitas sumber daya manusia di Kota Singkawang harus ditingkatkan seperti melalui kegiatan seni budaya.
“Toleransi tidak akan lepas dari Kota Singkawang selama SDM-nya sadar entah itu melalui dari seni budaya dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan para leluhur,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Dewan Pemangku Adat MABM (Majelis Adat Budaya Melayu) Kota Singkawang, Ashari Arhap. Ia menilai keharmonisan antar etnis tetap terawat karena adanya keterlibatan lintas budaya dalam berbagai kegiatan di Kota Singkawang.
“Misalnya orang Tionghoa merayakan Imlek dan Cap Go Meh, mereka mengadakan pentas seni. Kami orang Melayu dan Dayak tetap menyumbangkan kesenian. Itu yang kami tanamkan ke anak cucu agar keharmonisan dan hidup berdampingan dengan suku lain. Itu tetap terjaga dengan menjunjung tinggi toleransi yang sudah tercipta sampai saat ini;” katanya kepada VOA.
Keindahan Akulturasi
Dalam waktu dekat umat Muslim di Kota Singkawang akan merayakan Tahun Baru Islam 1447 Hijriah pada 27 Juni 2025. Nantinya, etnis Melayu di Kota Singkawang akan melakukan pawai obor dan pentas seni. Menurut Ashari, orang-orang etnis Tionghoa dan Dayak juga turut meramaikan pawai obor dan kegiatan seni Melayu.
“Saat kami mengadakan pawai Tahun Baru Islam, orang-orang Tionghoa dan Dayak tetap menjaga kami. Tahun lalu saat kami mengadakan pawai obor ada hadir orang-orang Tionghoa, Dayak, dan etnis lain juga ikut. Jadi, memang sudah tercipta keharmonisan sehingga tercipta keberagaman budaya di Kota Singkawang,” ungkap Ashari.
Ashari pun menyimpulkan seni budaya sangat mengikat persatuan dan kesatuan antar etnis di Kota Singkawang.
“Kuncinya memang budaya. Masing-masing etnis juga memegang teguh dengan agamanya karena agama mengajarkan kebaikan,” pungkasnya. [aa/em]
Forum