Inovasi dan terobosan yang dilakukan sebagian kota, antara lain berupaya melembagakan toleransi dan membuat tata kelola pemerintahan yang inklusif merupakan capaian progresif-kolektif yang menjadi temuan penelitian Laporan Indeks Kota Toleran 2023 yang dirilis Setara Institute pada Selasa (30/1).
Singkawang merupakan kota dengan skor toleransi tertinggi yaitu (6,5), diikuti oleh Bekasi (6,46), Salatiga (6,45), Manado (6,4), Semarang (6,23), Magelang (6,22), Kediri (6,07), Sukabumi (5,99), Kupang (5,95) dan Surakarta (5,8).
Ketua Badan Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan capaian pada 10 kota teratas adalah dampak terpenuhinya tiga aspek kepemimpinan yang dibutuhkan dalam memperkuat ekosistem toleransi di sebuah kota, yaitu kepemimpinan kemasyarakatan, kepemimpinan politik dan kepemimpinan birokrasi.
“Yang dinilai bukan kinerja wali kota saja. Memang kinerja wali kota paling menentukan, tapi ada kinerja masyarakat, kinerja tokoh-tokoh ulama, tokoh agama sosial dan elemen masyarakat sipil,” ungkapnya.
Objek kajian IKT adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia.
Empat kota yang dieliminir adalah kota-kota administrasi di DKI Jakarta yang digabungkan menjadi satu kota, yaitu DKI Jakarta. Penggabungan ini dilakukan karena secara administratif dan legal, kota-kota tersebut tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan sehingga tidak valid untuk dinilai secara terpisah.
Banyak Kota Buat Terobosan Kebijakan Toleransi
Penelitian IKT 2023 menemukan 63 produk hukum baru yang progresif dan menopang ekosistem toleransi di kota-kota, dengan rincian 11 peraturan daerah, 16 peraturan walikota, 34 peraturan dan keputusan turunan teknis dan 2 rancangan perda yang segera dibahas dan disahkan.
Ismail mencontohkan terobosan kebijakan toleransi dalam bentuk peraturan daerah di Kota Banjarmasin. Di kota itu, tambahnya, ada Perda Kota Banjarmasin No.4 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat. Lahirnya sebuah perda menunjukan kolaborasi tiga aspek kepemimpinan toleransi pada level politik, birokrasi dan masyarakat telah bekerja.
Ismail Hasani juga menyatakan bahwa pemerintah pusat perlu mendesain dan menerbitkan peraturan di tingkat nasional seperti peraturan presiden yang menjadi rujukan kota-kota dalam membuat peraturan untuk memastikan kokohnya kerangka hukum pemajuan toleransi di kota/kabupaten. Tata kelola inklusif didorong sebagai prinsip utama dalam menjawab tantangan virus intoleransi yang berada pada lapis negara maupun non negara.
Kemendagri Sambut Baik Hasil Penelitian Setara
Direktur Jenderal Politik dan Pemeritahan Umum Kementerian Dalam Negeri Togap Simangunsong menyambut baik hasil penelitian yang dilakukan Setara Institute. Dia mengharapkan hal tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang akan datang khususnya terkait toleransi.
“Antara lain, pertama melakukan pengawasan terhadap regulasi-regulasi yang regresif terhadap toleransi. Kedua, memfasilitasi dan kolaborasi antar kota dalam pemajuan toleransi sehingga saling pertemukan kota-kota untuk belajar dan berbagi. Memantau tindaklanjut terhadap 10 kota toleransi terendah guna memastikan keselarasan pemahaman dan agenda kemajuan toleransi lintas instansi,” tegasnya.
Ia juga menekankan perlunya membina dan memperkuat kapasitas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) baik pelaksaan tugas dan fungsi maupun manajemen konflik antara intern agama.
Sabang, Kota Paling Tidak Toleran pada 2003
Setara Institute juga merilis 10 kota dengan skor toleransi terendah yaitu Sabang, Bandar Lampung, Palembang, Pekanbaru, Mataram, Lhokseumawe, Padang, Banda Aceh, Cilegon dan Depok.
Sepuluh kota tersebut masih menghadapi tantangan pada aspek kepemimpinan politik dan birokrasi yang kurang kondusif dalam pemajuan toleransi. [fw/em]
Forum