Warga Kongo dan sejumlah pakar keamanan, pada Kamis (24/11), bereaksi hati-hati atas pengumuman gencatan senjata yang akan dimulai pada Jumat (25/11), di tengah konflik yang meningkat di wilayah timur Republik Demokratik Kongo.
Milisi yang disebut M23 telah merebut sejumlah wilayah di Kongo sejak melakukan serangan di provinsi Kivu Utara pada awal tahun ini. Mereka kini semakin dekat dengan Goma, kota berpenduduk sekitar 1 juta orang.
Pertempuran itu memicu lonjakan ketegangan diplomatik dengan negara tetangga, Rwanda. Kongo menuduh Rwanda bersekongkol dengan pemberontak – tuduhan yang lalu dibantah Rwanda.
Namun, pada Rabu (23/11), pembicaraan antara kedua negara yang berlangsung di ibu kota Angola, Luanda, menghasilkan kesepakatan "gencatan senjata segera", efektif mulai Jumat. Kedua pihak juga sepakat menuntut "penarikan segera" M23 "dari wilayah pendudukan".
Onesphore Sematumba, analis lembaga kajian International Crisis Group, mengatakan fakta bahwa pertemuan yang dimediasi Angola itu terjadi adalah kabar baik, "mengingat ketegangan yang meningkat." Namun, dia mempertanyakan apakah kesepakatan yang dicapai oleh Presiden Kongo Felix Tshisekedi dan Menteri Luar Negeri Rwanda Vincent Biruta itu akan dipatuhi.
Pemberontak tidak ikut dalam kesepakatan itu dan untuk alsan yang tidak pasti Presiden Rwanda Paul Kagame juga tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
"M23 selalu bisa mengatakan bahwa mereka tidak dilibatkan. Jadi, mereka tidak bertanggung jawab atas dokumen yang tidak mereka tandatangani," kata Sematumba. Ia menambahkan, "akan lebih baik jika Presiden Kagame ada di sana."
Absennya Kagame "bukan pertanda baik," kata politisi Kongo Patrick Mundeke.
Jean-Claude Bambaze, yang mengepalai kelompok masyarakat sipil di wilayah Rutshuru, yang mana sebagian besar wilayahnya telah direbut oleh M23, mengatakan dia berharap para pemberontak sekarang akan mundur.
Kongo dan Rwanda menyetujui rencana deeskalasi pada Juli, tetapi bentrokan tetap berlanjut keesokan harinya. [ka/rs]
Forum