Uni Emirat Arab (UEA) tengah berdiskusi dengan Israel dan Amerika Serikat mengenai keterlibatannya dalam pemerintahan sementara di Gaza setelah perang, sampai Otoritas Palestina yang telah direformasi dianggap siap untuk mengambil alih, menurut sumber yang memahami perundingan tersebut.
Diskusi tertutup yang pertama kali dilaporkan oleh Reuters ini, mencakup opsi bagi UEA dan Amerika Serikat, bersama sejumlah negara lain untuk sementara mengelola pemerintahan, keamanan, dan rekonstruksi Gaza setelah pasukan Israel mundur, hingga pemerintahan Palestina siap mengambil alih, menurut belasan diplomat asing dan pejabat Barat kepada Reuters.
UEA, sebagai mitra keamanan dekat Amerika Serikat dan salah satu dari sedikit negara Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, memiliki posisi strategis. Para diplomat dan pejabat mengatakan bahwa hubungan ini memberi UEA pengaruh tertentu terhadap pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Setelah lebih dari setahun konflik berlangsung, Israel masih enggan mengungkapkan visinya terkait Gaza, sementara komunitas internasional kesulitan merumuskan rencana yang layak, menurut sumber yang enggan disebutkan namanya karena pembicaraan tersebut bersifat rahasia.
Para diplomat dan pejabat menegaskan bahwa gagasan yang muncul dari pembicaraan dengan UEA masih bersifat umum, belum dirinci menjadi rencana tertulis formal, dan belum diadopsi oleh pemerintah mana pun.
Dalam pembicaraan tertutup itu, Abu Dhabi mengadvokasi Otoritas Palestina (PA) yang direformasi untuk memerintah Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur di bawah negara Palestina yang merdeka, kata sumber tersebut, sesuatu yang secara terbuka ditentang Israel.
"UEA tidak akan terlibat dalam rencana apa pun yang tidak mencakup reformasi besar pada Otoritas Palestina, penguatan kewenangannya, serta pembentukan peta jalan yang kredibel menuju pembentukan negara Palestina," kata seorang pejabat UEA kepada Reuters menanggapi pertanyaan terkait pembicaraan tersebut.
"Elemen-elemen ini, yang saat ini kurang, sangat penting untuk keberhasilan rencana pasca-Gaza apa pun."
Otoritas Palestina didirikan sekitar tiga dekade lalu berdasarkan Perjanjian Oslo 1993-1995 yang ditandatangani oleh Israel dan Palestina, dengan kewenangan terbatas atas Tepi Barat dan Gaza. Meskipun masih memerintah sebagian wilayah di Tepi Barat yang diduduki Israel, Otoritas Palestina kehilangan kendali atas Gaza pada 2007 ketika Hamas mengambil alih setelah perang saudara singkat.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan kepada Reuters bahwa diskusi telah dilakukan dengan sejumlah mitra, termasuk UEA, terkait opsi pemerintahan, keamanan, dan rekonstruksi Gaza. Beragam rancangan, rencana, dan gagasan telah diajukan oleh para mitra dalam pembicaraan tersebut.
"Ini merupakan diskusi yang terus berlanjut, karena kami mencari cara terbaik untuk maju," kata juru bicara tersebut, menolak berkomentar lebih lanjut mengenai "percakapan diplomatik pribadi."
Selain reformasi Otoritas Palestina, empat diplomat dan pejabat Barat mengatakan bahwa pejabat Emirat telah mengusulkan penggunaan kontraktor militer swasta sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian pascaperang di Gaza. Sumber-sumber lain juga mengonfirmasi bahwa mereka telah diberi pengarahan mengenai usulan pascaperang Emirat, yang mencakup kemungkinan penerapan pasukan tersebut.
Para diplomat dan pejabat Barat mengatakan bahwa pengerahan kontraktor militer swasta tersebut akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara Barat. Kontraktor militer swasta, yang disewa oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain, menghadapi tuduhan penyiksaan, pelanggaran hak asasi manusia, serta penggunaan kekuatan yang berlebihan, di antaranya di Irak dan Afghanistan.
Rekonstruksi Gaza, termasuk pembentukan kembali lembaga-lembaga politiknya, diperkirakan akan memakan waktu bertahun-tahun dan menghabiskan biaya puluhan miliar dolar, yang memerlukan dukungan internasional yang besar, setelah 15 bulan kampanye militer Israel yang menghancurkan. [ah/es]
Forum