Pemilah presiden di Turki tampaknya menuju ke putaran kedua setelah baik Presiden Recep Tayyip Erdogan maupun pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu, tidak meraih suara mayoritas dalam pemungutan suara yang berlangsung pada Minggu (14/5).
Namun demikian, Erdogan, yang berusia 69 tahun dan telah berkuasa selama 20 tahun atau dikenal sebagai pemimpin yang paling lama berkuasa di negara itu, tampil lebih baik dibanding perkiraan sebelumnya.
Kantor berita Turki, Anadolu, melaporkan dengan lebih dari 96 persen kotak suara telah dihitung, Erdogan memimpin dengan meraih 49,44 persen suara. Sementara Kilicdaroglu meraih 44,86 persen suara.
Dewan Pemilu Tertinggi mengatakan belum dapat memastikan perlu tidaknya diadakan pemungutan suara putaran kedua karena mayoritas kotak suara dari 3,4 juta pemilih sah yang tinggal di luar negeri masih belum dihitung.
Lebih dari 64 juta orang, termasuk yang berada di luar negeri, berhak memberikan suaranya dalam pemilu pada Minggu. Menurut Associated Press, 89 persen dari jumlah tersebut menggunakan hak suara mereka.
Baik petahana Presiden Erdogan maupun pesaing utamanya Kilicdaroglu, yang berusia 74 tahun, mengklaim pemilu itu adalah yang paling penting dalam sejarah negara itu.
Di distrik Kadikoy, di ibu kota Istanbul, pemungutan suara berlangsung cepat, tak lama setelah sejumlah tempat pemungutan suara dibuka. Masalah ekonomi merupakan keprihatinan utama bagi Mustafa, salah seorang pemilih yang hanya memberikan nama depannya.
“Ekonomi adalah yang paling penting. Coba lihat di mana-mana, betapa buruknya kondisi ekonomi sekarang,” ujarnya.
Dengan inflasi lebih dari 40 persen dan krisis biaya hidup, isu ekonomi dinilai sebagai isu yang paling krusial bagi banyak pemilih.
Namun demikian Zehra, seorang apoteker yang juga hanya memberikan nama depannya, mengatakan demokrasi adalah isu yang paling penting.
“Bagi saya isu utamanya adalah beralih dari kepemimpinan tunggal dan kembali ke demokrasi pluralis di mana semua pandangan terwakili,” ujarnya.
Erdogan telah mengubah pemerintah menjadi kepresidenan eksekutif yang sangat berkuasa, yang memungkinkannya memimpin dengan dekrit. Para kritikus menyalahkan kekuatan terpusat seperti itu membuat pemerintah gagal mengambil tindakan cepat saat bencana gempa bumi bulan Februari lalu yang menewaskan lebih dari 50.000 orang. Erdogan sendiri telah membantah tuduhan itu.
Namun Kilicdaroglu berjanji untuk mengembalikan Turki ke demokrasi parlementer.
Erdogan menegaskan pemerintahan yang kuat seperti yang dipimpinnya saat ini sangat penting mengingat negara itu berada di lingkungan yang penuh kekacauan. Pandangan itu didukung pemilih seperti Ali Demir yang mengatakan “dalam pemilu ini, orang asing mencoba memecah belah Turki, mereka mencoba memperlemah kita.”
Dalam pidato kampanye terakhirnya pada Jumat (12/5) lalu, Erdogan menuduh Presiden Amerika Serikat Joe Biden mencoba menggulingkannya dari kekuasaan lewat pemilu.
AS menyangkal tuduhan tersebut dan mengatakan tidak berpihak pada siapa pun dalam pemilu.
Hubungan antara Turki dan sekutu-sekutu tradisionalnya di Barat tegang dalam beberapa tahun terakhir ini karena semakin eratnya hubungan Turki dengan Rusia, dan kekhawatiran akan nasib demokrasi di negara itu.
Kilicdaroglu bertekad akan mengatur ulang hubungan Turki dengan sekutu-sekutu Barat. [em/rs]
Sebagian informasi dalam artikel ini diambil dari the Associated Press, Reuters, dan Agence France-Presse
Forum