“China bersedia bekerja sama dengan pemerintahan baru Amerika Serikat untuk memelihara komunikasi, memperkuat kolaborasi, mengelola perbedaan secara tepat, serta mendorong kemajuan yang lebih besar bagi hubungan China-AS dari titik awal yang baru,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, dalam konferensi pers rutin di Beijing, Selasa (21/1).
Para analis menyebutkan bahwa Beijing berharap untuk bisa mengurangi kesalahpahaman melalui interaksi dan pertukaran sejak awal masa jabatan kedua Trump.
“Pemerintah China berharap agar China dan Amerika Serikat bisa saling memahami kebutuhan masing-masing melalui komunikasi,” sebut Shen Dingli, pakar hubungan internasional yang berbasis di Shanghai.
“Beijing percaya bahwa China dan Amerika Serikat masih bisa mencapai kesepahaman dan menghindari banyak kesalahpahaman yang muncul selama masa jabatan pertama Trump” asal kedua pihak memprioritaskan upaya untuk menstabilkan hubungan bilateral, ujarnya kepada VOA melalui telepon.
Menjelang pelantikan Trump pada Senin (20/1), China dan tim Trump melakukan sejumlah komunikasi tingkat tinggi, termasuk pembicaraan via telepon antara Presiden Amerik Serikat yang baru dengan Presiden China Xi Jinping, Jumat lalu (17/1).
Trump mengatakan ia dan Xi akan “menyelesaikan banyak masalah bersama,” sementara Presiden Xi menegaskan bahwa kunci untuk menangani hubungan bilateral adalah “saling menghormati kepentingan dan keprihatinan utama masing-masing pihak, serta menemukan solusi yang tepat atas berbagai persoalan.”
Pada Minggu (19/1), Wakil Presiden China Han Zheng, yang berada di Washington D.C. untuk menghadiri upacara pelantikan Trump, bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Serikat JD Vance, serta sekelompok pemimpin bisnis Amerika, termasuk pendiri Tesla Elon Musk.
Ia menyatakan bahwa China dan Amerika Serikat bisa “memberikan kontribusi bagi kemajuan masing-masing, membawa manfaat bagi kedua negara, serta memberi sumbangsih penting bagi perdamaian dan pembangunan dunia” asalkan kedua pihak “tetap menjunjung prinsip saling menghormati, hidup berdampingan secara damai, dan kerja sama yang saling menguntungkan.”
Selain itu, Han mendorong kalangan bisnis Amerika Serikat agar “memainkan peran aktif sebagai jembatan dan memberikan kontribusi lebih besar bagi perkembangan hubungan China-Amerika Serikat” dengan terus “berinvestasi dan memperkuat pijakannya di China.”
Para pakar menilai, Beijing ingin memanfaatkan peluang ini untuk memperbaiki hubungan bilateral dengan Washington melalui interaksi tahap awal dengan pemerintahan Trump.
Beijing “tidak hanya ingin menghindari sanksi baru, tetapi juga risiko pembatasan yang lebih ketat terhadap ekspor teknologi ke China,” jelas Timothy Rich, ilmuwan politik di Western Kentucky University.
Meski pemerintah China telah menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan pemerintahan Trump, Presiden Amerika Serikat itu juga menunda penerapan tarif atas barang impor dari China, Meksiko, dan Kanada.
Sebagai gantinya, ia merilis sebuah memo perdagangan luas yang memerintahkan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) untuk menilai kepatuhan China terhadap perjanjian dagang “Fase 1” yang ditandatangani pemerintahannya pada 2020. Perjanjian tersebut mensyaratkan China meningkatkan pembelian ekspor Amerika Serikat senilai 200 miliar dolar Amerika Serikat dalam kurun waktu dua tahun.
Selain itu, Trump menandatangani instruksi presiden yang menunda larangan terhadap aplikasi media sosial populer TikTok selama 75 hari, tetapi ia mengancam akan menerapkan tarif atas produk China jika Beijing tidak menyetujui kesepakatan terkait TikTok.
“Kalau kita bilang, ‘Kalian tidak akan mau menyetujui ini,’ berarti itulah bentuk permusuhan, dan kita akan pasang tarif 25, 30, 40, 50 persen, bahkan 100 persen,” kata Trump pada Senin, setelah menandatangani instruksi presiden terkait TikTok.
Timothy Rich menilai keputusan Trump menunda penerapan tarif pada produk China menunjukkan keinginannya untuk “menekan China agar membuat sejumlah konsesi” yang bisa ia klaim sebagai kemenangan.
“Saya menduga narasi ‘menekan China’ akan kembali mencuat jika China tidak memberikan konsesi yang menyelamatkan muka, atau jika kebijakan lain mulai gagal. Kebijakan garis keras terhadap China sejauh ini selaras dengan kekhawatiran banyak warga Amerika,” ujarnya kepada VOA dalam pernyataan tertulis.
Sejumlah pedagang China mengatakan keputusan Trump untuk menunda penerapan tarif atas produk China memberi mereka waktu untuk lebih siap menghadapi skenario serupa di masa depan.
“Saya mencari cara lain untuk mengekspor produk ke pelanggan saya di Amerika, misalnya dengan memindahkan sebagian operasi ke Asia Tenggara,” kata seorang eksportir pakaian asal Shanghai bermarga Yuan, yang meminta agar hanya disebutkan nama marganya karena alasan keamanan, dalam pesan tertulis kepada VOA.
Meski kabinet baru Trump berisi sejumlah politisi yang dikenal memiliki sikap keras terhadap China, termasuk Menteri Luar Negeri Marco Rubio, para analis mengatakan belum jelas bagaimana bentuk kebijakan China dalam pemerintahan Trump.
“Penentu akhir kebijakan adalah Trump. Jika China memberikan apa yang Trump rasa dia butuhkan, orang-orang yang bersikap keras terhadap China beserta keyakinan mereka akan tersingkir, dan kemungkinan tidak berpengaruh pada kebijakan AS-China,” kata Dexter Roberts, peneliti senior non-residen di Global China Hub, Atlantic Council, kepada VOA melalui telepon.
Meski kebijakan Trump terhadap China belum sepenuhnya terungkap, Shen di Shanghai menilai pernyataan resmi dari Beijing dan Washington mengindikasikan bahwa kontak awal mereka berlangsung “cukup positif.”
“Artinya mungkin akan lebih sedikit kesalahpahaman. Saya kira kedua pihak tak akan menyia-nyiakan kesempatan baru ini untuk saling berinteraksi,” ujarnya kepada VOA. [th/ab]
Forum