Dalam Konferensi Keamanan Munich akhir pekan lalu, Menteri Luar Negeri Suriah Asaad Al Shibani mengatakan bahwa kepemimpinan baru Suriah akan membentuk pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat.
“Rakyat Suriah membebaskan diri mereka sendiri. Kami sekarang sedang menyiapkan langkah dan prinsip untuk membangun sistem yang mewakili rakyat, dipimpin dan dimiliki oleh Suriah. Kediktatoran tidak akan terulang kembali,” sebut Al Shibani.
Al Shibani menambahkan, para pemimpin interim Islamis di Suriah saat ini ingin, “Mengajak seluruh masyarakat Suriah bersama-sama mencegah tindakan apa pun yang akan merusak stabilitas dan pencapaian Suriah.”
Sementara itu, Bassam Said Ishak, Presiden Dewan Nasional Suryani Suriah, yang berbasis di timur laut Suriah dan mewakili Kristen Suryani, mengatakan kepada VOA bahwa sangat penting bagi umat Kristen dan seluruh minoritas di pemerintahan baru untuk diwakili dan dihormati.
Ishak juga menyinggung konferensi dialog nasional yang dijadwalkan bulan depan. “Kekhawatiran saya adalah jika konferensi itu tidak benar-benar mengangkat suara masyarakat Suriah yang beragam. Ini serius, karena secara tradisional sudah begitu caranya; Assad pun melakukan hal yang sama. Kita butuh representasi yang layak untuk semua pihak. Baik itu Kurdi, Suryani, Druze, Alawi, atau Ismaili. Kita harus mendengar suara mereka. Kita harus mendengar orang-orang yang berbeda pendapat dan memikirkan solusi nyata,” kata Ishak.
Pengacara Suriah-Amerika, Dima Moussa, yang juga merupakan anggota Koalisi Nasional Suriah, sebuah organisasi yang mendorong reformasi konstitusional, mengatakan bahwa pemerintahan interim sedang menerapkan prinsip-prinsip Islamis yang diberlakukan saat mereka hanya memerintah Provinsi Idlib ke seluruh wilayah negara.
Ia mengatakan kepada Arab Center yang berbasis di Washington bahwa para pemimpin interim, “Belum benar-benar melepaskan diri dari pola pikir itu,” tetapi ia juga menyatakan optimisme untuk masa depan.
“Inklusivitas mungkin menjadi salah satu isu paling penting yang harus dibahas saat ini. Kalau tidak ditangani secara hati-hati dan teliti, terutama pada tahap konferensi nasional, hal itu bisa memicu terulangnya berbagai masalah di masa depan dan menyebabkan kegagalan. Memang ada beberapa langkah positif, tetapi langkah-langkah itu hilang di tengah beratnya kondisi hidup dan sejumlah insiden di wilayah-wilayah sensitif yang memiliki riwayat ketegangan sektarian, yang kian menguat selama 14 tahun terakhir,” jelas Moussa.
Sejumlah pengamat khawatir mengenai kurangnya kejelasan tentang bagaimana pemerintah baru akan berupaya mempersatukan negara yang masih terpecah-belah.
Masih tersisa pula pertanyaan terkait hubungan Suriah di masa mendatang dengan Rusia dan Iran, serta para pendukung setia Assad, seiring upaya Suriah untuk kembali bergabung dalam tatanan Arab.
Sementara itu, ekonomi Suriah sedang terpuruk setelah hampir 14 tahun perang saudara, merajalelanya korupsi di bawah rezim Assad, dan sanksi-sanksi dari negara Barat, termasuk pembatasan di sektor perbankan.
Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, mengatakan pada Konferensi Keamanan Munich bahwa pemerintahan interim Suriah menghadapi “tantangan kemanusiaan yang luar biasa besar” ketika 17 juta pengungsi dan warga yang terusir di dalam negeri berusaha kembali ke rumah.
“Mereka perlu melihat apakah masih ada masa depan di Suriah, dan mereka perlu mengetahuinya dengan cepat,” tegas Pedersen. [th/jm]
Forum