Lima pekerja rumah tangga (PRT) di Jatinegara, Jakarta Timur, pada 12 Februari 2024, memanjat pagar berduri rumah tempat mereka bekerja untuk menyelamatkan diri karena tak tahan dengan perlakuan buruk yang mereka alami. Empat di antara mereka masih berusia antara 15 hingga 17 tahun.
Berselang tiga hari kemudian, pada 15 Februari, seorang PRT bernama Isabela Pelu yang bekerja di wilayah Tanjung Duren, Jakarta Barat ditolong warga setelah perempuan asal Nusa Tenggara Timur itu memanjat tembok untuk menyelamatkan diri dari kekerasan di rumah majikannya.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini mengatakan kedua kasus itu merupakan potret buram, gambaran perbudakan modern yang dialami oleh PRT di Indonesia.
Dalam kasus Isabela, misalnya, Lita menuturkan bahwa korban mengalami kekerasan fisik seperti dipukuli dengan benda tumpul, tidak diberi makanan yang layak dan tidak diberi upah.
“Isabela akhirnya menyelamatkan diri dengan memanjat pagar untuk meminta makan dan meminta tolong kepada warga sekitar,” cerita Lita dalam konferensi pers oleh 11 organisasi sipil yang tergabung dalam Barisan Perempuan untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), Minggu (25/2).
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Jala PRT, sejak 2021 sampai dengan Februari 2024 terdapat total 3.308 kasus kekerasan yang dialami PRT. Para korban rata-rata mengalami multi kekerasan psikis, fisik, ekonomi dan perdagangan manusia.
“Ini penting kenapa kita mendesak DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk segera membahas dan mengesahkan RUU (Rancangan Undang-undang) PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) karena setiap hari itu selalu berjatuhan korban,” kata Lita.
Pengesahan RUU itu diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk melindungi lima juta pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan.
Khotimun Susanti dari Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) mengungkapkan peraturan perundangan saat ini belum memberikan perlindungan bagi PRT. Dalam kasus kekerasan yang dialami PRT kerap kali masih dianggap masalah ketenagakerjaan, dan bukan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Juga kita bisa melihat bahwa isu pekerja rumah tangga ini bahkan oleh masyarakat sering kali bukan dianggap sebagai masalah KDRT juga. Jadi ini hanya dianggap masalah PRT dengan pemberi kerja,” kata Khotimun.
20 Tahun Perjuangan RUU PPRT
Dalam 20 tahun terakhir berbagai organisasi masyarakat sipil mengajukan dan memperjuangkan RUU PPRT ke DPR. Selama dua dekade, RUU PPRT sudah mengalami berbagai proses kajian, studi banding, berbagai proses dialog, revisi dan pembahasan, hingga posisi terakhir sudah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa RUU itu akan dibahas dan disahkan.
Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika menegaskan ketiadakjelasan pembahasan RUU tersebut berakibat pada bertambahnya kasus-kasus kekerasan terhadap PRT yang bekerja dalam situasi yang tidak manusiawi.
“Itulah kenyataan pahit yang akan kita temui ketika undang-undang ini semakin lama dibahas. Kawan-kawan koalisi dan Jala PRT juga sering menyampaikan bahwa menunda satu hari RUU PPRT ini artinya menambah 10 sampai 11 orang PRT menjadi korban kekerasan,” kata Mutiara.
Menurut Mutiara, RUU PPRT sangat penting karena landasan utamanya adalah mengakui PRT sebagai pekerja. Pengakuan itu akan memungkinkan PRT memiliki perlindungan hukum untuk membicarakan status kerja, keselamatan kerja dan pengaturan upah. Diharapkan RUU itu dapat segera dibahas dan disahkan dalam waktu yang tersisa dari periode pemerintahan saat ini yang akan berakhir pada Oktober 2024.
“Kita masih punya sampai Oktober 2024 untuk masa pemerintahan yang sebelumnya. Jadi sangat menuntut kepada DPR untuk segera membahas RUU PPRT ini karena tidak ada lagi alasan untuk menundanya,” harap Mutiara.
Barisan Perempuan untuk UU PPRT itu juga mendesak agar pemerintah melakukan tindakan tegas terhadap praktik-praktik perdagangan manusia terhadap PRT yang dilakukan oleh penyalur, serta mengajak masyarakat untuk mendukung perlindungan PRT.
Persoalan Dasar PRT di Indonesia
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, mengatakan berdasarkan kajian pihaknya pada 2020-2022 menemukan enam persoalan dasar PRT di Indonesia. Pertama adalah ketiadaan pengakuan PRT sebagai pekerja dari negara. Kedua adalah perspektif stigmatisasi yang merendahkan PRT.
“Ketiga adalah potensi atau tingginya kerentanan PRT untuk mengalami pelanggaran hak asasi manusia karena ketiadaan hukum yang melindungi mereka. Lalu, yang keempat, adalah terkait dengan adanya kemandekan pembahasan RUU PPRT di DPR dan lemahnya dukungan politik dalam pengesahan RUU PPRT,” kata Anis Hidayah.
Komnas HAM, kata Anis Hidayah, merekomendasikan percepatan pembahasan RUU PPRT sebagai satu instrumen yang bisa digunakan untuk melindungi PRT dari potensi pelanggaran hak asasi manusia.
Rekomendasi lainnya adalah urgensi ratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. [yl/ft]
Forum