Tahukah Anda kalau Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku dan Papua masih memiliki tingkat penderita kusta tertinggi di Indonesia? Hingga akhir tahun 2024 lalu jumlah penderita kusta baru di Indonesia mencapai 12.798 kasus, atau berarti yang tertinggi ketiga di dunia.
Direktur Penyakit Menular di Kementerian Kesehatan, Ina Agustina Isturini mengatakan masih kuatnya stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta menyebabkan keterlambatan diagnosis dan rendahnya kepatuhan penderita untuk menjalani pengobatan.
“Stigma ini besar sekali pengaruhnya dan diskriminasi ini menyebabkan kasus susah ditemukan orang juga cenderung sembunyi tidak mau terus terang, orang juga tidak mengambil obat jadi terhenti pengobatannya ya karena kalau ketahuan mereka akan dapat diskriminasi dan keluarganya juga malu gitu ya dikucilkan, diberhentikan dari pekerjaannya,” kata Ina Agustina dalam temu media baru-baru ini.
Beberapa stigma yang masih melekat pada penderita kusta adalah bahwa kusta dinilai sebagai kutukan, aib dan tidak bisa disembuhkan. Untuk melawan stigma itu, Kementerian Kesehatan melakukan sosialisasi informasi kesehatan dan pelibatan tokoh agama dan masyarakat.
“Kusta ini dapat diobati dengan multidrug therapy selama enam bulan untuk kusta yang kering ya tipe PB (Pausi Basiler, red.) yang lebih ringan dan tidak lebih menularkan, atau 12 bulan untuk kusta tipe multibasiler yang lebih basah yang jauh lebih menularkan gitu ya. Nah kalau kusta tidak diobati maka dia ada tidak mendapatkan pengobatan yang tepat atau terlambat gitu ya dia bisa menyebabkan kecacatan kedisabilitasan, baik pada mata, tangan, maupun kaki,” ujar Ina.
Kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (mycobacterium leprae). Gejala yang ditimbulkan berupa bercak putih dan merah, tanpa rasa gatal dan sakit, sehingga penderita seringkali tidak menyadarinya. Jika terlambat diobati, penyakit ini berpotensi menimbulkan kecacatan permanen.
Sri Linuwih Menaldi dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia mengatakan diperlukan edukasi terus menerus hingga ke pelosok daerah untuk melawan stigma dan diskriminasi ini.
“Para penderita ini walaupun sudah selesai pengobatan tetap saja khawatir akan dikucilkan dari pergaulan. Sehingga yang perlu kita pahami, kusta bisa disembuhkan. Tapi belum tentu mereka itu terbebas dari penderitaannya. Stigma itu yang menyebabkan mereka tetap saja merasa seperti sakit seumur-umur hidup,” kata Sri Linuwih dalam kegiatan yang sama.
12 Ribu Kasus Baru Kusta
Data di Kementerian Kesehatan RI menunjukkan masih ada 13 provinsi di Indonesia yang belum berhasil mencapai eliminasi penyakit kusta yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Papua Tengah, Maluku Utara, Papua Selatan, Papua Barat Daya, Papua Barat dan Papua.
Secara keseluruhan terdapat 19.343 kasus kusta yang terdata di Indonesia di mana 12.798 merupakan kasus baru yang ditemukan sepanjang 2024.
42 Kabupaten dan Kota Berhasil Berantas Penyakit Kaki Gajah
Selain kusta, Indonesia juga berupaya memberantas penyakit filariasis atau penyakit kaki gajah yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Hingga tahun 2024, dari 236 kabupaten dan kota endemis filariasis, baru 40 kabupaten dan 2 kota yang telah bebas penyakit kaki gajah.
Ina Agustina mengatakan ada berbagai faktor yang menyebabkan capaian eliminasi filiriasis masih rendah di antaranya dukungan lintas sektor dalam program pemberian obat pengobatan massal (POPM), dan masih kurangnya promosi perilaku hidup sehat untuk pencegahan.
“Pemahaman masyarakat juga masih kurang lalu ada beberapa tantangan juga dalam pemberian obat pencegahan masal mulai dari kondisi geografis, situasi keamanan, kemudian kejenuhan masyarakat minum obat tiap tahun, pemahan masyarakat masih rendah, kapasitas petugas masih belum optimal,” ujarnya.
Sementara, Taniawati Supali dari Filariasis Center, Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, mengatakan kendala diagnosis penyakit filirasis dikarenakan pemeriksaan anak cacing di dalam darah harus dilakukan di malam hari. Seseorang yang terinfeksi cacing filaria akan tetap merasa sehat hingga 5-8 tahun setelah tertular, sebelum kaki mengalami pembengkakan.
“Jadi itu yang menyebabkan program pengobatan atau eliminasi vilaris atau penyakit kaki gajah itu susah karena periksanya malam hari itu juga susah petugasnya harus malam-malam memeriksa orang-orang. Kedua, karena yang positif atau terinfeksi umumnya masih sehat dulu baru nanti 5-8 tahun kemudian baru kena kaki gajah dan itu sudah sulit untuk diobati,” kata Tania Supali.
Di daerah endemis tinggi penyakit filariasis, upaya pencegahan dilakukan melalui pengobatan massal dengan tiga jenis obat yaitu Albendazol, DEC dan Ivermectin. Obat harus diminum di depan petugas untuk memastikan obat tersebut benar-benar diminum. Bila di dalam tubuh terdapat cacing akan memunculkan reaksi seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, pusing dan lemah hingga terjadi pembengkakan pada kaki.
“Itu yang biasanya membuat petugas atau pasien langsung kaget, tadinya kaki saya normal, kenapa minum obat kaki saya jadi bengkak. Itu sebetulnya efek sementara dari khasiat obat membunuh parasitnya dan dari pengalaman kami, itu bisa beberapa hari, tiga hari paling lama, itu bisa kembali normal,” tambahnya.
Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang memiliki tiga spesies cacing penyebab kaki gajah yaitu wuchereria bancrofti, brugia malayi dan brugia timori. [yl/em]
Forum