Sri Lanka, pada Minggu (23/7), memperketat keamanan sewaktu aktivis menyalakan lampu minyak di ibu kota, Kolombo, untuk memperingati ratusan orang yang tewas dalam kerusuhan anti-Tamil. Kerusuhan yang terjadi pada 1983 itu memicu perang saudara yang mematikan.
"Jangan lupakan pembantaian orang-orang Tamil," bunyi spanduk yang diusung anggota Solidaritas Utara-Selatan, organisasi pembela hak asasi yang berasal dari etnis Sinhala dan Tamil. Sinhala adalah etnis mayoritas di Sri Lanka sedangkan Tamil merupakan etnis minoritas di negara tersebut.
Puluhan aktivis menyalakan lampu minyak kelapa dan lilin di luar kuburan utama Kolombo, yang menjadi tempat dimulainya kekerasan publik pada 40 tahun lalu.
Pemerintah kala itu berusaha melakukan pemakaman massal di pemakaman itu bagi 13 tentara Sinhala yang tewas dalam serangan ranjau darat pemberontak Tamil pada 23 Juli 1983.
Kerabat yang menuntut pemakaman dilakukan secara terpisah kemudian terlibat bentrok dengan polisi, sebelum mengalihkan serangan mereka ke toko-toko milik orang Tamil dan orang-orang Tamil yang tinggal di daerah tersebut.
Apa yang awalnya adalah reaksi spontan terhadap orang-orang Tamil itu kemudian berubah menjadi kekerasan mematikan yang dipimpin negara dan berlangsung enam hari. Angka resmi korban tewas akibat kerusuhan itu antara 400 dan 600, tetapi menurut kelompok Tamil jumlah sebenarnya mencapai ribuan.
Tidak ada tuntutan yang diajukan setelah kejadian tersebut, meskipun beberapa anggota pemerintah ketika itu tampak memimpin massa Sinhala.
Pada peringatan hari Minggu itu, pihak berwenang mengerahkan pasukan bersenjata lengkap yang melebihi jumlah pengunjuk rasa. Seorang jurnalis kantor berita AFP melihat polisi menendang dan menginjak lampu minyak yang diletakkan di trotoar tepat di luar pemakaman.
Sejak berkuasa tahun lalu, Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe telah menindak aksi pembangkangan.
Partai di mana ia berasal, Persatuan Nasional, berkuasa ketika kerusuhan 1983 pecah. [ka/jm]
Forum