Tautan-tautan Akses

Warga Korea Utara Disebut Alami Kerja Paksa di Kapal China Bertahun-tahun


Sebuah kapal berbendera China berlabuh di laut lepas di luar perairan teritorial Ekuador dekat Kepulauan Galapagos pada 19 Juli 2021. (Foto: via AP)
Sebuah kapal berbendera China berlabuh di laut lepas di luar perairan teritorial Ekuador dekat Kepulauan Galapagos pada 19 Juli 2021. (Foto: via AP)

Korea Utara, negara bersenjata nuklir, sudah lama meraup keuntungan besar dari pengiriman warganya untuk bekerja ke luar negeri, kebanyakan dari mereka bekerja di China dan Rusia.

Laporan yang dikeluarkan oleh sebuah organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu lingkungan dan HAM pada Senin (24/2) mengungkapkan bahwa banyak warga Korea Utara yang mengalami kerja paksa di kapal penangkap ikan berbendera China setidaknya selama satu dekade tanpa pernah menginjakkan kaki di daratan. Para pekerja itu bahkan juga mendapatkan perlakuan kasar, baik secara verbal maupun fisik, serta kondisi kerja yang berat.

Korea Utara, negara bersenjata nuklir, sudah lama meraup keuntungan besar dari pengiriman warganya untuk bekerja ke luar negeri, kebanyakan dari mereka bekerja di China dan Rusia.

Resolusi Dewan Keamanan PBB 2017, yang didukung China, mewajibkan negara-negara di dunia untuk mendeportasi para pekerja Korea Utara guna mencegah Pyongyang memperoleh mata uang asing yang akan digunakan untuk membiayai program nuklir dan rudalnya.

Namun, para analis menuding Beijing dan Moskow mengabaikan ketentuan tersebut.

Sebuah kapal berbendera China sedang mencari cumi-cumi di malam hari di laut lepas pantai barat Amerika Selatan. (Foto: via AP)
Sebuah kapal berbendera China sedang mencari cumi-cumi di malam hari di laut lepas pantai barat Amerika Selatan. (Foto: via AP)

Laporan Yayasan Keadilan Lingkungan (EJF) yang berbasis di London pada Senin (24/2) menyoroti pelanggaran luas terhadap pekerja Korea Utara di laut, yang melanggar sanksi.

Laporan itu menyebut "warga Korea Utara dipaksa bekerja setidaknya 10 tahun di laut, dalam beberapa kasus tanpa pernah menginjak daratan."

"Ini adalah kerja paksa dalam skala yang melampaui kekejaman yang sudah lazim di industri perikanan global."

Klaim itu bersumber dari wawancara dengan belasan awak kapal asal Indonesia dan Filipina yang bekerja di kapal penangkap tuna China di Samudra Hindia pada 2019-2024.

"Mereka tidak pernah berkomunikasi dengan istri atau orang lain saat berada di laut karena mereka tidak diizinkan membawa telepon seluler," kata salah seorang awak kapal.

Awak lainnya mengatakan beberapa warga Korea Utara sudah bekerja di kapal tersebut selama 'tujuh tahun, atau delapan tahun,' sambil menambahkan: 'Mereka tidak diberi izin untuk pulang oleh pemerintah mereka.'"

Perbudakan Modern

Laporan itu juga menyebut kapal-kapal yang mengangkut warga Korea Utara tersebut terlibat dalam praktik pemotongan sirip hiu serta penangkapan hewan laut besar, seperti lumba-lumba. Ironisnya, hasil tangkapan mereka diperkirakan iku masuk ke pasar Uni Eropa, Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Salah satu foto menunjukkan seekor lumba-lumba dengan kepala terpenggal.

"Dampaknya meluas ke seluruh dunia: ikan yang ditangkap oleh para tenaga kerja ilegal ini masuk ke pasar makanan laut global," kata Steve Trent, CEO dan pendiri EJF, dalam pernyataan.

Sebuah helikopter menjatuhkan kargo berisi peralatan pemompaan minyak ke dek FV Lu Rong Yuan Yu, kapal penangkap ikan berbendera China yang kandas, di Pointe-aux Sables, Port-Louis, Mauritius, Selasa 9 Maret 2021. (Foto: via AP)
Sebuah helikopter menjatuhkan kargo berisi peralatan pemompaan minyak ke dek FV Lu Rong Yuan Yu, kapal penangkap ikan berbendera China yang kandas, di Pointe-aux Sables, Port-Louis, Mauritius, Selasa 9 Maret 2021. (Foto: via AP)

"China menanggung beban terbesar, tetapi ketika produk yang terkontaminasi perbudakan modern sampai ke meja makan kita, jelas bahwa negara-negara yang memberi izin dan para regulator juga harus memikul tanggung jawab penuh,” tulisnya.

Beijing pada Senin (24/2) mengaku "tidak mengetahui" kasus-kasus spesifik tersebut ketika ditanya tentang laporan itu.

"China selalu mewajibkan kegiatan penangkapan ikan lepas pantainya untuk mematuhi hukum dan peraturan setempat serta ketentuan hukum internasional yang relevan," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam sebuah pengarahan.

"Kerja sama antara China dan Korea Utara dilakukan sesuai dengan kerangka hukum internasional," tambah Lin.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun lalu menyatakan bahwa sekitar 20.000 hingga 100.000 warga Korea Utara bekerja di China, terutama di restoran dan pabrik.

Laporan Departemen Luar Negeri menyebutkan bahwa Korea Utara menahan hingga 90 persen upah pekerjanya di luar negeri dan memberlakukan kondisi kerja paksa terhadap mereka. [ah/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG