Intensitas dan curah hujan dinilai bukan satu-satunya penyebab terjadinya bencana banjir dan longsor tahunan di Provinsi Gorontalo. Simpul WALHI menilai faktor lainnya yang justru harus disoroti adalah alih fungsi lahan, pembangunan dan penataan ruang yang karut-marut.
Dinamisator Simpul WALHI Gorontalo, Puput Pakaya, mengatakan pada kasus banjir di Gorontalo awal Juli lalu, yang menewaskan puluhan warga, penyebabnya jelas karena deforestasi atau pembukaan lahan pertanian monokultur jagung, perkebunan sawit atau bentuk alih fungsi lahan lainnya secara besar-besaran.
Puput merujuk data Forest Watch Indonesia (FWI) pada kurun waktu 2017-2021 yang menunjukkan Provinsi Gorontalo mengalami deforestasi akibat konsesi perusahaan tambang dan perkebunan seluas 33.392,76 hektare.
“Sikap pemerintah daerah dalam menghadapi bencana menahun ini sangat mengecewakan karena intensitas dan curah hujan selalu dijadikan alasan pamungkas terjadinya banjir dan longsor,” kata Puput Pakaya dihubungi VOA, baru-baru ini.
Puput menyebut aktivitas pertambangan rakyat secara masif sejak tahun 1992 yang memicu kerusakan lingkungan, dan berujung pada semakin seringnya terjadi bencana tanah longsor.
“Kami juga mencatat kasus ini juga bukan yang pertama di mana dua tahun setelah tambang rakyat beroperasi pada 1994 longsor terjadi, meskipun tidak ada korban, namun hal ini menyebabkan banjir dan lumpur dari titik-titik bor terbawa sampai ke pemukiman warga,” tambahnya.
Desak Moratorium Izin Tambang dan Perkebunan
Simpul WALHI Gorontalo telah mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium izin-izin perusahaan ekstraktif pemegang konsesi pertambangan dan perkebunan yang menghancurkan ekosistem hutan, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana ekologis di Provinsi Gorontalo. Mereka juga menyerukan revisi kebijakan agropolitan berbasis jagung yang menyebabkan alih fungsi lahan secara besar-besaran dan degradasi lingkungan yang parah.
Menurut data Badan Pusat Statistik Gorontalo 2021, luas tanaman jagung di lima kabupaten dan satu kota mencapai 338 ribu hektare.
Dampak Serius Tambang Emas
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan sedikitnya 27 orang meninggal dunia dan 14 orang hilang dalam peristiwa longsor tambang emas di desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango pada 7 Juli lalu.
“Sekali lagi, mari ini menjadi perhatian kita bersama. Pertanyaan dasarnya sampai berapa nyawa lagi harus kita kehilangan, berapa puluh nyawa lagi untuk kita benar-benar menertibkan hal-hal yang seperti ini,” kata Abdul Muhari dalam penjelasan singkat pada wartawan minggu ini.
Kawasan tambang emas di Kecamatan Sumawa, Kabupaten Bone Bolango memang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Terowongan-terowongan di dalam tanah sangat mudah ambruk saat curah hujan tinggi dan memakan korban jiwa.
Sementara itu sebagian besar area terdampak banjir sudah berangsur surut. Setidaknya sebanyak 8 ribu jiwa terdampak oleh banjir yang terjadi sejak 26 Juni lalu. Banjir dengan tinggi muka air 30 hingga 50 centimeter terjadi di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango dan Boalemo.
Gubernur Provinsi Gorontalo menetapkan status tanggap darurat bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor di Provinsi Gorontalo selama 30 hari terhitung sejak tanggal 30 Juni sampai dengan tanggal 29 Juli.
Saat memimpin rapat koordinasi penanganan banjir dan longsor Gorontalo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto menekankan kepada pemerintah daerah agar periode status tanggap darurat penanganan banjir tidak lama sehingga proses pemulihan dampak bencana dapat segera dimulai.
BNPB telah memberikan bantuan dukungan operasional berupa Dana Siap Pakai (DSP) dan logistik peralatan kepada berbagai unsur penanggulangan bencana di Gorontalo dengan total bantuan sebesar 2,4 miliar rupiah. [yl/em]
Forum