Menyambut perayaan Tahun baru Imlek, wayang ini banyak dipentaskan, baik di klenteng-klenteng maupun di mal-mal di Indonesia.
Demikian suara Sukar Mudjiono (65), seorang dalang wayang potehi asal Surabaya. Dia menyukai wayang potehi sejak dia masih di sekolah dasar. “Kebetulan rumah saya di depan Klenteng di Surabaya. Nah, setiap hari pasti ada pertunjukan wayang potehi. Sepulang dari sekolah, saya nonton wayang potehi,” katanya mengenang masa kecilnya.
Kegemarannya menonton potehi itu membuat seorang dalang dari China waktu itu, mengetahui bahwa seorang anak yang bernama Mudjiono ini tampak sangat berminat dan berbakat, maka ia pun diberi kesempatan untuk memainkan alat musik, keahlian dasar yang harus dipelajari untuk menjadi dalang.
“Pertama-tama main musiknya. Di musik itu ada urutan mainnya, kira-kira ada tujuh alat musik potehi itu yang sudah saya kuasai, nah setelah itu saya baru diajarkan mendalang oleh guru saya,” jelasnya.
Tentu saja alat musik tradisional China untuk wayang potehi sangat berbeda dengan wayang Jawa. “Ada erhu, itu musik gesek, ada cinhu, lalu ada suling, terompet, toalu, ada toa poa, sian shen. Semua itu musik tradisional yang saya pelajari,” tambahnya.
Rumah Cinwa (Cinta Wayang)
Seorang pegiat budaya, Dwi Woro Retno Mastuti, (66), yang juga seorang dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Jawa (FIB), Universitas Indonesia, meneliti wayang potehi sejak awal tahun 2000-an. Ia meneliti wayang sampai ke China dan Jerman, di antara negara yang memiliki museum dan sumber untuk penelitian potehi.
“Saya pikir ada dua hal ya di Indonesia, wayang Cina atau yang mendapat pengaruh dari Cina, yaitu wayang potehi dan wayang kulit Cina Jawa. Saya lebih memilih wayang potehi karena narasumbernya masih ada, para senior dalang-dalang dan maestronya itu masih ada,” jelas Dwi Woro.
Ia menambahkan, potehi telah menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang pantas dilestarikan. “Saya tekankan, pertama potehinya sebagai produk budaya, kemudian akulturisasi dari Cina ke Jawa, di situ ada muatan toleransi, kebangsaan, memperkuat nasionalisme. Pemahaman kita menghargai satu sama lain, bahwa Indonesia itu tidak dibentuk dari hanya satu bangsa, tetapi ada Eropa, Cina, India, Arab. Dan itu memperkaya budaya kita,” ujarnya.
Bukan dari keturunan Tionghoa
Ia menyingkat istilah Cinwa yang mempunyai dua arti, yaitu Cina Jawa dan Cinta Wayang. Pada tahun 2014, Dwi Woro mendirikan Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang (Cinwa) di Depok, Jakarta. Sanggar ini dijadikan sebagai sarana bagi generasi muda Indonesia untuk mengenal budaya yang pernah ada di Indonesia.
Dalang dan pembuat wayang potehi justru bukan orang Tionghoa, demikian pula para pemuda-pemudi Indonesia anggota sanggarnya. Kecintaan kepada budaya wayang ini dituangkan dalam motto rumah Cinwa, “Tak wayang maka tak sayang. Tak sayang wayang melayang.”
Salah seorang anggota sanggarnya, Ilham, mengatakan, “Sebagai orang yang bukan dari keturunan Tionghoa, kita bisa mempopulerkan wayang potehi melalui keberadaan media sosial. Kami membuat konten-konten di dunia Tik Tok dan Instagram.”
Pertunjukan berseri hingga satu bulan
Kini sudah 40 tahun dalang Mudjiono dinobatkan sebagai dalang potehi di Klenteng Hong Tek Hian di jalan Dukuh, Surabaya.
Ditanya mengenai cerita dan tokoh-tokoh wayang potehi, ia menjelaskan, “Kalau cerita potehi semuanya dari sejarah kerajaan-kerajaan Cina. Alur cerita kita pakai pakem-pakemnya tetap memakai Bahasa Hokkian. Sampai sekarang saya sudah memainkan sekitar 20 cerita. Dalam pertunjukan potehi tidak seperti wayang kulit atau wayang Sunda yang dalam satu malam sudah selesai ceritanya. Tetapi wayang potehi ceritanya berseri, jadi satu cerita selesainya satu setengah bulan, tidak ada yang kurang dari satu bulan.”
Untuk pentas menjelang dan setelah tahun baru Imlek yang memasuki tahun ular nanti, dalang Mudjiono mendapat pesanan untuk memainkan cerita Siluman Ular. Namun jika pentas itu tidak diselenggarakan di klenteng, maka akan sulit dimainkan secara berseri.
“Pak dalang, bagaimana kalua saya mau cerita Sepai Cuk Sien atau Siluman Ular. Coba saya lihat dulu, karena kalau diadakan di mal-mal mungkin hanya sehari atau dua hari saja. Ada juga cerita-cerita untuk Imlek seperti anak yang berbakti kepada orang tuanya, keluarganya.”
Pada waktu Imlek dan Cap Go Meh (penutupan perayaan tahun baru Imlek), baik Mudjiono dengan grup potehinya - yang bernama Lima Merpati - maupun Dwi Woro Retno Mastuti dengan Rumah Budaya Cinwa-nya, sibuk menerima pesanan untuk tampil di berbagai tempat. Karena begitu banyaknya pesanan, mereka terpaksa menolak sebagian di antaranya.
Menurut Dwi Woro, sejauh ini baru terdapat tiga grup wayang potehi yang semuanya berada di Jawa, meskipun ada juga minat di luar Jawa. Misalnya, dalang Mudjiono sering diundang pentas sampai ke Bali, Madura dan Padang. Dalam hal tempat pentas, Mudjiono selalu menyesuaikan dengan budaya dan bahasa setempat, dengan mengisi lelucon dan hal-hal yang sedang marak ketika itu.
Wayang potehi dengan berbagai tokoh dan pakaian yang berwarna-warni, rata-rata tingginya 30 sentimeter itu, kini tersimpan di Museum Wayang milik Pemda DKI Jakarta. [ps/lt]
Forum