Dari atas mobil yang mengomandoi arah ribuan demonstran, Muhammad Ayyasy, warga Muslim-Rohingya dari Rakhine, menceritakan kekejaman tentara Myanmar terhadap kelompok minoritas di negara bagian itu. Ayyasy yang sedang menempuh pendidikan di Indonesia mengatakan sejak tahun 2012 warga Muslim-Rohingya terus menjadi korban diskriminasi dan aksi kekerasan pasukan pemerintah. Seringkali mereka justru dituduh memicu aksi kekerasan yang berujung pada jatuhnya korban jiwa.
Kekerasan meletup di Rakhine sejak 25 Agustus dan memaksa sekitar 123 ribu warga Muslim-Rohingya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh. Terulangnya aksi kekerasan dan eksodus besar-besaran itu mengusik nurani warga Indonesia, yang mayoritas beragama Islam. Sejumlah negara dan organisasi internasional juga telah menyampaikan keprihatinan mereka.
Sekitar seribu orang dari berbagai organisasi massa Rabu siang berunjukrasa di dekat Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta Pusat. Di antaranya dari Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Betawi Rempug (FBR), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Pemuda Pancasila, dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Ada pula sejumlah organisasi mahasiswa, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Dengan mengenakan pakaian sesuai organisasi massa mereka, para demonstran melambai-lambaikan bendera dan mempertunjukkan sejumlah spanduk, yang diantaranya bertuliskan “Stop Genocide Save Rohingya”, “Stop Hubungan Diplomatik dengan Myanmar”, dan “Stop Killing Muslim in Burma”.
Melihat aksi demonstrasi pekan lalu yang berujung dengan pelemparan satu bom molotov, aparat keamanan tampak tidak mau kecolongan lagi. Sejak pagi polisi yang sebagian di antaranya membawa senapan pelontar gas air mata sudah menjaga ketat lokasi. Kawat berduri juga dipasang mengelilingi lokasi itu, guna membatasi gerak para demonstran. Empat panser melengkapi upaya pengamanan aparat.
Para demonstran menuntut Presiden Joko Widodo untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Myanmar dan mengusir duta besar Aung Htoo dan seluruh staf. Mereka juga mengkritisi penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang kini menjadi State Councellor atau menteri luar negeri.
Aung San Suu Kyi dikenal sebagai pejuang demokrasi dan HAM pada masa junta militer. Ia meraih anugerah Nobel Perdamaian tahun 1991 karena tetap bersikukuh memperjuangkan nasib warga Myanmar yang tertindas. Namun setelah pemerintah sipil berkuasa dan Suu Kyi memegang beberapa jabatan strategis, ia justru tidak bersuara menyikapi aksi kekerasan pasukan Myanmar terhadap warga Muslim-Rohingya. Suu Kyi juga belum menanggapi rekomendasi Komite Penasehat Rakhine pimpinan mantan sekjen PBB Kofi Annan yang disampaikan pekan lalu.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera yang ikut berdemonstrasi mengatakan akan terus turun ke jalan jika pemerintah tidak menanggapi tuntutan mereka.
"Kita umat Islam wajib memastikan mereka kembali ke tanah mereka. Mereka wajib mendapat kewarganegaraan mereka. Karena kalau mereka pergi, tanahnya dikuasai oleh orang lain. Padahal itu adalah tanah milik umat Islam. Karena itu, perjuangan ini tidak berhenti," kata Mardani.
Empat demonstran diterima Duta Besar Myanmar Untuk Indonesia Aung Htoo. Dalam pertemuan di kompleks Kedutaan Besar, empat demonstran itu menyampaikan tuntutan mereka.
Lima belas demonstran lain menuju ke Kementerian Luar Negeri untuk meminta penjelasan mengenai perkembangan diplomasi yang dipimpin Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Ketua FPI Sobri Lubis berbicara kepada pers seusai menemui Dubes Myanmar Aung Htoo dan perwakilan Kementerian Luar Negeri Indonesia.
“Kami telah sampaikan apa yang menjadi keinginan kita semua. Saya sudah sampaikan langsung kepada Duta Besar, silakan Anda tinggalkan Indonesia ini. Buat kami, tidak perlu bersahabat dengan orang-orang, dengan pemerintah-pemerintah yang hatinya seperti serigala. Kita tidak menginginkan negara yang beradab seperti Indonesia bersahabat dengan negara yang biadab,” papar Sobri Lubis.
Mewakili para demonstran, Sobri mengatakan memberi tenggat tiga hari bagi Presiden Joko Widodo untuk mendesak Myanmar segera menghentikan kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya. Jika tidak terwujud, para demonstran mengancam akan kembali turun ke jalan pada 9 September dengan massa yang jauh lebih besar.
Demonstrasi umumnya berlangsung damai, meskipun sempat diwarnai pembakaran bendera Myanmar.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sejak hari Senin (4/9) telah menemui sejumlah pejabat di Myanmar dan Bangladesh untuk membantu mengatasi krisis kemanusiaan di Rakhine.
Sementara, Presiden Joko Widodo saat ini sedang melawat ke Singapura dan belum memberi tanggapan atas tuntutan para demonstran tersebut. [fw/em]