Tautan-tautan Akses

RI Hormati Putusan Pengadilan Belanda untuk Kasus Rawagede


Keputusan pengadilan Belanda soal pembantaian di Rawagede mendapat pujian. Aktivis HAM Indonesia mengatakan, keputusan itu sebagai bukti bahwa penegakan HAM tak mengenal batas waktu (foto: ilustrasi).
Keputusan pengadilan Belanda soal pembantaian di Rawagede mendapat pujian. Aktivis HAM Indonesia mengatakan, keputusan itu sebagai bukti bahwa penegakan HAM tak mengenal batas waktu (foto: ilustrasi).

Pemerintah Republik Indonesia menghormati keputusan Pengadilan Belanda untuk memberikan ganti rugi kepada janda-janda korban pembantaian di Rawagede.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto, menyambut baik putusan Pengadilan Den Haag, yang dianggapnya adil dan semestinya. Hal ini diungkapkan Djoko Suyanto kepada VOA, Jumat sore dalam perbincangan melalui telepon di sela-sela kunjungannya ke Ambon, Maluku.

“Putusan yang adil itu di manapun harus disambut baik, dan itu tidak menyangkut ke pemerintah ‘kan, dalam hal ini (yang dimaksud) adalah pemerintah Republik Indonesia. Jadi keputusan pemerintah di manapun selama itu melalui keputusan pengadilan yang adil harus kita hormati. Saya tidak mengikuti prosesnya dari awal, karena saya baru naik di Kabinet dalam dua tahun terakhir ini saja,” demikian Djoko Suyanto.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), memberikan penghargaan yang tinggi kepada Pengadilan Negeri di Den Haag yang memutuskan bahwa negara Belanda bersalah dan harus memberikan ganti rugi kepada janda-janda korban pembantaian di Rawagede.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, menilai ada banyak pembelajaran yang dapat diambil dari keputusan oleh Pengadilan tersebut –terutama dari sisi penegakan Hak Asasi Manusia, yang tidak kenal batasan waktu.

“Ini menandakan bahwa HAM tidak seperti aturan hukum yang mengatakan ada batasan waktu, tetapi bisa melihat jauh apabila ada orang-orang dirugikan meskipun peristiwanya sudah lama itu tetap bisa menjadi objek untuk diintropeski dan pengadilan sudah membuktikan itu. Saya pikir ini menjadi pelajaran penting bagaimana independensi sistem penegakan hukum kita seharusnya bisa seperti itu,” ujar Haris.

Gugatan hukum ini dilakukan oleh 11 Janda yang suami-suaminya menjadi korban tindakan brutal tentara Belanda pada 9 Desember 1947, dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia. Gugatan dilakukan sejak 2005 di Pengadilan Den Haag.

Pengadilan itu menolak argumentasi pemerintah Belanda yang mengatakan bahwa hal tersebut sudah kadaluarsa dan “tidak masuk akal”. Pada 14 September 2011, Pengadilan tersebut memutuskan bahwa Pemerintah Belanda dinyatakan bersalah dan harus membayar kompensasi kepada keluarga korban. Jumlah ganti rugi yang harus dibayar akan diputuskan dalam pertemuan selanjutnya.

Selanjutnya, Haris Azhar mengatakan, “Kita melihat bagaimana kasus yang sudah 62 tahun lebih masih diberlakukan untuk diberikan keadilan bagi para korban di Indonesia, warga Indonesia dan bukan warga Belanda. Pengadilan juga independen. Dia mendengarkan masukan dari pemerintah bahwa sudah ada semacam pendekatan –meskipun bukan kompensasi tetapi pendekatan dalam bentuk memberikan bantuan tetapi itu dianggap belum layak tanpa ada pernyataan dari pengadilan.”

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, kepada wartawan, Jumat, mengaku belum menerima salinan putusan pengadilan Den Haag. Ia mengatakan koordinasi terkait akan segera dilakukan dengan Kementerian Luar Negeri, sebab menyangkut masalah pelanggaran HAM dengan pemerintah negara lain sehingga harus melibatkan jalur diplomatik.

Pasukan Belanda menembak tewas semua laki-laki dewasa dan anak-anak di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, pada Desember 1947, ketika penduduk desa tidak mau mengungkapkan lokasi seorang pejuang kemerdekaan yang dicari. Pemerintah Belanda mengatakan 150 orang dibunuh, sementara penduduk desa mengatakan jumlah seluruhnya lebih dari 400 orang.

XS
SM
MD
LG