Tautan-tautan Akses

Aktivis HAM Kritisi RUU Intelijen Negara


Polisi Indonesia melakukan unjuk keterampilan (foto: dok). RUU Intelijen dinilai masih bermasalah; mulai dari pembatasan paradigma dan perlindungan HAM dan pembagian kewenangan pihak Polri dan BIN.
Polisi Indonesia melakukan unjuk keterampilan (foto: dok). RUU Intelijen dinilai masih bermasalah; mulai dari pembatasan paradigma dan perlindungan HAM dan pembagian kewenangan pihak Polri dan BIN.

Imparsial mencatat 19 isu penting yang masih bermasalah dalam pembahasan RUU Intelijen Negara oleh DPR dan pemerintah, hasil pembahasan terakhir 25 Agustus 2011 lalu.

Organisasi pemantau pelaksanaan HAM, Imparsial, menilai secara umum Rancangan UU Intelijen Negara masih bermasalah; mulai dari pembatasan paradigma dan perlindungan HAM, pembagian kewenangan interogasi dan penyadapan oleh Polri dan BIN, hingga pada pasal yang dianggap memberikan perlindungan oleh negara atas kerja intelijen di lapangan.

RUU Intelijen tersebut dianggap masih mengandung beberapa kontradiksi dengan KUHAP atau UU lain yang terkait.

Misalnya pada pasal 33 yang mengatur soal penyadapan “Untuk penyadapan dan penangkapan serta interogasi itu masih ada, tetapi dalam format yang lain. Untuk (pasal) penyadapan, misalnya, di dalam pasal penyadapan (pasal 33) memang ditulis tetapi tidak (disebutkan) ada perintah bahwa itu dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Padahal di dalam UU Terorisme itu disebut harus ada ijin Ketua Pengadilan, sementara dalam RUU tersebut dikatakan atas izin ketua BIN," demikian ungkap Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, kepada VOA, Minggu siang.

Hal lain yang menjadi perhatian khusus adalah pasal yang mengatur perlindungan intelijen. Poengky mencontohkan kasus Munir yang melibatkan agen di lapangan, Pollycarpus Budihari Priyanto, pada September 2004.

Menurut Poengky, pasal perlindungan terhadap intelijen ini sama saja dengan mengabaikan hak-hak para pekerja HAM. “Kalau mengikuti RUU ini maka Pollycarpus akan bisa dilindungi oleh negara, dia dilindungi oleh BIN, disediakan pengacara atas biaya negara, maka rakyat akan dirugikan di sini akibat kegagaalan operasi intelijen tetapi mereka (agen BIN) masih dilindungi," tambah Poengky Indarti.

Atas sejumlah keberatan para aktivis, anggota Komisi 1 DPR, Tubagus Hasanuddin mengatakan semua masukan akan dihargai, karena pembahasan RUU Intelijen Negara tersebut belum final. ”Ini tidak ada hubungannya dengan kasus Munir, kasus Imam Samudra dan sebagainya. Jadi ini bagian dari tugas kami membuat UU yang diharapkan bisa menajdi sarana untuk kepentingan bangsa dan negara," jelas Tubagus Hasanuddin.

Politisi PDI-P ini mengatakan pula, bahwa UU ini tetap akan diupayakan agar dapat dikontrol oleh masyarakat dan DPR. “Perlu ada UU yang memang di ranah inilah intelijen itu bekerja. Pekerjaan mereka itu di kontrol juga oleh publik dan DPR dengan mengacu kepada UU yang menjadi kesepakatan nasional kita, intinya itu”, tambah anggota Komisi I ini.

Hasanuddin juga sepakat atas definisi intelijen dan paradigma HAM yang dianggap belum tepat, contohnya untuk soal penangkapan dan penyadapan. Putusan akhir atas kedua pasal ini masih harus melalui pembahasan antarfraksi di Komisi 1.

“Kalau PDIP tetap harga mati tidak ada penangkapan, sebab kewenangan penangkapan itu harus diserahkan pada kepolisian, jadi itu bagian dari proses penegakan hukum. Sedangkan untuk penyadapan kita harus mengikuti UU yang berlaku, supaya tidak dianulir oleh Mahkamah Konsitusi (MK)," demikian ungkap Tubagus Hasanuddin.

XS
SM
MD
LG