Perdamaian bisa dimulai dari lidah. Bukan hanya melalui pembicaraan pada tingkat diplomatik, namun juga secara harfiah melalui kecapan lidah pada makanan yang umum bagi mereka.
Muhammad Ghazi mencoba mengajak masyarakat Amerika yang berasal atau berdarah Afghanistan, Pakistan dan India, negara-negara bertetangga yang kerap berselisih, menikmati makanan yang umum bagi mereka. Ghazi, imigran Afghanistan, membuka restoran Al Madina di Lanham, Maryland.
“Itu sebabnya kami memiliki fasilitas untuk menyatukan mereka, duduk bersama untuk membahas kalau mereka memiliki masalah, untuk mendapatkan solusi tentang masa depan anak-anak kita, tentang masalah negara-negara kita, umumnya dengan pemerintah, hal-hal seperti itu," katanya.
Diaspora Afghanistan, Pakistan dan India di daerah Washington, DC datang ke Al-Madina, menikmati hidangan sambil mengenang tanah air, mengingat keluarga besar. Mereka menyantap Chicken Tandoori dan Chicken Tikka Masala sampai Kofta Meatballs dan Karahi, dan menyadari adanya kesamaan di antara mereka, bukan perbedaan yang menuai perselisihan.
Ghazi mengungkapkan, ia banyak mempunyai kenalan dan teman dari India dan Pakistan, maupun negara-negara lain. Kami saling peduli dan membantu. Pada tingkat rakyat, kata Ghazi, mereka saling mencintai. Masalah ada pada tingkat pemerintah, dan kebijakan yang salah.
“Di sini, alhamdulillah, secara umum, di Amerika, mereka saling menyayangi. Mereka saling bantu. Mereka dari Afghanistan, Pakistan, India. Mereka saling mencintai. Mereka saling bantu. Mereka saling mengingatkan bahwa di tanah air, kita mempunyai masalah tetapi di sini, tidak ada politik, tidak ada masalah. Kita harus saling bantu," ujar Ghazi.
Mereka yang tidak terkait ketiga negara tersebut juga menikmati makanan Al-Madina. Lathifah Mohamad Ibrahim adalah diaspora Malaysia keturunan India yang sudah lebih 20 tahun tinggal di Amerika.
“Sedap. Tasty. Makanan memang sedap. Rasanya semua, cukup. Rotinya. Lamb-nya. Daging. Sedaplah. Saya highly recommend. Yang penting, halal. Alhamdulillah," ujarnya.
Lathifah memuji inisiatif restoran ini sebagai kuali perdamaian. Menurutnya, “Makanan selalu membawa kita bersatu, di mana pun. Walaupun negeri berperang, makanan, perut lapar, kita Bismillah, makan.”
Selain itu, kata Lathifah, diaspora dari negara-negara yang terlibat konflik menyadari bahwa mereka kini tinggal di Amerika. Jadi, mereka menyisihkan perbedaan dan di negara yang baru, mereka saling menjaga perdamaian.
“Makanan dan politik tidak bisa bersatu. Makanan menyatukan orang-orang," imbuhnya.
Al-Madina juga menjadi sarana Ghazi merangkul pengungsi. Ia menerima pengungsi Afghanistan yang lari ketika Taliban kembali berkuasa. Ghazi menyediakan pelatihan serta mempekerjakan mereka supaya terampil dan berpengalaman untuk bekal hidup di Amerika. Setelah itu, kata Ghazi, mereka bebas bekerja di mana saja atau mendapat bimbingan untuk membuka bisnis.
Tak lupa, Ghazi melepas mereka dengan pesan: “Saya selalu memberi tahu orang-orang saya, bersikaplah positif, selalu menolong. Secara umum, kita semua adalah manusia. Yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang berbuat baik.”
Ghazi aktif melibatkan pemuda dalam kegiatan Sunday Youth Programme. Pemuda-pemuda berdarah Afghanistan, Pakistan, India, Bangladesh, dan beragam negara lain, kumpul dan curah pendapat, sambil makan pagi. Orang-orang tua menyimak apa yang disampaikan para pemuda.
“(Kami) menyatukan mereka untuk bersikap positif. Tetapi umumnya mereka adalah orang-orang yang berpikiran positif," ujarnya.
Berada di negara baru, diaspora Afghanistan, Pakistan, dan India di Amerika menyadari bahwa mereka bisa berperan mewujudkan perdamaian dari konflik di tanah air yang siap meletus kapan pun. Dan, itu bisa dimulai dari lidah. Ghazi berharap, Al Madina bisa menjadi kuali perdamaian tersebut. [ka/ab]
Forum